Minimnya tenaga ahli alih aksara Batak
Medan, Kompas.........Minimnya tenaga ahli alih aksara Batak membuat proses transliterasi naskah-naskah kuno Batak tersendat. Sejak 1999 hingga saat ini baru dua naskah yang dialihaksarakan.
"Kami memprogramkan dua atau tiga naskah kuno Batak bisa dialih aksara setiap tahun. Namun, kekurangan tenaga ahli membuat program itu tidak bisa dilaksanakan," kata peneliti aksara Batak, Nelson L Toruan, yang juga anggota staf Balai Bahasa Sumatera Utara, Senin (25/9) di Medan.
Orang yang memiliki kemampuan alih aksara Batak sangat sedikit. Nelson mengatakan, hanya ada dua orang dari Universitas Sumatera Utara yang menguasai transliterasi aksara Batak, sedangkan di Pusat Kajian dan Dokumentasi Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nomensen hanya ada satu tenaga.
Terdapat sekitar 200 koleksi naskah kuno Batak di Museum Daerah Sumatera Utara dan 200 koleksi di Museum Nasional.
"Masih ribuan naskah kuno dengan aksara Batak yang ada di luar negeri. Kalau hanya disimpan, ilmu pengetahuan yang ada di dalam naskah-naskah kuno itu tidak bisa diwariskan kepada generasi berikutnya," kata Nelson.
Balai Bahasa Sumut merencanakan mendatangkan naskah- naskah kuno Batak di luar negeri, meski dalam bentuk salinan, agar bisa dialihaksarakan.
Hingga saat ini naskah kuno Batak yang dapat dialihaksarakan adalah kitab ilmu perbintangan, pernujuman, dan benda magis setebal 84 halaman. Naskah itu tidak berjudul, tidak berangka tahun, dengan bahasa daerah Simalungun. Naskah lain adalah kitab hukum perang dan obat-obatan, beraksara Batak Toba.
Anggota staf Pusat Kajian dan Dokumentasi Kebudayaan Batak Universitas HKBP Nomensen Manguji Nababan mengatakan, transliterasi tidak sebatas menyalin aksara Batak ke aksara Latin, tetapi juga perlu pemahaman dan penafsiran. "Banyak naskah yang sudah tidak bisa terbaca sehingga perlu diinterpretasi. Banyak aksara Batak dalam naskah itu yang tidak ada padanannya dalam kamus bahasa Batak," katanya.
Dibandingkan dengan tahun 1860-an, ujar Nababan, pengkajian aksara Batak kini sangat kurang, bahkan hampir tidak ada. Waktu itu ahli bahasa asal Belanda, HN van der Tuuk, minta orang Batak menulis, kemudian membawa sekitar 100 pustaha (pustaka) ke Belanda.