Oleh
Drs. Agus Subiyanto, MA [2]
Drs. Agus Subiyanto, MA [2]
1. Pendahuluan
Nilai-nilai sosiokultural Jawa tradisional sangat dipengaruhi oleh gaya hidup priyayi (kelompok elite atau para bangsawan), yang tercermin jelas dalam tiga hal, yaitu : etiket sosial, kesenian, dan praktik percaya mitos (Geertz, 1960). Dalam kaitannya dengan interaksi sosial, etiket sosial sangat erat kaitannya dengan etiket linguistik. Dalam hal ini Geertz menjabarkan etiket linguistik ke dalam empat prinsip yang mendasari perilaku sosial masyarakat Jawa tradisional. Keempat prinsip tersebut meliputi: 1) proper ranks (sikap menghormati kedudukan secara tepat), 2) indirection/Indirectness (sikap tidak langsung), 3) dissimulation (sikap kepura-puraan), dan 4) avoidance of any act suggesting disorder or lack of self control (sikap menghindari tindakan yang membuat kekacauan atau kurang pengendalin diri). Di antara ke empat etiket linguistik di atas yang nampak menonjol dalam tuturan percakapan masyarakat Jawa adalah prinsip indirectness. Prinsip ini dipatuhi dan dipedomani oleh masyarakat Jawa (tradisional) dalam berkomunikasi, dan akhirnya menjadi bagian identitas masyarakat Jawa.
Tulisan singkat ini akan menguraikan bagaimana strategi indirectness tercermin secara eksplisit dalam tanda-tanda linguistik dalam komunikasi verbal masyarakat Jawa. Dalam hal ini bentuk, makna dan fungsi indrectness akan diuraikan dalam tulisan ini. Pemahaman tentang prinsip indirectness dalam wacana percapakan akan membantu kita lebih memahami budaya Jawa, mengingat bahasa lisan sebagai tanda linguistik merepresentasikan identitas masyarakat penggunanya. Tulisan ini menggunakan sumber data yang berasal dari pengamatan penulis sebagai masyarakat Jawa atas percakapan antar masyarakat Jawa di Surakarta, Jawa Tengah.
2. Kerangka Teori
Untuk memahami aspek-aspek indirectness dalam wacana percakapan, perlu kita terlebih dahulu menengok kembali Prinsip Kerjasama (cooperative principle) yang dikemukakan oleh Grice (1975). Menurut Grice ada empat bidal (maxim) dalam komunikasi yang disebut Prinsip Kerjasama (co-operative principle) yang dipatuhi bersama antara pembicara dan lawan bicara. Keempat bidal tersebut adalah sebagai berikut.
1). Quantity (kuantitas), yang meliputi :
a. Make your contribution as informative as is required (for the current purpose of the exchange), maksudnya adalah dalam proses komunikasi baik pembicara maupun lawan bicara harus memberikan kontribusi (pembicaraan) yang memadai, artinnya baik pembicara maupun lawan bicara tidak boleh mendominasi percakapan.
b. Do not make your contribution more informative than is required, yang artinya bahwa baik pembicara maupun lawan bicara tidak boleh memberi informasi (berbicara) melebihi yang diperlukan.
2) Quality (kualitas), yang meliputi :
a. Do not say what you believe to be false, maksudnya adalah baik pembicara maupun lawan bicara tidak boleh berbohong. Kedua pihak harus percaya akan apa yang dikatakan oleh pembicara, demikian sebaliknya.
b. Do not say for which you lack adequate evidence, yang artinya bahwa pembicara dan lawan bicara tidak boleh berbicara jika tidak memiliki bukti yang cukup.
3) Relation (hubungan)
Be relevant, yang artinya bahwa apa yang dikatakan baik oleh pembicara maupun lawan bicara harus relevan.
4) Manner (Cara)
Be perspicious, maksudnya apa yang dikatakan harus jelas. Jenis ’maxim’ ini diuraikan menjadi empat macam, yaitu: (1) avoid obscurity (hindari ketidakjelasan), (2) avoid ambiguity (hindari kerancuan makna), (3) be brief (singkat), dan (4) be orderly (runtut).
Keempat bidal di atas menjelaskan apa yang harus dipatuhi oleh pembicara maupun lawan bicara agar tujuan komunikasi berhasil. Pertanyaan yang muncul adalah bentuk komunikasi yang bagaimanakan yang dihasilkan apabila satu atau lebih dari bidal-bidal di atas dilanggar oleh pembicara atau lawan bicara, dan kenapa pembicara (tidak) mematuhi bidal-bidal tersebut. Pertanyaan lain adalah apakah tujuan komunikasi menjadi tidak berhasil apabila penutur tidak mematuhi prinsip-prinsip kerjasama yang tertuang dalam empat bidal di atas.
Tujuan komunikasi, selain untuk menyampaikan informasi (fungsi referensial/informatif) adalah juga untuk memelihara hubungan sosial (fungsi afektif/ fungsi sosial) (Holmes, 2001:259). Dalam hal memelihara hubungan sosial, tujuan komunikasi menjadi sangat kompleks karena penutur tidak hanya mempertimbangkan faktor-faktor linguistik semata, namun juga faktor-faktor non linguistik, seperti aspek sosio kultural. Hudson (1980) mengatakan bahwa faktor peran dan hubungan, usia, dan stratifikasi sosial juga sangat berperan dalam mencapai tujuan komunikasi untuk menjalin hubungan sosial.
Sebuah ujaran dapat memiliki fungsi informatif yang berkadar tinggi, dan sebaliknya sebuah ujaran dapat memiliki fungsi sosial dengan kadar rendah. Bahkan, ada juga sebuah ujaran yang mengandung sekaligus fungsi informatif dan sosial (Gunarwan, 2007:88). Lebih lanjut Gunarwan mengatakan bahwa kedua fungsi bahasa tersebut merupakan pedoman bagi seseorang bagaimana ia akan mengungkapkan ujarannya, yaitu apakah ia akan mematuhi Prinsip Kerjasama (cooperative principle) atau tidak. Dalam hal ini seorang penutur tentunya memiliki alasan tertentu kenapa ia melanggar atau mematuhi Prinsip Kerjasama.
Pada saat kita berbicara fungsi sosial bahasa, kita tidak bisa terlepas dari teori face (muka) yang dikemukakan oleh Ervin Goffman (dalam Tsuda, 1993:64), yang kemudian dikembangkan oleh Brown dan Levinson (1987). Menurut mereka, ada dua wujud muka, yaitu muka positif, dan muka negarif. Muka positif mengacu pada citra diri seseorang bahwa segala yang berkaitan dengan dirinya itu patut dihargai (yang kalau tidak dihargai, orang yang bersangkutan akan kehilangan mula). Sedangkan muka negatif merujuk citra diri seseorang yang berkaitan dengan kebebasan untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kemauannya (yang kalau dihalangi, orang tersebut akan kehilangan muka). Lebih lanjut Brown dan Levinson mengatakan bahwa muka itu rawan terhadap ancaman yang timbul dari tindak tutur tertentu. Artinya ada tindak tutur yang karena isi atau cara menyampaikannya menyebabkan muka terancam, apakah itu muka penutur atau muka lawan tutur. Tindak tutur yang mengancam muka disebut dengan face- threatening act (FTA)
Brown dan Levinson mengatakan bahwa ada tiga faktor sosiologis yang menentukan penggunaan strategi tertentu oleh seorang penutur yakni : 1) besarnya perbedaan kekuasaan di atara keduanya (the relative power of the hearer over the speaker), 2) jarak sosial antara penutur dan lawan tutur (the sosial distance between the speaker and the hearer), dan 3) status relatif jenis tindak tutur yang diujarkan penutur di dalam budaya yang bersangkutan (Brown dan Levinson, 1987:15-16). Berdasarkan ketiga pertimbangan tersebut, penutur memilih strategi untuk melakukan tindak tutur yang sesuai dengan isi dan maksudnya.
Berkaitan dengan ketiga faktor di atas, ada empat strategi utama yang dipilih oleh seorang penutur untuk menyampaikan tuturannya, yaitu: 1) bertutur secara terus terang tanpa basa-basi (bald on record), 2) bertutur dengan menggunakan kesantunan positif, 3) bertutur dengan menggunakan kesantunan negative, dan 4) bertutur dengan cara samar-samar atau tidak transparan (off record), yang berarti bahwa tuturan tersebut disampaikan secara tidak langsung (indirect) (Brown dan Levinson, 1987).
Teori Brown dan Levinson di atas digunakan untuk menjelaskan fenomena strategi indirectness dalam percakapan masyarakat Jawa. Berikut ini akan diuraikan bagaimana strategi indirectness tercermin dalam penggunaan leksikon dan struktur kalimat.
2. Strategi Indirectness dalam Tanda Linguistik Jawa
Pembicaraan tentang strategi indirectness dalam tanda linguistik Jawa berkaitan dengan tingkat tutur bahasa Jawa. Untuk itu, sebelum dibahas bagaimana strategi ini tercermin dalam tanda linguistik, terlebih dahulu akan diuraian tingkat tutur bahasa Jawa.
2.1. Tingkat Tutur Bahasa Jawa
Beberapa peneliti bahasa Jawa seperti Geertz (1960) dan Kartomihardjo (1982) mengatakan bahwa bahasa Jawa pada dasarnya memiliki tiga macam tingkat tutur, yaitu ngoko (ragam kasar), madya (ragam menengah), dan krama (ragam halus). Perbedaan dari ketiga ragam tersebut terletak pada pilihan leksikon dan bentuk afiks, tetapi tidak berbeda dalam sistem sintaksis (Poedjosoedarmo, 1986:67). Berikut ini contoh kalimat ragam ngoko, pada (1), madya (2), dan krama (3).
1) Kowe wis mangan ?
2T sudah makan
’Kamu sudah makan ?’
2) Sampeyan sampun nedha ?
2T sudah makan
’Kamu sudah makan ?’
3) Panjenengan sampun dhahar ?
2T sudah makan
’Kamu sudah makan ?’
Bentuk leksikon untuk ragam madya dan krama tidak selalu berbeda. Kata ’sudah’ untuk ragam madya dan krama tidak berbeda, yaitu sampun. Yang membedakan kedua ragam tersebut adalah leksikon untuk kata ’kamu’ dan ’makan’, yang dalam ragam madya digunakan sampeyan ’kamu’ dan nedha ’makan’, dan dalam ragam krama digunakan kata panjenengan ’kamu’ dan dhahar ’makan’.
Penggunaan dari ketiga ragam di atas sangat dipengaruhi oleh perbedaan jarak sosial antara penutur dan petutur. Derajat perbedaan jarak sosial ini dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu usia, status sosial, dan formalitas. Ragam krama dikatakan ragam formal dan sangat halus, ragam madya menandakan semiformal, dan ragam ngoko menandakan kedekatan (closeness) dan informalitas. Ragam ngoko dikatakan memiliki ciri unmarked karena dalam ragam ini hubungan status sosial antar penutur dan petutur dalam komunikasi tidak dipermasahkan. (Purwoko, 2008b:63).
Strategi indirectness dapat terjadi pada ketiga ragam di atas, walaupun lebih sering dijumpai pada ragam krama. Strategi indirectness ini dapat dikenali secara eksplisit lewat tanda-tanda lingusitik maupun lewat sistem wacana dan konvensi sosial milik masyarakat penutur asli dari bahasa yang bersangkutan (Purwoko, 2008a:63). Dalam tulisan ini hanya diuraikan strategi indirectness yang secara eksplisit tampak dalam tanda lingustik, yaitu melalui penggunaan leksikon dan bentuk struktur kalimat.
2.2. Strategi Indirectness dalam Penggunaan Leksikon
Disebutkan di atas bahwa tidak semua leksikon ragam ngoko memiliki bentuk madya dan krama yang berbeda. Kata durung ’belum’, misalnya memiliki bentuk madya dan krama yang sama, yaitu dereng. Namun demikian penggunaan kata dereng tidak masalah dalam bahasa Jawa krama karena kata tersebut merupakan adverbia. Permasalahannya adalah bagaimanakah penutur Jawa mengungkapkan maksud tuturan dalam ragam krama yang menginginkan verba tindakan yang tidak memiliki bentuk krama.
Strategi indirectness merupakan salah satu cara mengatasi permasalahan keterbatasan leksikon verba dalam ragam krama. Dalam bahasa Jawa ragam krama, dijumpai bentuk-bentuk leksikon yang digunakan secara metaforis, seperti terlihat pada contoh kalimat berikut ini.
1) Ingkang dipun lenggahi pundi ?
yang di duduki mana
’Tempat tinggalnya di mana ? / Lit ” Yang diduduki mana?”
Pada kalimat di atas kata lenggah, yang secara harfiah berarti ’duduk’ digunakan secara metaforis untuk menyebut ’tempat tinggal’. Dalam bahasa Jawa, dijumpai kata manggon (ngoko) dan manggen (madya) untuk ungkapan ’bertempat tinggal’. Namun demikian dalam kalimat di atas digunakan kata lenggah yang bisa berarti ’bertahta’, sehingga penggunaan kata tersebut menjadikan tuturan menjadi lebih halus. Bentuk leksikal ini digunakan oleh penutur untuk menghindari tindakan mengancam muka (face threatening act- FTA) karena dalam ragam krama penutur dituntut menggunakan leksikon ragam krama, walaupun harus melanggar bidal Cara (ketidakjelasan). Penggunaan kata manggen dalam konteks kalimat di atas bisa mengancam muka lawan tutur karena lawan tutur merasa bahwa kata manggen kurang cukup memberikan rasa hormat kepada dirinya. Bagi masyarakat non Jawa yang sedang belajar bahasa Jawa, ataupun masyarakat Jawa yang tidak menguasai ragam krama kalimat (1) di atas bisa menimbulkan salah pengertian, karena kata lenggah bisa berarti ’duduk’. Namun demikian konteks akan membantu memahami maksud kalimat di atas.
Contoh lain penggunaan strategi indirectness dalam ragam krama dapat dijumpai pada penggunaan leksikon ngasta ’membawa’ dan pundhutake ’membelikan’ berikut ini.
2) Panjenengan ngasta wonten pundi ?
2T (+H) membawa di mana
‘Anda kerja di mana ? / Lit : Anda membawa di mana ?’
3) Ibu, pundhut-ake aku klambi anyar !
Ibu ambil-kan 1T baju baru
’Ibu, belikan saya baju baru/ Lit : Ibu ambilkan saya baju baru’
Pada kalimat (2), kata ngasta merupakan bentuk krama dari verba nggawa yang secara harfiah bermakna ’membawa’. Akan tetapi dalam kalimat tersebut kata ngasta digunakan secara metaforis untuk makna ’bekerja’. Dalam BJ terdapat kata nyambut damel ’bekerja’ yang merupakan bentuk madya (setengah halus) dari bentuk ngoko ’nyambut gawe’. Akan tetapi, karena dalam bahasa Jawa tidak dijumpai ragam krama dari kata ’nyambut gawe, maka digunakan kata ngasta. Penggunaan kata ’nyambut gawe’ dalam ragam krama bisa menumbulkan FTA, karena kurang cukup memberikan rasa hormat kepada lawan tutur. Strategi indirectness ini terjadi pula pada kalimat (3), yaitu penggunaan kata pundhut yang merupakan bentuk krama dari kata jupuk yang secara harfiah berarti ’ambil’. Kata pundhut digunakan untuk makna ’beli’ karena dalam bahasa Jawa tidak dijumpai bentuk krama dari kata tuku ’beli. Penggunaan bentuk ngasta dan pundhut pada kalimat (2) dan (3) di atas ini dimaksudkan menyelamatkan muka lawan tutur, yang dianggap memiliki jarak sosial lebih tinggi.
Strategi indirectness dalam penggunaan leksikon tidak hanya terjadi pada ragam krama. Dalam ragam ngoko bentuk pronomina untuk orang kedua adalah kowe ’kamu’. Akan tetapi kata tersebut dirasa kasar oleh penutur, sehingga untuk menghindari FTA, digunakan kata kono ’itu’ yang merupakan bentuk pronomina demonstratif, seperti pada contoh berikut ini.
4) Kono wis mangan ?
situ sudah makan
’Kamu sudah makan? / Lit : Situ sudah makan?’
Kalimat (4) merupakan ragam ngoko yang digunakan antar teman yang sudah akrab. Bentuk pronomina demonstratif kono yang secara harfiah berarti ’situ’ dalam kalimat (4) digunakan secara metaforis untuk makna kowe ’kamu’. Penggunaan kata kowe mengindikasikan adanya jarak sosial, yaitu penutur dianggap kurang menghargai lawan tutur. Kata kowe biasanya digunakan untuk orang yang status sosialnya jauh dibawah penutur, sehingga kata kowe sering dihindari dalam komunikasi dengan orang yang sederajat atau yang tidak mempermasalahkan jarak sosial. Sebetulnya dalam bahasa Jawa dijumpai kata sampeyan ’kamu (bentuk madya)’ dan panjenengan ’kamu (bentuk krama), akan tetapi penggunaan bentuk sampeyan atau panjenengan tidak tepat untuk tujuan keakraban, karena bentuk madya atau krama mengindikasikan adanya jarak sosial antara penutur dan lawan tutur. Kata kono merupakan bentuk ngoko sehingga penggunaan kata kono dalam kalimat (4) tidak mengganggu ragam ngoko yang dipakai penutur. Dengan penggunaan kata tersebut fungsi sosial komunikasi tetap berjalan dengan baik karena penutur bisa mengindari FTA.
Strategi indirectness masyarakat Jawa dalam penggunaan pronomina sering berpengaruh pada komunikasi antar teman dalam bahasa Indonesia, yaitu penggunaan pronomina ’situ’ untuk makna ’kamu’, seperti tampak dalam kalimat berikut ini.
5) Situ kemarin pergi ke mana ?
’Kamu kemarin pergi ke mana?’
Penggunaan kata ’kamu’ bagi masyarakat Jawa dianggap bisa mengancam muka lawan tutur, sehingga untuk menghindari hal tersebut digunakan pronomina demonstratif ’situ’.
2.3. Strategi Indirectness dalam Penggunaan Struktur Kalimat
Strategi indirectness dalam bidang struktur kalimat terlihat pada penggunaan bentuk pasif. Dalam bahasa Jawa dijumpai lebih dari satu macam bentuk kalimat pasif, yaitu bentuk pasif dengan prefiks di-, untuk Agen orang ketiga, bentuk pasif dengan klitik tak-, untuk Agen orang pertama, dan bentuk pasif dengan klitik kok- untuk Agen orang kedua (Subiyanto, 1998). Dalam wacana percakapan, bentuk pasif di- sering digunakan untuk Agen orang kedua, seperti pada contoh kalimat berikut ini.
6) Apa klambi-ku wis di-kumbah ?
Apa baju -POSS 1T sudah PASS-cuci
’Apakah baju saya sudah dicuci?’
Kalimat di atas merupakan ragam ngoko yang dimaksudkan untuk menanyakan kepada lawan tutur (orang kedua) apakah dia sudah mencuci baju milik penutur. Dalam kalimat di atas penggunaan pasif di- secara harfiah mengindikasikan bahwa Agen adalah orang ketiga, bukan orang kedua / lawan tutur. Namun demikian dalam kalimat di atas penggunaan bentuk pasif di- dimaksudkan untuk Agen orang kedua. Penggunaan bentuk pasif ini dimaksudkan untuk menghindari FTA karena penggunaan pasif kok- untuk konteks yang sama, seperti pada kalimat (7), mengindikasikan adanya jarak sosial.
7) Apa klambi-ku wis kok-kumbah ?
Apa baju -POSS 1T sudah clitik 2T-cuci
’Apakah baju saya sudah kamu cuci?’
Penggunaan bentuk pasif di- merupakan strategi untuk menghindari tuturan langsung, yang apabila tidak dilakukan bisa mengancam muka lawan tutur. Dengan demikian penghilangan pronomina kedua merupakan pemarkah indirectness. Strategi indirectness seperti ini sering pula dipakai penutur yang memiliki status sosial lebih tinggi untuk berkomunikasi dengan lawan tutur yang lebih rendah dengan tujuan untuk menyelamatkan muka lawan tutur, terutama apabila berkaitan dengan tindakan yang menguntungkan pihak penutur. Strategi indirectness dalam struktur kalimat ini bisa diparalelkan dengan strategi indirectness dalam penggunaan pronomina kedua, yaitu dimaksudkan untuk menghindari jarak sosial.
Dalam ragam krama, strategi idirectness di bidang struktur kalimat pasif tidak harus dipilih karena dalam ragam tersebut ada pilihan, yaitu bisa dengan menyebutkan pronomina kedua (dengan pengedepanan Subjek), atau dengan prefiks penanda pasif dipun- yang merupakan bentuk krama dari di-, seperti pada kalimat berikut ini.
8) Menapa bukunipun sampun dipun pundut ?
Apakah bukunya sudah di ambil
’Apakah bukunya sudah diambil ?
9) Menapa bukunipun sampun panjenengan pundut ?
Apakah bukunya sudah 2T (krama) ambil
’Apakah bukunya sudah Anda ambil ?
Kedua kalimat di atas sama-sama bentuk krama yang bisa dipilih oleh penutur karena keduanya tidak mengancam muka lawan tutur. Penggunaan atau penghilangan pronomina tidak berpengaruh terhadap upaya menghindari FTA.
3. Simpulan
Berdasarkan paparan di atas dapat ditarik beberapa simpulan. Pertama, prinsip indirectness tercermin secara eksplisit dalam tanda-tanda linguistik dalam komunikasi verbal masyarakat Jawa. Dalam bidang leksikal, strategi indirectness terlihat secara jelas dalam komunikasi ragam krama yang menggunakan verba yang tidak memiliki bentuk krama. Dalam hal ini penggunaan verba lain secara metaforis merupakan strategi yang dipakai penutur. Strategi penggunaan kata secara metaforis terjadi pula pada penggunaan pronomina demonstratif untuk makna pronomina kedua dalam ragam ngoko. Kedua, strategi indirectness tercermin pula dalam struktur kalimat, khususnya bentuk kalimat pasif, yaitu dengan menggunaan bentuk pasif di- untuk Agen orang kedua. Ketiga, strategi indirectness baik yang terjadi pada bidang leksikon maupun struktur kalimat berfungsi untuk menghindari tindakan mengancam muka (FTA).
Daftar Pustaka
Brown, P. Dan S.C. Levinson. 1987. Politeness : Some Universals in Language Usage.
Cambridge: CUP
Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. Glencoe: Free Press
Grice, H. Paul. 1975. ”Logic and Conversation” dalam P Cole dan J Morgan (eds).
Speech Acts : Syntax and semantics. Volume 3. New York : Academic Press
Gunarwan, Asim.2007. ”Implikatur dan Kesantunan Berbahasa: Beberapa Tilikan dari Sandiwara Ludruk” dalam PELBBA 18. Jakarta : Unika Atma Jaya
Holmes, J. 2001. An Introduction to Sociolinguistics (Ed. ke-2) London : Longman
Hudson, R.A. 1980. Sociolinguistics. Great Britain: CUP
Kartomihardjo. 1982. Ethnography of Communication Codes in East Java. Canberra :
Pacific Linguistics
Poedjosoedarmo, Gloria Risser. 1986 “Role Structure in Javanese” dalam NUSA 24 :
Linguistic Studies of Indonesian and Other Languages. Jakarta : Atma Jaya
Purwoko, Herudjati. 2008a. Wacana Komunikasi : Etiket dan Norma Wong Cilik Abangan di Jawa. Penerbit Indeks (Tanpa Kota Penerbit)
Purwoko, Herudjati. 2008b. Jawa Ngoko : Ekspresi Komunikasi Arus Bawah Penerbit Indeks (Tanpa Kota Penerbit)
Syamsul, Anam. 2001. ”Sopan Santun Berbahasa atau Sekedar Basa Basi”. dalam JIBS (Jurnal Ilmu Bahasa dan Sastra) Vol. 1/ Nomor 21
Subiyanto, Agus. 1998. “Voice in Colloquial Javanese”. MA Thesis. Australian National University
Tsuda, Sanae. 1993. “Indirectness in Discourse: What Does It Do in Conversation”. dalam Intercultural Communication Studies III:I
[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Diponegoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar