I. PENDAHULUAN
Adat yang lazim yang diikuti atau diturunkan secara turun temurun sejak dulu. Pelaksanaan upacara adat perkawinan Pakpak yang ada di daerah dengan di kota-kota berbeda-beda. Pada umumnya pelaksanaan upacara adat perkawinan di daerah dimulai pada pagi hari. Sedangkan di kota-kota besar biasanya dimulai pada tengah hari.
Pada upacara adat Pakpak akan nampak perasaan bersama berdasarkan prinsip Delihan Na Tellu, sebagai suatu sistem sosial masyarakat Pakpak. Delihan Na Tellu merupakan ikatan kekerabatan adat-istiadat masyarakat Pakpak. Sistem kekerabatan terdapat pada Delihan Na Tellu terdiri dari komposisi :
1. Dengan Sibeltek (kawan, serumpun semarga)
2. Kula-kula (mertua atau orangtua dari istri)
3. Berru (anak perempuan dari setiap marga)
Delihan Na Tellu merupakan sistem sosial yang sangat penting pada sendi kehidupan masyarakat Pakpak yang antara satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Sebab bila satu diantaranya hilang, maka hilang pula sistem kekerabatan itu. Dapat kita ibaratkan seperti dasar negara kita yaitu Pancasila yang antara satu sila dengan sila yang lainnya tidak dapat dipisahkan namun saling kait mengkait, ketergantungan dan isi mengisi sehingga tercipta suatu ideologi negara kita. Delihan Na Tellu bagi masyarakat Pakpak digambarkan sebagai tungku na tiga yang terdiri tiga buah batu sebagai tempat periuk, belanga dan lain sebagainya untuk memasak dalam kehidupan manusia. Agar dapat digunakan untuk memasak harus ada tiga kakinya (batunya) penompangnya sehingga dapat berfungsi dengan baik. Ketiga kakinya itu identik dengan tiga bagian marga yang berlainan.
Pada suku Pakpak bilangan tiga mengandung suatu hal yang keramat dan suci. Sebab bilangan itu dipergunakan waktu upacara yang berhubungan dalam pencipta. Jauh sebelum agama Kristen maupun Islam masuk ke tanah Batak umumnya ada kepercayaan suku Batak kepada Tuhan yang tiga (Tuhan Na Tellu). Hal ini dapat dilihat pada upacara-upacara penyampaian pelean (sesajen) pora datu (dukun) dan permohonan kepada pencipta alam yang tercermin dalam kata-kata sebagai berikut : Batara Guru, Tunggal ni Kuta, Boras ni Tanoh, Hubangan mula jadi, Humbangan mulak tumpat. “Tuhan, Engkaulah mulanya serta menjadikan penyebabnya”.
Adapun makna dari kalimat tersebut adalah penghormatan kepada seluruh nenek moyang, sebelum melaksanakan upacara adat dalam masyarakat Pakpak.
Dari cerminan kata-kata di atas ternyata ada hubungannya dengan kepercayaan animisme masyarakat Pakpak yaitu seluruh alam semesta dinyatakan dalam tritunggal yang selalu dihormati pada waktu melaksanakan sesuatu kegiatan yang berhubungan dengan upacara adat.
Bagi masyarakat Pakpak walaupun terdapat tempat tinggal dan bangsa yang berbeda, namun tetap didasari rasa kebersamaan dan tujuan sebagai pandangan hidup yang berdasarkan Delihan Na Tellu. Ketiga unsur Delihan Na Tellu ini hakekatnya membawakan sifat khsusunya masing-masing, yaitu :
1. Dengan Sibeltek
Dengan Sibeltek (kawan semarga) merupakan pihak keluarga yang semarga di dalam hubungan patrilineal (bapak). Anak laki-laki dan perempuan yang semarga tidak saling menikah antara satu sama lainnya. Susunan patrilineal ini merupakan tulang punggung dari masyarakat Pakpak yang terdiri dari kaum marga dan sub suku yang semuanya bertalian menurut garis bapak. Tertib pertalian patrilineal menguasai seluruh hukum adat, hak milik, warisan, dan upacara-upacara lainnya.
Setiap orang Pakpak harus memiliki sikap dan sifat yang suka Dengan Sibeltek (kawan semarga) dimanapun ia berada. Kawan semarga itulah yang menjadi kawan untuk melaksanakan suatu upacara adat dan menjadi penggerak sehingga mesti seperasaan dalam segala hal. Sesama marga kita harus solider dan layak yang diikat di dalam satu adat.
2. Kula-kula
Kula-kula adalah keluarga/klan pemberi gadis/istri. Pihak kula-kula di dalam masyarakat Pakpak harus dijunjung tinggi, seperti pepatah Pakpak yang sering digunakan oleh masyarakat, yaitu :
“Lae pendaroh penatap natapaen,
Turbangen i lae langge,
Mula roh mende pernakapen,
Ulang lupa tenah Tuhanta”
“Sungai pendaroh pemandangan,
Sarang semut di tengah kampung
Kalau datang langkah yang mujur
Jangan lupa firman Tuhan”
Makna dari kalimat di atas adalah masyarakat Pakpak selalu menghormati Tuhan yang dianggap pangkal segalanya, sehingga dalam keadaan bagaimanapun masyarakat Pakpak selalu menyerahkan diri pada Tuhan.
“Parira ibabo cinta-cinta,
Bunga mbentar buah sampula,
Karina dapet sinipercinta,
Mula mersembah mi kula-kula”
“Petai di atas tumbuhan cinta-cinta,
Bunga putih bunga sampula
Semua dapat yang dicita-citakan
Kalau patuh pada kula-kula”
Makna dari kalimat di atas bahwa masyarakat Pakpak sangat menghormati kula-kula, agar panjang umur di dunia ini.
Oleh karena itu, kula-kula dianggap mempunyai kedudukan yang tinggi dalam sistem sosial masyarakat Batak Pakak. Bagi masyarakat Batak Pakpak disebut kula-kula (pihak orang dari istri) merupakan Tuhan yang nampak. Sehingga doa restu dari pihak itu sangat berpengaruh terhadap kehidupan putrinya.
Tobing mengatakan (1963:40)
“Hula-hula is to be seen as the representation of the high God. He is not enough their hula-hula and that the boru stand in awe of their hula-hula and that latter must be trested with great respect nour that the born enjoy and splend our which radials from the hula-hula. To them he is also source of magic power vitaliby”
“Hula-hula dipandang sebagai gambaran Tuhan. Tetapi menurut Vergowen hal tidak cukup. Berru harus memandang kula-kulanya dengan rasa hormat dan takut diikuti rasa segan. Kula-kula harus dipertahankan dengan penuh rasa hormat, ini tidak tergantung pada persoalan apakah berru ini menikmati keuntungan dan kebaikan-kebaikan yang dipancarkan kula-kula sebagai sumber magis dan pribadi yang diutamakan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kedudukan dari kula-kula ini adalah sangat tinggi bagi sistem sosialnya masyarakat Pakpak.
3. Berru
Berru adalah kelompok si penerima berru, yang tergolong kepada berru adalah kela atau suami berru, pihak keluarga kela (termasuk orang tuanya dan keturunannya). Pihak berru dianggap sebagai hulubalang (untuk disuruh atau melayani) pihak kula-kula prinsipnya ini tercermin dalam pepatah Pakpak yang dipakai pada setiap acara pesta perkawinan, yaitu :
“Bluh ibabo laklak bincoli
Laklak cingerru ibena kabo
Tubuh mo giam anak daholi,
Deket berrupe ma pengarihen”
“Bambu di atas kulit Bincoli
Kulit cingkerru di belah-belah
Lahirlah anak laki-laki
Perempuan dapat membantu”
Makna dari kalimat di atas adalah masyarakat Pakpak selalu mengharapkan anak laki-laki, namun keinginan itu sudah dipenuhi anak perempuanpun penting juga sebagai pekerja dalam upacara adat.
Jadi, berru harus takut pada perintah apapun dari kula-kula hal itu merupakan penghormatan walau berru itu diperintah. Walaupun berru ini dinikahkan terhadap marga-marga lain, bukanlah putus hubungan kekeluargaan dengan marganya malah itu menambah jumlah keluarga kedua belah pihak menginginkan agar mendapat keturunan dan banyak rejeki. Terbukti dari perumpamaan Pakpak yang menyatakan :
“Sampula mbulak mi rube”
Kayu tembiski i sindeka,
Mula merdukak mbue,
Ingo rejeki Simendena”
“Karbe tumbang ke rube
Kayu tembiaki di Sindeke
Kalau memiliki anak banyak
Itulah rejeki yang paling balk”
Makna dari kalimat di atas adalah masyarakat Pakpak menganggap anak adalah merupakan harta yang tak ternilai harganya. Anak merupakan penerus dari keturunannya, sehingga masyarakat Pakpak menginginkan keturunan yang banyak.
Kalau Berru itu banyak keturunan, barulah dapat tempat mengadu. Kalau berru itu banyak rejeki atau kekayaan maka kula-kula senang dan bangga karena berrunya itu suka memberi terhadap kula-kulanya.
Berru berbeda sedikit dengan kela walaupun kedudukannya sama seperti Berru. Ada yang berpendapat bahwa kela itu lebih dekat hubungannya dengan kula-kula daripada berru. Memang kalau hubungan sehari-hari kela lebih dekat dengan kula-kula daripada berru, tetapi kalau ditinjau dari keturunan dan darah maka berru lebih dekat dengan kula-kula daripada kela sehingga berru ada semboyan, “sekali berru tetap berru”. Sedangkan untuk kula-kula semboyan ini tidak berlaku. Alasannya ialah kela besok lusa bisa bercerai dengan berru kita dan kalau sudah bercerai maka sudah tentu tidak kela kita lagi.
Kemungkinan dengan alasan inilah maka masyarakat Pakpak tidak pernah memanggil kela dengan menyebut namanya, kela dipanggil dengan menyebutkan marganya. Dengan demikian jika kita sebagai kula-kula terhadap kela harus sopan atau hati-hati biarpun kela di bawah derajat kita. Anggapan ini dalam pelaksanaan sehari-hari selalu dipelihara untuk menghindarkan hal-hal yang tak diinginkan.
Selain fungsi di atas, berru juga berkedudukan sebagai penghubung (juru damai) serta memikul biaya. Hal ini ditugaskan kepada berru waktu ada perselisihan di antara kula-kula. Jika memang bersedia, maka berru sebagai penghubung yang berkewajiban untuk mendamaikan kula-kula. Pada saat yang demikian ini, kedudukan berru naik setingkat menjadi raja penghubung. Tugas itupun waktu menyelesaikan persoalan itu menjadi terhormat.
Dari uraian-uraian di atas dapat dikatakan bahwa upacara adat perkawinan dalam masyarakat Pakpak terlaksana dengan adanya kerjasama yang baik antara sesama anggota masyarakat yang tercakup dalam Delihen Na Tellu.
Pesta perkawinan adalah upacara adat yang terpenting bagi orang Pakpak, karena hanya orang yang sudah menikah berhak mengadakan upacara adat.
Istilah perkawinan menurut orang Pakpak disebut Merbekaskom. Maksudnya bilamana seseorang masih remaja berarti belum mempunyai pegangan, tanggung jawab dan merasa bebas. Setelah menikah hal tersebut harus berobah. Istilah lain juga disebut Merkejejapen atau jejap. Bagi laki-laki istilah menikah disebut Merunjuk, sedangkan bagi wanita disebut sijah.
Suku Pakpak menganut garis keturunan berdasarkan laki-laki (patrilineal). Perkawinan yang ideal atau yang diharapkan adalah kawin dengan putri pamannya yang disebut Muat impalna atau istilah lain Menongketi artinya meneruskan kedudukan si ibu dalam keluarga marga laki-laki.
Seorang laki-laki yang kawin bukan dengan impalnya maka disebut Mungkahuruk-nikahal jika hal tersebut terjadi, maka silaki-laki (orangtua) harus terlebih dahulu minta restu kepada pamannya dengan memberi makan dan memberi oles. Akan tetapi jika terjadi sebaliknya, si wanita (putri paman) duluan kawin, maka dia wajib permisi kepada impalnya tanpa harus menyediakan seperti yang dilakukan pihak laki-laki.
Perkawinan satu marga tidak diperbolehkan oleh adat, yang disebut Sumbang (incest). Namun di daerah Puak Boang, perkawinan satu marga pernah terjadi, umpamanya marga Berutu kawin dengan gadis Berutu.
Secara tradisional suku Pakpak mengenal beberapa bentuk perkawinan, yaitu : Sitari-tari (merbayo menama, mengrampas, mengeke dan mengalih).
Sitari-tari (Merbayo) merupakan bentuk perkawinan yang biasa dilaksanakan (dibicarakan lebih lanjut). Bentuk Sohom-sohom (kawin lari) adalah perkawinan mana pria mencintai seorang gadis, tapi bukan sebaliknya. Sedangkan si pria mendapat dukungan dari orang tua si gadis. Dalam kehidupan sehari-hari si pria sering memberikan jasa kepada orang tua si gadis, dan sering tinggal di rumah orang tua si gadis. Inilah yang disebut Kela-kela mengan (bride service).
Bentuk ini pada saat sekarang sering disebut Menglua (Batak Toba : Mangalua). Upacara biasanya hanya sederhana dan cukup dihadiri keluarga dekat.
Jenis kedua adalah Menama. Menama hampir sama dengan sohom-sohom, bedanya bahwa antara pria dan wanita ada rasa saling mencintai, namun pihak orangtua si gadis tidak setuju, sehingga dicari cara lain yaitu dengan kawin lari. Sebelum masuk agama Kristen dan Islam, maka sebagai tanda bersalah, pengantin cukup membawa makanan dengan lauk daging anjing.
Jenis ketiga adalah mengrampas. Mengrampas artinya membawa paksa calon istri. Sebagai hukuman untuk si laki-laki, adalah bahwa utang (mas kawin) tidak mempunyai batasan. Dalam bahasa Pakpak disebut Mertimbang i lahu, mersukat i karnat. Bentuk kelima adalah mencukung. Bentuk ini hampir sama dengan mengrampas.
Jenis keempat adalah Mengeke, yakni menikahi janda dari adik atau abang dari si laki-laki. Tujuannya hal ini seorang laki-laki memungkinkan mempunyai istri lebih dari satu orang (poligami).
Jenis kelima adalah mengalih. Mengalih adalah seorang laki-laki menikah janda dari abangnya, namun dapat juga menikahi janda orang lain.
Upacara adat perkawinan yang ideal Sitari-tari, pada waktu dulu bentuk perkawinan seperti ini harus diiringi dengan musik tradisional (Merkata Genderang Sipitu). Kemudian pelaksanaan upacara ini disebut Merbayo. Sebutan lain dari upacara ini disebut juga Sinima-nima.
Sebelum membicarakan upacara perkawinan, ada baiknya dibicarakan dahulu hal-hal yang harus ditempuh seorang pemuda tentang hubungannya dengan pemudi yang akan disuntingnya. Ada beberapa tahapan yang harus dilalui agar suatu perkawinan dapat dianggap resmi secara adat, antara lain : Mengririt/ mengindangi (meminang) : Mersiberen tanda bujur (tukar cincin) ; Mengkata utang, (menentukan mas kawin) dan merboyo (pesta perkawinan).
Mengririt/Mengindangi (meminang)
Seorang pemuda yang ingin menikahi seorang gadis, terlebih dahulu meneliti/menyelidiki mengenai status riwayat hidup, budi pekeri, sikap dan status sosial orang tua si gadis, demikian juga sebaliknya. Seorang pemuda yang ingin menyampaikan rasa cintanya kepada seorang gadis dilakukan melalui perantara. Biasanya bibinya (namberunya), meminang pada waktu dulu, bisa sampai lima tahun. Walau begitu panjang waktu yang harus dilalui, komunikasi antara si laki-laki dan si gadis secara langsung tidak pernah terjadi. Komunikasi hanya dilakukan melalui simbol, sinebel dengan menggunakan benda-benda tertentu seperti sisir, makanan, hasil anyaman dan lain-lain. Mengririt bukan hanya kewajiban laki-laki, namun juga merupakan kewajiban perempuan. Dalam falsafah Pakpak disebut “Pengririt pe dahuli, pengririten deng daberu”, artinya walaupun pintar laki-laki untuk meneliti calon istri, namun lebih pintar lagi wanita untuk mencari pasangan suami.
Acara meminang, dilaksanakan di rumah pihak berru sambil makan bersama. Setelah makan bersama akan diadakan tanya jawab antara kedua belah pihak. Pihak laki-laki akan memulai membuka pembicaraan.
“Kirano mo kita; kami ngo mbusur mangan janah mengakepkan nasa roroh merasa maseh mo ate Tuhan i pasuh-pasuh mo i asa tuhu-tuhu gabe pasu-pasu ming kami. Usen ku berehken kami papurun mi juma mi rumah asa ndorok kita kirana i terenget adat si naeng bakienta. Maseh mo mi Tuhanta kita mersada janah i pasu-pasu kita mi ari si no roh”.
“Marilah kita bicara raja kami, kami telah kenyang dengan makanan yang sungguh enak dan lezat, mudah-mudahan mendapat berkat bagi kami. Kiranya membawa kebahagiaan dan keselamatan bagi kita semua, serta Tuhan kiranya memberkati kita semua”.
Setelah pihak laki-laki selesai berbicara mengenai maksud dan tujuannya maka pihak perempuan akan langsung menjawab pihak laki-laki tersebut, dengan kata-kata :
“Raja nami raja kula-kula, martue i bages sini hormaten kasipe pangan sini hantaran nami, merohon pedasna, naing mo nemu mengkorehken pasu-pasu. Odah ngo kerna pedik nami, mula pe bage, asa i polin ni arih makin mi mendena”
“Asa bage kata umpama :
kotak-katik gedang palu-paluna,
nakan cituk mboi pinasuna.
“Raja kami raja kula-kula, ibu yang kami hormati, walaupun makanan yang kami hidangkan seadanya semoga memberikan banyak berkah. Bukannya karena pelit kalaulah demikian, semoga akan nampak pada hari mendatang. Seperti kata pepatah : Walaupun dengan pemberian yang sedikit, namun membawa faedah yang banyak”.
Makna dari kalimat di atas adalah masyarakat Pakpak bila sedang makan dalam suatu adat perkawinan, bila sudah diberkati oleh kula-kula, maka makanan itu akan dianggap membawa berkah.
Mersiberen Tanda Burju (Tukar Cincin)
Setelah ada persesuaian antara laki-laki dan perempuan, maka dilakukan tukar cinicn. Mersiberen Tanda Burju dilakukan jika pergaulan muda-mudi itu akan ditingkatkan kepada perkawinan, maka terlebih dahulu “Mersiberen Tanda Burju”. Dalam tahap ini peranan pihak ketiga tetap penting. Pada saat tukar cincin, dilakukan pertukaran barang seperti cincin, kain, dan lain-lain. Kemudian diakhiri dengan membuat ikrar atau janji disebut Merbulaban. Dalam merbulaban ada yang membelah daun sirih dan setiapbagian dimakan masing-masing. Adapun kata-kata yang diucapkan namberunya sebagai mediator adalah “ise siobah padan, bana roji japok, janah jopok mo umurna” artinya siapa mengingkari janji, pendeklah umurnya.
Apabila si gadis ingkar, selain dia menerima hukuman atas bala sesuai dengan isi ikrar, juga berlaku ketentuan : “siganda sigandua urat ni pedem-pedem, sada gabe dua, dua gabe enem” artinya tanda mata yang diterima dari laki-laki harus dibayar dengan harga dua kali lipat. Sedangkan bila si pemuda ingkar janji berlaku : “tinunjangana milikna” artinya benda yang telah diberikan (cincin, emas, perak dan lain-lain) dianggap hilang.
Biasanya upacara tukar cincin ditutup dengan pantun :
“Ngkong pe urat ni buluh
Ngkong deng urat teloden
Ngkope kata ni hukum
Ngkongen deng kata ni pada”
“Kuat akar bambu
Kuat akar teloden
Kuat kata hukum
Lebih kuat padan atau janji”
Makna dari kalimat di atas adalah masyarakat Pakpak bila telah berikrar/janji dengan pria maupun wanita tidak boleh sembarangan melanggar janji. Karena, masyarakat Pakpak patuh pada adat dan norma di dalam kehidupan.
Mengkata Utang (Menentukan Mas Kawin)
Mersiberen Tanda Burju ini diberitahukan kepada orang tua kedua belah pihak. Setelah orang tua kedua belah pihak mengetahui hal anaknya telah Mersiberen Tanda Burju, maka diundanglah dengan sibeltek dan anak beru, untuk musyawarah dan mengutuskan Telangke Menge Motihnya (perantara dari pihak berru).
Setelah kedua belah pihak sepakat, maka tahapan selanjutnya adalah menyampaikan selembar kain kepada keluarga masing-masing, yang dapat juga disampaikan oleh bibitnya. Ada dua kelompok yang akan berangkat ke rumah keluarga perempuan, kelompok pertama disebut penglolo yang terdiri dari berru, dari pihak laki-laki. Tugasnya sebagai pembicara awal atau sekedar memperoleh; kedua adalah Perkata kata yang dari Persinabul. Perkata-kata yang mempunyai tugas sebagia pembicara dalam membicarakan besar mas kawin yang akan disampaikan. Kemudian anggota Persinabul adalah sinina (kerabat semarga dari keluarga laki-laki) ditambah oleh kerabat yang akan bertanggung jawab membayar mas kawin kepada keluarga si gadis (Perkaing).
Lamaran yang diterima, selanjutnya menentukan tanggal kapan mengkata utang. Pada hari yang ditentukan, berangkatlah rombongan laki-laki atau paranak (tulangke menge molih), ayah/pak tua atau wakilnya, anak berru dengan sebeltek dan parsinabul, diperlengkapi dengan parpurun dudur (cerama tempat sirih), uang secukupnya.
Pihak perempuan, demikian juga mengundang “dengan sibeltek, berru, kula-kula, pertaki dan pengitak kampung” untuk menyambut kedatangan tamunya dari pihak peranak. Orangtua perempuan harus memotong ayam untuk mereka makan bersama.
Menurut adat Pakpak segala pekerjaan harus didahului makan bersama, supaya membawa berkat. Sehabis makan bersama, pihak perberru (tuan rumah) menanyakan maksud kedatangan para tamunya, maka pihak paranakpun meneyrahkan Marpurun dudur (sirih) dan sira penggaseang (oleh-oleh yang dibawa tanda sayang), biasanya garam, ikan dan kue-kue serta menjelaskan agar kiranya tuan rumah (kula-kula) dapat menerima anaknya mereka menjadi menantunya. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa anak dan berru mereka telah saling mencintai dan telah bertukar cincin.
Dengan demikian mulailah acara Mengkata Utang (menentukan mas kawin/boli) yang disebut : “Utang Unjuken”. “unjuken” atau mas kawin, yang perlu ditentukan atau diketahui antara lain :
1) Berapa rial (rupiah) takal tujuken untuk suhut
Misalnya : uang, emas (sipihir-pihir), tanah, sawah, penanda, tendean kela (bantal pengantin laki-laki), dan oles (mandar) sebanyak 5 buah (oles inang ni berru, oles peraleng, oles culikasi, oles cibal-cibal, dan oles penantun) semua mas kawin tersebut diserahkan kepada orang tua si gadis, kalau tidak ada lagi diserahkan kepada saudara laki-laki gadis.
2) Upan Turang, diserahkan kepada saudara laki-laki.
3) Togoh-togoh, diserahkan kepada saudara dari ayah nomor dua. Togoh-togoh artinya yang memberi makan siang sang pengantin ketika masih tinggal di rumah keluarga si gadis, misalnya uang, emas (sipihir-pihir) dan oles satu helai.
4) Tadoan, diserahkan kepada saudara laki-laki dari ayah nomor tiga, misalnya uang, dan ditambah oles satu helai.
5) Penampati, diserahkan kepada saudara ayah satu kakek, misalnya uang ditambah kain (oles).
6) Persinabuli, diserahkan kepada persinabul. Semua mas kawin tersebut di atas dari 1 sampai 5 diserahkan kepada kelompok kerabat semarga dari pihak calon pengantin perempuan (sinina). Kemudian ada lagi yang diserahkan kepada pihak kula-kula (saudara laki-laki dari ibu si gadis).
7) Upah Puhun, diserahkan kepada saudara laki-laki ibu si gadis. Jumlahnya sama dengan Upah turang.
8) Upah Empung, jumlahnya setengah dari upah puhun dan diserahkan kepada orang tua dari si ibu calon pengantin perempuan.
9) Penelangken, diserahkan kepada saudara perempuan ayah si gadis. Penelengken ini juga disebut : tokal Pegu dalam bahasa Pakpak, yang artinya dalam bahasa Indonesia kepala empedu.
10) Upah Mendedah, diserahkan kepada saudara perempuan dari ayah si gadis paling bungsu. Ini ditentukan juga disebut ekur pegu.
Apabila telah ditentukan jumlah mas kawin, maka dilanjutkan pembicaraan, tentang jumlah kerabat si gadis yang menerima oles (peroles) yang harus dibayar kepada keluarga calon pengantin perempuan. Jumlah peroles yang ditawarkan dapat menggambarkan banyaknya keluarga dari orang tua si gadis.
Peroles ini dibagi dua, yaitu peroles Mbelgah dan sering disebut Kaing sisosiat. Kaing sisosiat artinya kedudukannya dalam kerabat masih dekat, namun karena kaing terbatas, dia disebut Peroles mbelgah, misalnya saudara laki-laki dari pengantin perempuan yang telah berkeluarga, saudara ayah dari pengantin perempuan, dan keluarga dekat lainnya. Bagian kedua adalah Peroles kedek disebut juga tumbuk-tumbuk.
Setelah selesai acara penentuan mas kawin, maka dilakukan mengikat hutang mas kawin (mengkelcing utang) baru ditentukan waktu pelaksanaan upacara. Pelaksanaan disesuaikan dengan waktu yang tepat dari kedua belah pihak, yaitu dengan menentukan hari baik yaitu sesuai dengan kalender Pakpak dititiari, disebut juga “mengkias pudun”.
Setelasi selesai musyawarah, maka ditentukan uang tanda kesepakatan yaitu pihak peranak membayar pago-pago (uang) 6 (enam) real dan perberu 3 (tiga) real. Pago-pagi ini dibagikan persinabul pada yang hadir dengan perbandingan 2:1 sama dengan 1/3 dari jumlah ini diberikan pada pihak peranak : 2/3 sampai dibagikan kepada pengetua kampung perberru.
Pada waktu keluarga pemuda pulang, maka pihak keluarga calon pengantin perempuan (perberru) mempersiapkan satu ekor ayam hidup, beras satu liter, uang beserta sirih, kapur sirih, gambir, pinang, tembakau, tiakr untuk dibawa ke rumah keluarga laki-laki. Ayah hidup ini mengisyaratkan bahwa utusan laki-laki telah berhasil meminang calon menantunya.
Sepulang dari tempat si perberu, si peranak mengundang famili-famili dekat dan jauh untuk makan bersama dan minta doa restu serta bantuan atau (gugu) uang. Untuk biaya perkawinan anaknya. Pada kesempatan ini sukut peranak mengumumkan kepada seluruh yang hadir, untuk hadir pada saat pesta perkawinan dilaksanakan.
Sitari-tari/Merbayo (Pesta Perkawinan)
Menjelang hari yang telah ditentukan, calon pengantin mengunjungi sekaligus pamitan kepada keluarga. Biasanya calon inilah disebut Nakan Pengendo Tangis (makanan supaya pengantin perempuan dapat menangis, sambil mengemukakan apa keluhan dan harapannya). Isi tangis ini disebut dalam bahasa Pakpak tangis beru si jahe (tangisan wanita yang akan menikah).
Pada hari yang telah ditentukan berangkatlah rombongan peranak lengkap dengan seluruh keluarga yang terdekat mengantarkan pengantin laki-laki ke rumah calon mertuanya. Sesampai di halaman, pihak pengantin perempan telah berdiri di depan pintu dan beru mbelin (Takal pegu/penelangken) dari keluarga pengantin perempuan, berdiri paling depan sambil menjingjing pinggan berisi beras yang dialas dengan sumpit (kembal). Di depan pintu rumah telah diletakkan bara api yang nantinya harus dilangkahi rombongan peranaki.
Setelah rombongan pengantin laki-laki datang, didahului oleh ibu-ibu maka disambut oleh persinabuli pengantin perempuan menanyakan perberitaan (persiapan upacara) : “kade berita ?” (bagaimana kabar). Kemudian dijawab oleh pihak peranak dalam bahasa Pakpak : “Berita mberas page tambah bilangan” (kabar baik, tak kurang sesuatu apapun, panjang umur, tidak tumbuh rumput pada di ladang, bagus hasil pertanian, tambah anggota keluarga).
Kemudian dijawab perberu “Imo tuhu, peddasme ukur nami mi juma mi rumah”, (tercapailah, berbahagialah kita selamanya).
Pada saat rombongan memasuki rumah beru mbelin menyiramkan beras kunyit sambil berkata dalam bahasa daerah : “ndates mo berita panjang situa-tua melaun tua, anak-anak ndar mbelin pedas mo tendi mi jumah mi rumah”, (makin tinggilah berita kita, panjang umur orang tua, anak-anak lekas besar, hangatlah jiwa kita ke ladang dan ke rumah).
Acara selanjutnya, pihak berru menyerahkan oleh-oleh yaitu makanan yang disebut nakan luah (selimpoh panas). Kemudian pihak pengantin perempuan menyerahkan makanan-makanan ringan berupa sirih, emping, tepung beras (nditak), pisang dan tebu, acara ini disebut merdohom. Setelah selesai acara merdohom dilanjutkan pelaksanaan adat kawin. Mereka yang menganut agama Kristen dilakukan pemberkatan di Gereja, sedankgan yang beragama Islam dilakukan upacara akad nikah.
Pelaksanaan Adat Perkawinan
Pada waktu mengaka utang/menglalo (menentukan besarnya utang adat), ditentukan besar kaing (sulang) siparkaing, serta siapa-siapa orang berhak menerima sesuai dengan kedudukannya atau hukum menurut urutan kelahirannya. Kemudian diserahkan oles, emas, perak, rial (uang) sesuai dengan yang ditentukan. Upacara penyerahan adat dilaksanakan pagi hari pada kekeluargaan mataniari (saat matahari naik).
II. SIMPULAN
Upacara adapt perkawinan Pakpak ini memiliki Delihan Na Telu yaitu 1) Dengan Sibeltek (kawan, serumpun semarga) ; 2) Kula-kula (mertua atau orangtua dari istri), 3) Berru (anak perempuan dari setiap marga).
Menurut perkawinan Pakpak disebut Merbekaskom, artinya bilamana seseorang masih remaja berarti belum mempunyai pegangan, tanggung jawab dan merasa bebas. Setelah menikah hal tersebut harus berobah. Istilah lain juga disebut Merkejejapen atau jejap. Bagi laki-laki istilah menikah disebut Merunjuk, sedangkan bagi wanita disebut sijah.
Merkata utang atau menentukan mas kawin dan merboyo (pesta perkawinan) ada 9 (sembilan) yaitu : 1) Mengririt/mengindongi (menimang) ; 2) Mersiberen Tanda Burju (Tukar Cincin) ; 3) Mengkata Utang (menentukan mas kawin) ; 4) Sitari-tari/Merbayo (Pesta Perkawinan) ; 5) Pelaksanaan adapt perkawinan ; 6) Pembagian daging/tulang menurut fungsi/kedudukan dalam Sulang Silima ; 7) Yang mendapat Unjuken sesuai dengan fungsi dan kedudukan dalam perjanjian Unjuken ; 8) Upah yang diterima (pembagian penerimaan menurut hak adapt sewaktu perkawinan putrid) dan 9) Kewajiban penerima Unjuken/Oles.
Setelah menerima unjuken/oles biasanya sukut memberi : 1) Pakaian berru, yaitu : emas, pakaian pengantin dan pakaian sehari-hari ; 2) Kepada pihak pengantin laki-laki diberikan : manuk (ayam), belagen (tiakr), baka kembal (sumpit) ; baka selampis (sumpit) dan beras ; 3) Menyediakan biaya pesta perkawinan hari itu untuk jamuan makan dan minum.
DAFTAR PUSTAKA
Alfian, 1982. Politik Kebudayaan Manusia, Jakarta : LP3ES.
Bangun, Payung, 1998. Tradisi dan Perubahan Konteks Masyarakat Pakpak Dairi, Medan : Monora
Gultom, Rajamarpodang, 1992. Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, Medan : Armand.
Koentjaraningrat, 1980. Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Aksara Baru.
Manurung, Syahdan. 1978, Pengantar Ilmu Perbandingan Bahasa-bahasa Nusantara, Medan : Fakultas Sastra USU.
Manik, Tindiraja. Kamus Pakpak Dairi, Jakarta : Pusat Pemeliharaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Poerwadarminta, WJS. 1980. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta : PN.Balai Pustaka.
Proyek Pelita, 1978. Survei Monograft Kebudayaan Pakpak Dairi. Medan : P dan K RI.
Siahaan, Nalom. 1982. Adat Dalihan Natolu Prinsip dan Pelaksanaannya. Jakarta : CV.Tulus Jaya.
Zuber Usman, 1974, Kebudayaan Bahasa dan Bahasa-bahasa Indonesia, Jakarta : Gunung Agung.
Warsani, 1978. Pengantar Antropologi Budaya. Medan : Fakultas Hukum USU.
[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, Medan