Refleksi Ringan Tentang
PROBLEMATIKA KEetnikan DAN kebahasaan DALAM PERSPEKTIF EKOLINGUISTIK[1]
Prof. Dr. Aron Meko Mbete [2]
PROBLEMATIKA KEetnikan DAN kebahasaan DALAM PERSPEKTIF EKOLINGUISTIK[1]
Prof. Dr. Aron Meko Mbete [2]
1. Pendahuluan
Terminologi keetnikan (ethnicity, etnisitas) sebagai konstruksi budaya (Barker, 2004), yang juga terkait dengan bahasa sebagai penanda dan pengikat, memang selalu menarik untuk dibahas. Konsep keetnikan itu pun diartikulasikan dalam diskursus sosial bahkan menjadi komoditas politik. Dalam renungan singkat ini, keetnikan atau etnisitas berkaitan dengan kesadaran akan kesamaan tradisi budaya, biologis, dan jati diri sebagai suatu kelompok (Tilaar, 2007:4-5) dalam suatu masyarakat yang lebih luas. Schemerhon dalam Purwanto (2007) mendefinisikan kelompok etnik sebagai kolektiva yang memiliki persamaan asal nenek moyang, baik secara nyata maupun semu, memiliki pengalaman sejarah yang sama, dan suatu kesamaan fokus budaya yang terpusat pada unsur-unsur simbolik yang melambangkan persamaan ciri-ciri fenotipe, religi, bahasa, pola kekerabatan, dan gabungan unsur-unsur itu. Dalam konteks perenungan ini, dinamika dan kompleksitas fenomena keetnikan dan kebahasaan khususnya, dipersoalkan dan dikaji dalam perspektif linguistik ekologi dan ekolinguistik kritis (lihat Fill, 2004). Kendati di dalam keetnikan itu termasuk pula sejumlah komponen terkait seperti asal-muasal, ras, tradisi, dan budaya, namun bahasan ini dibatasi hanya pada relasi keduanya, etnik dan bahasa, dalam dimensi ruang hidup dan gerak waktu (momen) yang terbatas pula.
Kajian dan renungan kritis tentang kedua aspek itu diupayakan untuk mencoba memetakan kenyataan hidup keetnikan dan keindonesiaan dalam keutuhan bangsa Indonesia yang majemuk. Dengan kekuatan budaya ilmu yang jujur, rasional, dan objektif diharapkan akar permasalahan ketidakseimbangan, ketetidaksetaraan, ketidakadilan, dominasi, dan hegemoni intraetnis dan antaretnis yang mengganggu hak hidup keetnikan sebagai pilar penyangga keutuhan bangsa, (termasuk hibriditas lintas etnik dengan diasporanya di pelbagai wilayah Nusantara yang menghadirkan pijinisasi dan kreolisasi), dapat diatasi dengan penuh respek, toleransi, dan arif. Mobilitas sosial lintas etnik, lintas daerah, pun gejala asimilasi yang membaurkan etnik-etnik Nusantara di lingkungan kota khususnya, kian memperkuat karakter kemajemukan bangsa. Dengan demikian, persoalan jati diri keetnikan yang ditandai dan diramu secara khusus oleh bahasa etnik, atau bahasa lokal, menjadi fokus pembahasan ini.
Mensyukuri dan merayakan kemajemukan, keberagaman etnik, agama, tradisi, dan bahasa sebagai realitas sosial-budaya Nusantara, menjadi suatu keniscayaan (lihat Azra, 2007: 5). Realitas itu penting diterima dan disyukuri, karena memang itulah sesungguhnya makna dan nilai aksiologis ilmu pengetahuan budaya dalam memberikan pencerahan makna di tengah kehidupan bangsa yang sedang berkembang. Dimensi pragmatisme keilmuan memperlihatkan fungsi linguistik terapan (applied linguistics), khususnya linguistik ekologi, ekolinguistik kritis, dan perspektif kajian budaya (cultural studies). Kendatipun demikian, persoalan kritis keetnikan dan kebahasaan di Indonesia yang memang memiliki karakteristik dan kompleksitasnya tersendiri (band. Geertz, 1996; lihat Hardiman, 2003: ix-xii), tentu saja membutuhkan paradigma kejernihan berpikir tersendiri, meski tetap dalam koridor ilmu budaya. Sehubungan dengan itu, pendekatan interpretatif-kualitatifnya dimanfaatkan agar aspek-aspek ideografis dapat ditemukan.
Perlu disadari dan direnungkan secara terus-menerus, bahwa “ekologi asli” keetnikan juga tidaklah sangat demarkatif batas-pisah dengan etnik-etnik lain di sekitarnya sebagaimana juga ekologi bahasa etnik itu sendiri. Meskipun demikian tetap disadari adanya faktor-faktor sejarah, tradisi, budaya, dan ciri-ciri tertentu yang membangun kesadaran, imajinasi atau bayangan kebersamaan (lihat Anderson, 2002), merajut “kesepakatan” ikhwal adanya keberbedaan jati diri yang khas-etnis dan pada nasional, khas sebagai bangsa Indonesia yang sedang berproses. Dalam kenyataannya, ekologi keetnikan itu diperluas karena daya sebar (migrasi) warga dengan diasporanya, berhimpitan dengan ekologi etnik dan bahasa etnik lainnya. Ruang hidup yang “asli” setiap etnik dengan kisah-kisah sejarah (ras, darah, keturunan, bahkan juga tanah taklukan misalnya), dongeng, mitos, dan keterpencarannya, perlu dikaji dan perlu dipelihara. Ekologi bahasa etnik, misalnya bahasa-bahasa: Melayu, Batak, Minang, Aceh, Nias, Mentawai, Lampung, Jawa, Sunda, Madura, Bali, Sasak, Sumbawa, Bima, Manggarai, Ngadha, Lio, Sikka, Lamaholot, Roti, Bugis, Muna, dan Biak, masing-masing dengan dialek geografi dan dialek sosialnya, dengan ruang hidup keberagaman bahasa, “membungkus” dan mencerminkan lingkungan geografi dan sosio-budaya keetnikannya. Dengan demikian, aneka teks verbal (tuturan ataupun tulisan) bahasa-bahasa etnik yang mereprentasikan realitas manusia, masyarakat, kebudayaan dan alam sekitarnya, sangat penting dikaji. Dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan bersama organisme-organisme lainnya. Dengan demikian, dibutuhkan kajian empiric untuk memahami kondisi hidupnya. Secara metaforis-biologis, daya hidup (vitality) bahasa-bahasa etnik, juga bahasa Indonesia, atau juga sejumlah bahasa asing yang hidup di Indonesia, didiagnosiskan sebagai: sehat, kuat, bertumbuh subur, ataukah sebaliknya dalam kondisi sakit, lemah, kerdil, bahkan menjelang punah. Kondisi gawat darurat, secara khusus dicoba dipahami secara sekilas lintas dalam konteks ini.
2. Refleksi Ringan atas Perubahan Lingkungan Hidup Keetnikan dan Kebahasaan
Ekologi etnik atau ekologi manusia adalah lingkungan hidup buatan yang juga menjadi ekologi bahasa dan ragam-ragamnya. Sebagai lingkungan hidup buatan hasil budaya dan proses sosial, hubungan manusia dengan alam sekitarnya tercermin pula dalam struktur bahasa sebagaimana tampak paling mencolok dalam dunia arsitektur antaretnik yang memanfaatkan bahan-bahan bangunan di lingkungan itu. Kategori nomina nyata yang melambangkan bahan bangunan dan pemukiman misalnya, atau juga verba proses pemanfaatan sumber daya hutan untuk pembangunan rumah dan ruang pemukiman misalnya, seperti juga budaya makanan-kuliner, terekam secara verbal (band. Preziosi, 1984:47-49) dalam bahasa etnik. Secara kreatif, bahasa memang merekam pengalaman dan merefleksikan kenyataan yang ada di lingkungan (lihat Halliday, 2001).
Bagi bangsa Indonesia, lingkungan hidup keetnikan dan kebahasaan itu sedang berkembang pesat menjadi lingkungan hidup yang dwibahasa, dalam arti lebih dari dua bahasa (Romaine, 1995) dan dwibudaya (lihat Bell, 1976) yang hidup secara bersama, berfungsi dan tentunya saling bersaing. Kondisinya juga sangat dinamis dan kompleks. Kedudukan dan fungsi yang lebih kuat di ranah politik, kebudayaan, ekonomi, dan IPTEK yang dimiliki oleh bahasa Indonesia, yang memang kurang bahkan tidak dimiliki oleh sebagian besar bahasa etnik Nusantara, jelas mendasari dominasi bahasa Indonesia atas bahasa daerah. Kenyataan juga menunjukkan bahwa secara sosio-psikologis telah terjadi ketidakseimbangan kedwibahasaan di Indonesia. Bahasa Indonesia, bahkan juga bahasa asing, sangat kuat pengaruh dan lebih tinggi prestisenya, mendominasi kehidupan kebahasaan sehingga bahasa-bahasa etnik yang menjadi simbol dan perekat jiwa keetnikan, kian kerdil tumbuhnya, kian lemah daya tahannya karena kian jarang penggunaannya secara mendalam, apalagi dikaitkan dengan dinamika kebudayaan Indonesia dan derasnya arus budaya global.
Dalam konteks perbincangan ini, lingkup bahasan dibatasi. Selain pemetaan sekilas dan pemahaman awal tentang makna di balik situasi hidup keetnikan dan kebahasaan dalam perspektif ekolinguistik kritis, pembedahan kondisi hidupnya sangat diperlukan. Kondisi hidup etnik dan bahasanya itu memang menyatu dalam diri komunitas penuturnya. Betapa sesungguhnya kekuatan dan nafas hidup keetnikan direpresentasikan oleh fungsi-fungsi sosio-ekologis bahasa etnik. Inilah sesungguhnya simpul kusut yang menjadi fokus perhatian dan pokok persoalan. Tanpa mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, terutama demi kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia yang multietnik, multimental (lihat Hardiman, 2003: viii), dan multibahasa ini, kuat-lemahnya nafas hidup keetnikan dan bahasanya, baik bahasa besar maupun bahasa kecil (lihat Ferguson, 1971), menarik, bahkan mendesak untuk dibedah dan didalami makna di baliknya. Pembedahan dimaksudkan untuk menjelaskan dan mencegah faktor-faktor dominan yang mengancam keberadaan bahasa-bahasa etnik, baik dari dalam maupun dari luar komunitas etnik dan komunitas bahasa. Setiap tahun banyak bahasa minor di benyak belahan bumi yang punah dan terancam punah. Diduga, punahnya bahasa etnik berarti punah pula etnik atau subetnik tertentu pemilik bahasa itu.
Linguistik klinis (lihat Halliday, 2001) yang dimanfaatkan dalam kerangka perencanaan dan pemberdayaan kembali daya hidup bahasa etnik dengan sumber daya sosial dan budayanya, merupakan obsesi akademis dan solusi pragmatis yang perlu dilakukan. Itulah titik mula dan sasaran akhir telaahan ringan ini. Selanjutnya langkah-langkah strategis unggulan di bidang penelitian kebahasaan dalam konteks keetnikan atau sebaliknya keetnikan berbasiskan kebahasaannya, dapat dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Di atas fakta tentang lemahnya daya hidup bahasa dan etnik pemiliknya, rekomendasi pemberdayaan bahasa (language empowering) menjadi keniscayaan dalam kerangka kepedulian, pengembangan, dan penerapan linguistik Indonesia.
Dalam perspektif ekosistem, termasuk ekologi manusia dan kebudayaannya, hak hadir dan hak hidup setiap etnik dengan bahasa etniknya (dalam suasana keseimbangan dan keharmonisan), harus dijamin oleh negara dan masyarakat dunia. Sejak tahun 1951 UNESCO telah mencanangkan (lihat Alwasilah, 1985:238-245) kepedulian, ikhwal betapa pentingnya bahasa-bahasa vernacular, bahasa-bahasa etnik yang juga menjadi bahasa ibu (mother tongue). Bahkan dalam kaitan dengan bahasa ibu, tanggal 21 Februari ditetapkan oleh UNESCO sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Eratnya kaitan antara bahasa ibu dengan komunitas etnik, memang sangat disadari oleh negara dan banyak pihak. UUD 1945 Perubahan, secara tersurat menjamin keberadaannya. Pasal 32 butir (2) UUD 1945 Perubahan tertera: Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Sejalan dengan rumusan itu, Pasal 28-I butir (3) tertera pula: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati, selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dalam UU Nomor 22 Otonomi Daerah juga Menimbang (dalam butir b): bahwa dasar penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Potensi dan keanekaragaman di sini mencakupi sumber daya alam dan sumber daya kebudayaan dan modal sosial masyarakatnya.
Jaminan konstitusi memang jelas. Akan tetapi implementasinya di banyak daerah masih harus dipertanyakan secara terus-menerus. “Bhineka Tunggal Ika”, semboyan bangsa yang terwaris sejak Kerajaan Majapahit pada abad XV dalam sastra Sutasomanya, diakui sebagai adicita (ideology) perekat bangsa Indonesia yang multietnik. Disadari pula bahwa memang di dalam konteks keetnikan itulah, nilai-nilai budaya keetnikan yang direkam dalam bahasa etnik, perlu dipelihara, dimuliakan, dan diwariskan kepada generasi baru. Dalam ekosistem kebahasaan pula, dialek-dialek, sosiolek, dan register-registernya dijamin hak hidup demi keberadaan dan jati diri etnik pemiliknya.
Hak hadir dan hak hidup dialek, sosiolek, dan registernya, jelas bertautan secara fungsional dengan hak hadir dan hak hidup komunitas penuturnya, kelompok dan lapisan penuturnya, dan dengan fungsi sosio-kulturalnya (Bastardas-Boada, 2000:1). Dalam konteks ini, kebijakan kebahasaan yang tepat secara nasional memang sangat penting. Kendatipun demikian, adanya jaminan konstitusi atas hak hadir dan hak hidup saja tidaklah cukup. Seperti yang dicanangkan oleh Saussure, sebagai fakta sosial dan suatu sistem nilai (dalam Culler, 1996:38), bahasa yang benar-benar “hidup” itu selain harus kokoh berada dalam kompetensi dan kognisi para penuturnya, dimensi produksi dan kreasi penggunaannya secara berkelanjutan dan mantap (stabil) dalam ranah-ranah kehidupan sosial-budaya etniknya, merupakan keniscayaan. Dalam perspektif ekolinguistik, komunitas penutur bahasa tidaklah sebatas pengguna semata, melainkan pemroduksi bahasa secara kreatif dan adaptif sesuai dengan perubahan sosio-ekologinya.
Dinamika dan perubahan socio-kultural, terjadi sangat cepat menusuk relung-relung jiwa warga etnik di banyak wilayah Tanah Air. Masyarakat tradisional berbasis etnik di Indonesia, setakat ini jauh lebih dinamis daripada yang diperkirakan oleh umum, sebagaimana juga di negara-negara yang sedang berkembang lainnya (Dove, 1985). Struktur permilikan, pola penggunaan lahan, dan kondisi lingkungan hidup telah berubah mengiringi dinamika ekonomi-agraris yang ditopang infrastruktur transportasi, komunikasi, dan teknologi informasi. Pengembaraan dan pemerkayaan mental dengan fasilitas teknologi informasi (IT), mengubah ruang orientasi hidup terutama setelah adicita (ideology) pembangunan (developmentism), semangat perubahan yang “reformatif” sejak 1998, dan pertumbuhan (growing) ekonomi merebak, mengubah tatanan sosial-budaya, termasuk konstelasi kebahasaan. Wacana sosioekonomi-ekologis berkembang pula (band. Bastardas-Boadas, 2000: 2-4). Relasi sosial kekerabatan melonggar, tata nilai berubah, dan fungsi komunikasi verbal, khususnya komunikasi verbal keetnikan menyempit, digeser oleh media televisi berbahasa Indonesia yang membius kuat generasi muda. Hingga batas-batas tertentu, media telah menggantikan fungsi edukasi orangtua. Kerenggangan relasi yang seharusnya lebih bermakna edukatif-pedagogis Orangtua-Anak-anak, menggejala pula pada masyarakat perkotaan dan perdesaan. Fungsi koordinasi bahasa diganti pula oleh media-media seperti uang dan kekuasaan yang menjadi pengendali tindakan komunikatif (Habermas, 2007:505). Selain kurang lebat dan kurang bermakna lagi interaksi verbal berbahasa etnik, di sisi lain perubahan wacana, penyusutan fungsi dan perubahan makna, serta dinamika aspek leksikogramatika dalam berbahasa etnik, menengarai betapa perubahan bahasa dan perilakuberbahasa menggambarkan perubahan sosioekologis (Beard, 2004: 6-8).
Perubahan bermakna yang menunjukkan kerusakan ekosistem secara ragawi (phisically), antara lain rusaknya kawasan atau daerah aliran sungai, DAS, tercemarnya air sungai, danau dan laut, atau mungkin juga gersangnya lereng gunung dan tepian Danau Toba, Danau Singkarak, Danau Beratan, Danau Segara Anakan, Danau Tempe dan Sidenreng, Danau Ranamese, ataupun Danau Sentani, di Papua misalnya, jika itu terjadi karena tingkah manusia, dapat dibedah secara ekolinguistik kritis. Penyalahgunaan “energi wacana” pembangunan, dan disfungsi bahasa-bahasa etnik yang kaya makna konserfasi ekologi dan sosial, memang telah terjadi. Bukankah, leluhur kita telah menanamkan dan mewariskan narasi agung yang menjadi adicita (ideology) kolektif etnik? Adicita tentang kelestarian dan pemuliaan lingkungan hidup dengan segala biodiversitasnya, tentang sumber daya hutan dan sumber air yang harus dijaga, adalah amanat luhur yang hadir dalam bentuk-bentuk ungkapan-ungkapan adat. Sumber daya dan modal sosial-kultural inilah yang mulai sirna karena memang ditelantarkan.
Bahasa sangat sentra posisinya bagi guyub tutur karena hanya dengan bahasalah adicita (ideology) itu hadir. Adicita itu pun akan sangat berenergi hanyalah jika dituturkan dan atau ditulis sebagai kode lingual yang kaya makna (Volosinov, 1971: 9-10), termasuk amanat pelestarian lingkungan. Dalam konteks ini pranata dan institusi tradisional menjadi sangat penting. Ketidakserasian relasi manusia dengan lingkungan hidup memang sedang menggejala kuat. Adicita pembangunan ekonomi yang “tamak” dengan energi green grammar-nya yang salah kprah dalam diskursus sosial, telah menguras, menggeser, dan memusnahkan aneka biota yang ada di lingkungan tertentu. Aneka biota itu umumnya terekam dalam memori lingual warga etnik. Secara bathiniah, sesungguhnya terjadi “konflik” serius antara manusia dengan lingkungan alam tempat hidupnya, seperti juga aneka konflik antarwarga etnik dan antaretnik di suatu kawasan karena nafsu kuasa.
Ketidakserasian hubungan juga terjadi dalam lingkungan hidup sosial-budaya. Banyak warga etnik dan relasi kekerabatan yang retak. Keretakan dan kerengganan relasi insani berdimensi kekerabatan antarwarga etnik, sedang merebak kuat pula. Dalam lingkup komunitas basis terkecil keluarga, relasi ketetanggaan di perkotaan, bagaimanapun juga berkaitan dengan gejala disfungsi sosio-kultural bahasa etnik khususnya sebagai gejala yang tidak sulit dapat disimak. Disfungsi socioekologis bahasa etnik sebagai sarana primordial (Masinambow, 1999:11) itu merupakan gejala lingkungan hidup kemanusiaan dan kemasyarakatan yang perlu diprihatinkan. Bahasa, dalam hal ini bahasa etnik yang seyogyanya berfungsi mengonstruksi makna sosio-kultural (lihat Barker, 2004:74) dalam jaringan infrastruktur komunikasi verbal para pendukungnya, dalam perkembangannya dapat saja tidak menjalankan fungsinya karena memang tidak digunakan secara lebih sering dan lebih “mendalam”. Kesenjangan nilai antargenerasi penutur bahasa dan pendukung etnik, antara lain dikarenakan juga oleh faktor penyusutan fungsi interpersonal bahasa etnik. Padahal, fungsi tersebutlah yang antara lain membangun relasi kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat. Situasi multilingual dan multicultural telah menggeser bahasa etnik dan nilai-nilai ketnikan.
3. Beberapa Persoalan Khusus Keetnikan dan Kebahasaan Kita yang Perlu Dikaji
Arus global memang terasa menggoyang jati diri sebagai bangsa Indonesia. Goyangan kultural global yang menggelisahkan generasi tua terhadap keberlanjutan tata nilai lokal itu menyadarkan warga untuk menggali, menemukan, dan memperkokoh jati diri dengan rajutan nilai-nilai lokal. Baik jati diri keetnikan di jenjang lokal maupun jati diri sebagai bangsa Indonesia sedang berada dalam tantangan. Jika gejala pasangnya semangat nasionalisme mempertebal rasa keindonesiaan kita yang majemuk, sebaliknya gejala surutnya semangat nasionalisme menipiskan rasa keindonesiaan kita sebagai bangsa yang multietnik. Keadaan itu menggelitik warga etnik untuk mengidentifikasi kembali kekuatan jati diri keetnikan demi kekuatan jati diri keindonesiaan.
Dalam konteks perbincangan ini, komponen pengikat dan penanda (marker) keetnikan dalam praktik budaya dan diskursus sosial, yang tiada lain adalah bahasa-bahasa etnik, semisal bahasa Batak, bahasa Minang, bahasa Melayu, bahasa Aceh, bahasa Lampung, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Madura, bahasa Sasak, bahasa Bima, bahasa Sawu, bahasa Roti, bahasa Sika, bahasa Lamaholot, bahasa Bugis, bahasa Bajo, bahasa Biak Numfor, dan sebagainya, masing-masing dengan sejumlah dialeknya, menjadi fokus kajian akademis yang sangat penting. Kekayaan bahasa dalam pelbagai tatarannya, adalah gambaran tentang kekayaan budaya dan kekayaan lingkungan alamnya. Sebelum bahasa-bahasa etnik yang kecil mati, dan sebelum punah pula sumber daya alam yang disimbolisasikan secara verbal itu, perekaman khazanah budaya keetnikan dan kekayaan sumber daya lingkungan secara ekoleksikografis, menjadi sangat mendesak dan strategis.
Terlalu derasnya arus budaya dan arus bahasa global dalam arti luas, dan terlalu dalamnya pengaruh budaya modern yang melumuri “wajah” masyasrakat Indonesia, seperti juga terlalu mendominasinya subetnik tertentu atas subetnik-subetnik lainnya pada tingkat lokal dan nasional, atau juga dominasi etnik mayoritas atas etnik-etnik minoritas atas nama pembangunan dan kekuasaan dalam makna tertentu, dapat saja “memudarkan bahkan menghancurkan” tatanan sosial-budaya etnik di Indonesia, khususnya etnik-etnik yang memang kecil dan tanpa peran politiknya. Keadilan dan kesetaraan, dengan demikian menjadi persoalan serius. Sehubungan dengan itu, diskusi mengenai keetnitkan (ethnicity) dalam ekolinguistik kritis, akan menjadi lebih bermakna jika topik hangat itu kembali dikaitkan dengan kondisi setakat ini: keterdesakan dan ketererabutan akar local keetnikan. Gejala itu dapat dibedah melalui fenomena kebahasaan dalam perspektif ekolinguistik kritis. Terdesak dan tercerabutnya pijakan lokal dan akar keetnikan jelas menggoyahkan jati diri (identity) dan tentunya berdampak negatif pula terhadap semakin melemahnya kekuatan pilar-pilar kebangsaan dan rasa nasionalisme.
Membedah gejala keterdesakan dan ketercerabutan akar keetnikan anak bangsa, dapat dibahas dalam beberapa pilahan persoalan. Pertama, sedalam dan sekuat manakah sesungguhnya nilai-nilai kelokalan dan keetnikan dipahami oleh komunitas etnik yang juga menjadi warga komunitas bahasa etnik. Kedalaman dan kekuatan permilikan dan penghayatan nilai-nilai lokal keetnikan ini tidak hanya di kalangan generasi muda melainkan juga generasi tua. Kedua, bagaimanakah sesungguhnya nilai-nilai sosial-budaya kekerabatan, adicita (ideology), fungsi dan makna mitos misalnya, hadir secara bermakna dalam kehidupan nyata kelokalan, terlebih dalam proses pendidikan formal dan informal bagi generasi muda sebagai pewaris nilai? Persoalan ini juga sangat penting untuk dibedah. Modal sosial-kultural itu masih layak digali dan diberdayakan, tanpa harus mengerdilkan keindonesiaan mereka. Ketiga, bagaimanakah derajat kegandrungan dan apresiasi komunitas etnik, tua atau muda, terhadap tradisi lisannya, terhadap karya-karya sastra, juga mutu daya cipta sastra etnik mereka? Jawaban atas ketiga persoalan itu menjadi tanda penting kehidupan dan atau sebaliknya menengarai ancaman kepunahan bahasa dan komunitas etnik.
Dalam perspektif fungsi sosioekologis bahasa etnik, tradisi, adicita, dan jabaran nilai-nilai keetnikan diwadahi, dikemas dalam dan dipresentasikan dengan bahasa etnik. Kemasan verbal, di sisi nonverbal, dan isinya itulah yang merajut jati diri, membangun ciri pembeda, menjadi modal sosial dan sumber daya kultural-lingual masyarakatnya. Bagaimana keunikan dan cara “Orang Batak, Orang Aceh, Orang Minang, Orang Nias, Orang Mentawai, Orang Jawa, Orang Bali, Orang Madura, Orang Sunda, Orang Betawi, Orang Kupang, Orang Ambon, Orang Manado, Orang Bugis, dan Orang Papua, bertutur dengan bahasa etnik mereka, atau juga dengan bahasa Indonesia, itulah sesungguhnya isi, kekuatan, dan warna jati diri keetnikan, karena di balik bahasalah terekam isi jiwa dan kekayaan mental mereka. Masalahnya, bagaimanakah sesungguhnya tingkat dan mutu kompetensi dan performansi kebahasaan bahasa local kalangan generasi muda baik di perdesaaan maupun di perkotaan khususnya, dalam praksis hidup keetnikan mereka?
Mempersoalkan daya hidup bahasa, dalam hal ini bahasa-bahasa etnik, tiada lain mempermasalahkan dan menggugat sikap, perilaku, dan terutama tingkat kecerdasan lingual-kultural keetnikan generasi muda sesuai dengan ruang dan lahan fungsionalnya dalam kehidupan sosioekologis keetnikan. Bahasa yang hidup, tidak hanya di dalam memori atau kognisi semata (sebagai buah penghafalan demi lulus ujian lokal-nasional), tidak hanya sebagai “kompetensi” melainkan harus berwujud “performansi” yang komunikatif, produktif, dan kreatif, baik lisan maupun tulisan dengan kekayaan ranah pakai bernuansa etnis. Jika individu disimak keberadaannya sebagai salah satu organisme, ia hanya dapat berbicara dan memahami tuturan hanya karena ada individu sebagai organisme yang hadir di sekitarnya sebagai mitra tutur, yang memperlihatkan fenomena relasi antarorganisme pula (Halliday, 1978:10). Bahasa hidup secara faktual melalui “mulut-telinga” , penutur dan pendengar, dalam perwujudan tuturan yang sarat makna kultural kelokalan, dan melalui kelincahan tangan dalam membangun tulisan. Tuturan selalu berdimensi sosial langsung dan lebih mendekatkan relasi antarindividu dibandingkan tulisan. Dengan demikian kelisanan tetap diperlukan di samping keberaksaraan.
4. Politik Identitas Keetnikan, Potensi Kebahasaan, dan Kesenjangan Sosioekologis
Politik identitas keetnikan di Indonesia, dengan demikian perlu ditata kembali tanpa harus mengganggu sendi-sendi Negara Kesatuan RI sebagai negara-bangsa. Untuk itu, bahasa-bahasa Nusantara dalam perspektif ekolinguistik kritis layak dikaji dan diberdayakan sebagai ciri fungsional penanda dan pengungkap jati diri keetnikan. Dalam kaitan dengan otonomi daerah yang memang menuntut peran serta komunitas etnik, sesungguhnya komunitas etniklah yang paling bertanggung jawab untuk memelihara dan merevitalisasinya. Bukankah sejarah leluhur, mitos, tradisi keetnikan, terutama lingkungan hidup bahasa etnik, yang setakat ini juga harus memberi ruang dan peluang hidup bagi bahasa Indonesia, bahasa-bahasa etnik lainnya, dan bahasa-bahasa asing, merupakan Tanah Asal Leluhur. Tanah leluhur dengan kehidupan bahasa, budaya, etnik, dan aneka sumber daya alam itu, yang di antaranya juga hasil “taklukan” dan buah perjuangan jiwa-raga, tumpahan darah dan keringat para leluhur mereka, harus tetap dijaga, dimuliakan, dan diwariskan antargenerasi. Kesadaran sosioekologis ini penting dalam melabeli dan mengidentifikasi diri sebagai warga etnik, sekaligus juga warga Indonesia.
Tanah atau wilayah itulah lingkungan hidup etnik-etnik dengan bahasa-bahasa Nusantara, seperti bahasa Batak, bahasa Minang, bahasa Melayu, bahasa Aceh, bahasa Jawa, Bali, Madura, Sasak, dan sebagainya, masing-masing dengan dialek-dialek, subetnik dan subkulturnya. Bahasa-bahasa itu adalah wadah kebersamaan, sarana interaksi dan komunikasi verbal, sekaligus simbol dan sarana pemahaman mereka tentang diri mereka, kekerabatan mereka, tata nilai dan tata norma hidup mereka, gagasan dan adicita (ideology) yang harus tetap hadir, tumbuh, dan berkembang. Bahasa yang hidup, tumbuh, dan berkembang adalah bahasa yang digunakan secara intens dalam sejumlah ranah pakai. Metafora inilah sesungguhnya ekspresi kebahasaan penunjang jati diri keetnikan yang menjadi bagian dari pemahaman bahasa secara ekolinguistik.
Berkaitan dengan fungsi kode-kode lingual bahasa etnik itulah, lingkungan sosial dan lingkungan alam dengan segala sumberdayanya, layak dikaji secara kritis. Pengkajian ditujukan untuk memahami daya hidup, nafas budaya lokal warisan leluhurnya, secara khusus di kalangan generasi muda dari etnik-etnik Nusantara. Dalam perspektif ekolinguistik, bahasa yang diberi ruang hidup adalah bahasa yang digunakan. Lebih khas lagi, secara biologis, sosiologis, dan ideologis (lihat Bastardas-Boada, 2005:1), bahasa yang tumbuh dan berkembang secara berimbang dengan bahasa-bahasa lainnya dalam masyarakat yang multilingual, demikian juga dialek dan register yang hidup dan berfungsi secara seimbang dengan dialek-dialek dan register-register lainnya, menjamin keberlanjutan bahasa itu.
Keberlanjutan dan keberdayaan bahasa secara fungsional dalam dinamika kebudayaan, Ilmu pengetahuan, dan teknologi, disangga oleh daya adaptasi dan kreasi komunitas tuturnya. Adaptasi dan kreasi secara leksikogramatika sangat menentukan daya hidup bahasa. Dalam konteks ini, daya cipta leksikon yang digali dari khazanah asli dengan pemerkayaan makna, diciptakan secara baru, atau juga dari sumber luar dengan penyesuaian gramatikal bahasa etnik, pengembangan metafora, pemanfaatan daya morfosintaksis, ungkapan-ungkapan lokal, mewarnai jati diri kebahasaan seraya memperkaya khazanah kata dengan leksikon baru bernuansa IPTEK. Semuanya itu berpangkal pada kompetensi kebahasaan dan kebudayaan etnik generasi penerusnya.
Salah satu kendala adaptasi bahasa melalui penuturnya adalah “rendahnya” mutu penguasaan (kompetensi) dan rendahnya kelincahan verbal berbahasa lokal, sementara bahasa Indonesia juga masih memrihatinkan. Bukankah masih banyak warga bangsa yang buta bahasa Indonesia dan buta huruf latin? Secara biolinguistik keetnikan, bahkan juga keindonesiaan, sebagian (besar) anak bangsa, secara verbal berada dalam kondidi “sakit dan gamang”. Ada jarak yang renggang dengan lingkungan sosio-ekologis, namun sangat akrab dengan budaya multimedia. Sistem pembelajaran bahasa yang “dihegemoni” oleh pragmatisme politik adalah situasi keterbelengguan atau keterjebakan yang sangat merugikan. Sikap hanya demi keberhasilan ujian nasional, bukannya keterampilan dan kelincahan verbal (tuturan dan tulisan) sebagai ciri kecerdasan intelektual dan emosional, sangat mengganggu perkembangan sumber daya insani dan perkembangan jati diri sebagian (nesar) generasi muda bangsa.
Kemampuan mengungkapkan hasil penalaran dan perasaan terdalam para peserta didik khususnya atas realitas kehidupan sosioekologis kelokalan berbasis etnik dan keindonesiaan dalam proses pembelajaran dan pendidikan, justru sangat penting dalam membangun kesadaran akan hakikat dan fungsi lingkungan hidup, sekaligus mencegah keterasingan. Di beberapa daerah di Indonesia, ditemukan fakta yang sangat memrihatinkan. Sejumlah anak bangsa yang setiap hari menikmati pangan-kuliner Indonesia asli (nasi, jagung, singkong, kacang-kacangan, sagu, daging sapi, kerbau, aneka unggas, ikan dan udang, serta beragam sayur), justru tidak lagi mengenal biota, apalagi varietas-varietas padi, jagung, dan kacang yang hidup di sawah atau ladang, tidak pula mengenal sapi atau kerbau, tidak mengenal lagi jenis-jenis burung, dan tidak lagi mengenal jenis-jenis sayuran dalam bahasa etnik mereka. Sebaliknya, anak-anak kota sangat akrab dengan makanan instan produk asing. Kesenjangan lingual-kultural ini merupakan masalah pendidikan lingkungan (lihat Kompas, 13-14 April 2009) yang sangat penting untuk dikritisi dan ditata ulang. Termasuk di dalamnya adalah pendidikan multikultural untuk tulus menghormati, menerima, menghargai, dan membangun kebersamaan dalam perbedaan (band. Blum, 2001). Pendidikan dan pembelajaran bahasa lokal atau bahasa daerah, demikian juga pembelajaran bahasa Indonesia, dan bahasa-bahasa asing di Indonesia, secara kontekstual sudah seharusnyalah bersumber, berbasiskan, dan menyatu dengan lingkungan hidup, masyarakat, dan kebudayaan di sekitar mereka.
5. Catatan Akhir
Renungan sekilas tentang dunia keetnikan dan kebahasaan dalam perspektif ekolinguistik ini mengajak warga etnik sekaligus guyub tutur bahasa etnik untuk menyadari eratnya hubungan antara bahasa dengan lingkungan hidup, baik lingkungan sosial-budaya maupun lingkungan alam. Di satu sisi bahasa merekam secara simbolis kekayaan alam dan modal sosial-kultural komunitas tutur bahasa. Dunia keetnikan berkaitan dengan bayangan dan kesadaran akan kesamaan leluhur, asal-muasal, tradisi, adicita (ideology) tanah teritorial, simbol-simbol, dan juga kesadaran akan keberbedaan dengan kelompok etnik lain. Kemudian, keberbedaan itu diperkuat pula oleh bahasa etnik. Ini berarti bahasa etnik sangat penting dipelihara dan digunakan antaranggota warga etnik sebagai perwujudan jati diri.
Ketidakserasian hubungan dalam komunitas etnik yang juga komunitas tutur dengan lingkungan alam, berakar pula dari “penyalahgunaan” energi bahasa dan juga bertautan dengan disfungsi bahasa secara sosioekologis karena di balik sistem kode kebahasaan tersimpan makna dan nilai kultural dan natural. Fungsi simbolis dan makna referensial kode-kode lingual menjadi kabur oleh waktu, terutama oleh gerusan arus budaya global. Keterpinggiran dan ketercerabutan akar lokal berdampak pada kegoyahan jati diri kolektif, baik pada jenjang lokal keetnikan maupun jati diri sebagai bangsa Indonesia yang plural.
Bahasa tidak mesti hanya dipahami sebagai alat semata. Bahasa hidup dalam kompetensi dan performansi antaranggota guyub tutur itu, harus dipandang dan diposisikan sebagai organisme yang hidup dalam suatu ekosistem, dimanfaatkan sebagai sumber daya, energi, dan modal sosial-kultural. Sebagai masyarakat yang multietnik dan multilingual, secara fungsional bahasa itu selayaknya hadir secara adil, berimbang, serasi, dan merata antarguyub tutur dan guyub kultur. Dominasi perlu dicegah. Berkaitan dengan kerusakan ekosistem, termasuk lingkungan hidup manusia, energi bahasa dalam penggunaannya, jikalau tanpa kendali moral, dapat saja merusak tatanan alam dan tatanan sosial yang menjaga keseimbangan. Misi ekolinguistik kritis, dengan demikian perlu diemban demi pemulihan kembali hak hidup alam dan sesama dalam relasi yang harmonis, melalui pemberdayaan bahasa-bahasa etnik.
Dalam perspektif ekolinguistik, keetnikan dan kebahasaan dapat dipahami sebagai satu kesatuan, sebagai dua sisi mata uang, hadir bersebelahan dalam keutuhan. Jikalau bahasa boleh ditempatkan di sisi luar, ia berfungsi untuk merepresentasi dan mengemas isi jati diri keetnikan. Dalam perspektif ini pula, keredupan penggunaan atau daya hidup bahasa etnik, mencerminkan keredupan jati diri kolektif keetnikan pula. Sebaliknya, kelebatan penggunaan dan daya hidup kebahasaan yang bergairah, menengarai daya hidup keetnikan, seperti juga kebangsaan Indonesia, yang energik dan lestari. Fakta tentang daya hidup kebahasaan dalam konteks keetnikan, jelas sangat membutuhkan penelitian yang teratur, terfokus, dan berkesinambungan. Secara khusus, kaji tindak (action research) dengan memanfaatkan konsep, kerangka teori, dan metodologi ekolinguistik dapat digunakan, sehingga pemuliaan bahasa, etnik, dan lingkungan hidupnya dalam jalinan keterkaitan satu dengan yang lainnya, dapat diupayakan.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Khaidir 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Anderson, Benedict 2002. Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang.Penerjemah: Omi Intan Naomi. Jakarta: Pustaka Pelajar & Insist.
Azra, Azyumardi, 2007. Merawat Kemajemukan. Merawat Indonesia. Seri orasi budaya. Yogyakarta: Kanisius.
Barker, Chris, 2004 Cultural Studies. Teori & Praktik. Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Bastardas-Boada, Albert, 2000. Language Planning and Language Ecology: Towards a theoretical integration. Barcelona: CUSC, Centre Universitari de Sociolinguistika I Communicacio, and General Linguistics Department, Universitat de Barcelona.
Beard, Adrian 2004. Language Change. London and New York: Routledge.
Bell, Roger T 1976. Sociolinguitics: Goals, Approaches, and Problems. New York: Martins Press.
Blum, Lawrence A 2001. “Antirasisme, Mulitikulturalisme, dan Komunitas Antar-ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural” dalam May Larry (Editor) 2001 Etika Terapan I. Sebuah Pendekatan Multikultural. Penerjemah: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Bundsgaard, Jeppe & Anna Vibeke Lindo (Eds), 2000. Dialctical Ecolinguistics. Three Essays for The Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Odense: University of Odense.
Culler, Jonathan 1996. Saussure. Penerjemah: Rochayah dan Siti Suhayati. Jakarta: Pusat Pembinan dan Pengembangan Bahasa.
Dove, Michael R 1985. Peranan Kebudayaan Tradsional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ferguson, Charles A. 1971 “National Sociolinguistics Profile Formulas” dalam Bright, William (Ed) 1971 Sociolinguistics. Proceedings of the UCLA Sociolinguistics Conference, 1964.The Hague, Paris: Mouton & Co.
Fill, Alwin and Peter Muhlhausler (eds.) 2001. The Ecolinguistics Reader. Language Ecology, and Environment. London and New York: Comtinum.
Habermas, Jurgen 2007. Teori Tindakan Komunikatif. Kritik atas Rasio Fungsionalis. Penerjemah: Nurhadi. Judul asli: Theorie des Kommunikativen Handelns, Band II: Zur Kritik der funktionalistischen Vernunft. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Halliday, M.A.K. 2001. “New Ways of Meaning: The Challenge to Apllied Linguistics” dalam Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (Eds.) The Ecolinguistics Reader. Language, Ecology, and Environment. London and New York: Continuum.
Halliday, M.A.K 1978. Language as Sosial Semiotic. The sosial interpretation of language and meaning. London: Edward Arnold.
Kymlicka, Will 2003. Kewargaan Multikultural. Penerjemah: Edlina Hafmini Eddin. Jakarta: LP3ES.
Makkai, Adam, et.al (Eds) 1984. The Semiotics of Culture and Language, Volume 2. Language and other Semiotic Systems of Culture. London: Frances Pinter Publisher.
Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (Eds.) 2003. The Ecolinguistics Reader. Language, Ecology and Environment. London and New York: Continuum.
Preziosi, Donald, 1984. “Relation between environmental and linguistic structure” dalam Fawcett, Robin P 1984 et. Al (Eds.) The Semiotics of Culture and Language Volume 2 Language and Other Semiotic Systems of Culture. London; Frances Pinter Publisher.
Purwanto, Hari 2007. “Suku Bangsa dan Epspresi Kesukubangsaan”. Makalah Seminar Sehari Memperingati Satu Tahun Wafatnya Prof. Dr. I Gusti Nguarh Bagus”, Oktober 2006.
Romaine, Suzanne 1995. Bilingualism. Second edition. Oxford UK & Cambridge: Blackwell.
Rosidi, Ajip 1999. Bahasa Nusantara. Suatu Pemetaan Awal. Gambaran tentang Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Tilaar, H.A. R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia.Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Volosinov, N. V. 1973. Marxism and the Philosophy of Language. Judul asli Markasizm I Filosofija Jazyka, Leningrad 1930. Penerjemah ke dalam bahasa Inggris: Ladislav Matejka & I. R Titunik. New York and London: Seminar Perss.
Wolf, Eric R. 1985. Petani, Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
Woollams, Geoff, 2004. Tata Bahasa Karo. Edan: Bina Media Perintis.
[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Guru Besar Semiotika Budaya UNUD Bali
Terminologi keetnikan (ethnicity, etnisitas) sebagai konstruksi budaya (Barker, 2004), yang juga terkait dengan bahasa sebagai penanda dan pengikat, memang selalu menarik untuk dibahas. Konsep keetnikan itu pun diartikulasikan dalam diskursus sosial bahkan menjadi komoditas politik. Dalam renungan singkat ini, keetnikan atau etnisitas berkaitan dengan kesadaran akan kesamaan tradisi budaya, biologis, dan jati diri sebagai suatu kelompok (Tilaar, 2007:4-5) dalam suatu masyarakat yang lebih luas. Schemerhon dalam Purwanto (2007) mendefinisikan kelompok etnik sebagai kolektiva yang memiliki persamaan asal nenek moyang, baik secara nyata maupun semu, memiliki pengalaman sejarah yang sama, dan suatu kesamaan fokus budaya yang terpusat pada unsur-unsur simbolik yang melambangkan persamaan ciri-ciri fenotipe, religi, bahasa, pola kekerabatan, dan gabungan unsur-unsur itu. Dalam konteks perenungan ini, dinamika dan kompleksitas fenomena keetnikan dan kebahasaan khususnya, dipersoalkan dan dikaji dalam perspektif linguistik ekologi dan ekolinguistik kritis (lihat Fill, 2004). Kendati di dalam keetnikan itu termasuk pula sejumlah komponen terkait seperti asal-muasal, ras, tradisi, dan budaya, namun bahasan ini dibatasi hanya pada relasi keduanya, etnik dan bahasa, dalam dimensi ruang hidup dan gerak waktu (momen) yang terbatas pula.
Kajian dan renungan kritis tentang kedua aspek itu diupayakan untuk mencoba memetakan kenyataan hidup keetnikan dan keindonesiaan dalam keutuhan bangsa Indonesia yang majemuk. Dengan kekuatan budaya ilmu yang jujur, rasional, dan objektif diharapkan akar permasalahan ketidakseimbangan, ketetidaksetaraan, ketidakadilan, dominasi, dan hegemoni intraetnis dan antaretnis yang mengganggu hak hidup keetnikan sebagai pilar penyangga keutuhan bangsa, (termasuk hibriditas lintas etnik dengan diasporanya di pelbagai wilayah Nusantara yang menghadirkan pijinisasi dan kreolisasi), dapat diatasi dengan penuh respek, toleransi, dan arif. Mobilitas sosial lintas etnik, lintas daerah, pun gejala asimilasi yang membaurkan etnik-etnik Nusantara di lingkungan kota khususnya, kian memperkuat karakter kemajemukan bangsa. Dengan demikian, persoalan jati diri keetnikan yang ditandai dan diramu secara khusus oleh bahasa etnik, atau bahasa lokal, menjadi fokus pembahasan ini.
Mensyukuri dan merayakan kemajemukan, keberagaman etnik, agama, tradisi, dan bahasa sebagai realitas sosial-budaya Nusantara, menjadi suatu keniscayaan (lihat Azra, 2007: 5). Realitas itu penting diterima dan disyukuri, karena memang itulah sesungguhnya makna dan nilai aksiologis ilmu pengetahuan budaya dalam memberikan pencerahan makna di tengah kehidupan bangsa yang sedang berkembang. Dimensi pragmatisme keilmuan memperlihatkan fungsi linguistik terapan (applied linguistics), khususnya linguistik ekologi, ekolinguistik kritis, dan perspektif kajian budaya (cultural studies). Kendatipun demikian, persoalan kritis keetnikan dan kebahasaan di Indonesia yang memang memiliki karakteristik dan kompleksitasnya tersendiri (band. Geertz, 1996; lihat Hardiman, 2003: ix-xii), tentu saja membutuhkan paradigma kejernihan berpikir tersendiri, meski tetap dalam koridor ilmu budaya. Sehubungan dengan itu, pendekatan interpretatif-kualitatifnya dimanfaatkan agar aspek-aspek ideografis dapat ditemukan.
Perlu disadari dan direnungkan secara terus-menerus, bahwa “ekologi asli” keetnikan juga tidaklah sangat demarkatif batas-pisah dengan etnik-etnik lain di sekitarnya sebagaimana juga ekologi bahasa etnik itu sendiri. Meskipun demikian tetap disadari adanya faktor-faktor sejarah, tradisi, budaya, dan ciri-ciri tertentu yang membangun kesadaran, imajinasi atau bayangan kebersamaan (lihat Anderson, 2002), merajut “kesepakatan” ikhwal adanya keberbedaan jati diri yang khas-etnis dan pada nasional, khas sebagai bangsa Indonesia yang sedang berproses. Dalam kenyataannya, ekologi keetnikan itu diperluas karena daya sebar (migrasi) warga dengan diasporanya, berhimpitan dengan ekologi etnik dan bahasa etnik lainnya. Ruang hidup yang “asli” setiap etnik dengan kisah-kisah sejarah (ras, darah, keturunan, bahkan juga tanah taklukan misalnya), dongeng, mitos, dan keterpencarannya, perlu dikaji dan perlu dipelihara. Ekologi bahasa etnik, misalnya bahasa-bahasa: Melayu, Batak, Minang, Aceh, Nias, Mentawai, Lampung, Jawa, Sunda, Madura, Bali, Sasak, Sumbawa, Bima, Manggarai, Ngadha, Lio, Sikka, Lamaholot, Roti, Bugis, Muna, dan Biak, masing-masing dengan dialek geografi dan dialek sosialnya, dengan ruang hidup keberagaman bahasa, “membungkus” dan mencerminkan lingkungan geografi dan sosio-budaya keetnikannya. Dengan demikian, aneka teks verbal (tuturan ataupun tulisan) bahasa-bahasa etnik yang mereprentasikan realitas manusia, masyarakat, kebudayaan dan alam sekitarnya, sangat penting dikaji. Dalam perspektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan bersama organisme-organisme lainnya. Dengan demikian, dibutuhkan kajian empiric untuk memahami kondisi hidupnya. Secara metaforis-biologis, daya hidup (vitality) bahasa-bahasa etnik, juga bahasa Indonesia, atau juga sejumlah bahasa asing yang hidup di Indonesia, didiagnosiskan sebagai: sehat, kuat, bertumbuh subur, ataukah sebaliknya dalam kondisi sakit, lemah, kerdil, bahkan menjelang punah. Kondisi gawat darurat, secara khusus dicoba dipahami secara sekilas lintas dalam konteks ini.
2. Refleksi Ringan atas Perubahan Lingkungan Hidup Keetnikan dan Kebahasaan
Ekologi etnik atau ekologi manusia adalah lingkungan hidup buatan yang juga menjadi ekologi bahasa dan ragam-ragamnya. Sebagai lingkungan hidup buatan hasil budaya dan proses sosial, hubungan manusia dengan alam sekitarnya tercermin pula dalam struktur bahasa sebagaimana tampak paling mencolok dalam dunia arsitektur antaretnik yang memanfaatkan bahan-bahan bangunan di lingkungan itu. Kategori nomina nyata yang melambangkan bahan bangunan dan pemukiman misalnya, atau juga verba proses pemanfaatan sumber daya hutan untuk pembangunan rumah dan ruang pemukiman misalnya, seperti juga budaya makanan-kuliner, terekam secara verbal (band. Preziosi, 1984:47-49) dalam bahasa etnik. Secara kreatif, bahasa memang merekam pengalaman dan merefleksikan kenyataan yang ada di lingkungan (lihat Halliday, 2001).
Bagi bangsa Indonesia, lingkungan hidup keetnikan dan kebahasaan itu sedang berkembang pesat menjadi lingkungan hidup yang dwibahasa, dalam arti lebih dari dua bahasa (Romaine, 1995) dan dwibudaya (lihat Bell, 1976) yang hidup secara bersama, berfungsi dan tentunya saling bersaing. Kondisinya juga sangat dinamis dan kompleks. Kedudukan dan fungsi yang lebih kuat di ranah politik, kebudayaan, ekonomi, dan IPTEK yang dimiliki oleh bahasa Indonesia, yang memang kurang bahkan tidak dimiliki oleh sebagian besar bahasa etnik Nusantara, jelas mendasari dominasi bahasa Indonesia atas bahasa daerah. Kenyataan juga menunjukkan bahwa secara sosio-psikologis telah terjadi ketidakseimbangan kedwibahasaan di Indonesia. Bahasa Indonesia, bahkan juga bahasa asing, sangat kuat pengaruh dan lebih tinggi prestisenya, mendominasi kehidupan kebahasaan sehingga bahasa-bahasa etnik yang menjadi simbol dan perekat jiwa keetnikan, kian kerdil tumbuhnya, kian lemah daya tahannya karena kian jarang penggunaannya secara mendalam, apalagi dikaitkan dengan dinamika kebudayaan Indonesia dan derasnya arus budaya global.
Dalam konteks perbincangan ini, lingkup bahasan dibatasi. Selain pemetaan sekilas dan pemahaman awal tentang makna di balik situasi hidup keetnikan dan kebahasaan dalam perspektif ekolinguistik kritis, pembedahan kondisi hidupnya sangat diperlukan. Kondisi hidup etnik dan bahasanya itu memang menyatu dalam diri komunitas penuturnya. Betapa sesungguhnya kekuatan dan nafas hidup keetnikan direpresentasikan oleh fungsi-fungsi sosio-ekologis bahasa etnik. Inilah sesungguhnya simpul kusut yang menjadi fokus perhatian dan pokok persoalan. Tanpa mengganggu pertumbuhan dan perkembangan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan bahasa negara, terutama demi kesatuan dan keutuhan bangsa Indonesia yang multietnik, multimental (lihat Hardiman, 2003: viii), dan multibahasa ini, kuat-lemahnya nafas hidup keetnikan dan bahasanya, baik bahasa besar maupun bahasa kecil (lihat Ferguson, 1971), menarik, bahkan mendesak untuk dibedah dan didalami makna di baliknya. Pembedahan dimaksudkan untuk menjelaskan dan mencegah faktor-faktor dominan yang mengancam keberadaan bahasa-bahasa etnik, baik dari dalam maupun dari luar komunitas etnik dan komunitas bahasa. Setiap tahun banyak bahasa minor di benyak belahan bumi yang punah dan terancam punah. Diduga, punahnya bahasa etnik berarti punah pula etnik atau subetnik tertentu pemilik bahasa itu.
Linguistik klinis (lihat Halliday, 2001) yang dimanfaatkan dalam kerangka perencanaan dan pemberdayaan kembali daya hidup bahasa etnik dengan sumber daya sosial dan budayanya, merupakan obsesi akademis dan solusi pragmatis yang perlu dilakukan. Itulah titik mula dan sasaran akhir telaahan ringan ini. Selanjutnya langkah-langkah strategis unggulan di bidang penelitian kebahasaan dalam konteks keetnikan atau sebaliknya keetnikan berbasiskan kebahasaannya, dapat dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan. Di atas fakta tentang lemahnya daya hidup bahasa dan etnik pemiliknya, rekomendasi pemberdayaan bahasa (language empowering) menjadi keniscayaan dalam kerangka kepedulian, pengembangan, dan penerapan linguistik Indonesia.
Dalam perspektif ekosistem, termasuk ekologi manusia dan kebudayaannya, hak hadir dan hak hidup setiap etnik dengan bahasa etniknya (dalam suasana keseimbangan dan keharmonisan), harus dijamin oleh negara dan masyarakat dunia. Sejak tahun 1951 UNESCO telah mencanangkan (lihat Alwasilah, 1985:238-245) kepedulian, ikhwal betapa pentingnya bahasa-bahasa vernacular, bahasa-bahasa etnik yang juga menjadi bahasa ibu (mother tongue). Bahkan dalam kaitan dengan bahasa ibu, tanggal 21 Februari ditetapkan oleh UNESCO sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Eratnya kaitan antara bahasa ibu dengan komunitas etnik, memang sangat disadari oleh negara dan banyak pihak. UUD 1945 Perubahan, secara tersurat menjamin keberadaannya. Pasal 32 butir (2) UUD 1945 Perubahan tertera: Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Sejalan dengan rumusan itu, Pasal 28-I butir (3) tertera pula: Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati, selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. Dalam UU Nomor 22 Otonomi Daerah juga Menimbang (dalam butir b): bahwa dasar penyelenggaraan Otonomi Daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, dan keadilan, serta memerhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Potensi dan keanekaragaman di sini mencakupi sumber daya alam dan sumber daya kebudayaan dan modal sosial masyarakatnya.
Jaminan konstitusi memang jelas. Akan tetapi implementasinya di banyak daerah masih harus dipertanyakan secara terus-menerus. “Bhineka Tunggal Ika”, semboyan bangsa yang terwaris sejak Kerajaan Majapahit pada abad XV dalam sastra Sutasomanya, diakui sebagai adicita (ideology) perekat bangsa Indonesia yang multietnik. Disadari pula bahwa memang di dalam konteks keetnikan itulah, nilai-nilai budaya keetnikan yang direkam dalam bahasa etnik, perlu dipelihara, dimuliakan, dan diwariskan kepada generasi baru. Dalam ekosistem kebahasaan pula, dialek-dialek, sosiolek, dan register-registernya dijamin hak hidup demi keberadaan dan jati diri etnik pemiliknya.
Hak hadir dan hak hidup dialek, sosiolek, dan registernya, jelas bertautan secara fungsional dengan hak hadir dan hak hidup komunitas penuturnya, kelompok dan lapisan penuturnya, dan dengan fungsi sosio-kulturalnya (Bastardas-Boada, 2000:1). Dalam konteks ini, kebijakan kebahasaan yang tepat secara nasional memang sangat penting. Kendatipun demikian, adanya jaminan konstitusi atas hak hadir dan hak hidup saja tidaklah cukup. Seperti yang dicanangkan oleh Saussure, sebagai fakta sosial dan suatu sistem nilai (dalam Culler, 1996:38), bahasa yang benar-benar “hidup” itu selain harus kokoh berada dalam kompetensi dan kognisi para penuturnya, dimensi produksi dan kreasi penggunaannya secara berkelanjutan dan mantap (stabil) dalam ranah-ranah kehidupan sosial-budaya etniknya, merupakan keniscayaan. Dalam perspektif ekolinguistik, komunitas penutur bahasa tidaklah sebatas pengguna semata, melainkan pemroduksi bahasa secara kreatif dan adaptif sesuai dengan perubahan sosio-ekologinya.
Dinamika dan perubahan socio-kultural, terjadi sangat cepat menusuk relung-relung jiwa warga etnik di banyak wilayah Tanah Air. Masyarakat tradisional berbasis etnik di Indonesia, setakat ini jauh lebih dinamis daripada yang diperkirakan oleh umum, sebagaimana juga di negara-negara yang sedang berkembang lainnya (Dove, 1985). Struktur permilikan, pola penggunaan lahan, dan kondisi lingkungan hidup telah berubah mengiringi dinamika ekonomi-agraris yang ditopang infrastruktur transportasi, komunikasi, dan teknologi informasi. Pengembaraan dan pemerkayaan mental dengan fasilitas teknologi informasi (IT), mengubah ruang orientasi hidup terutama setelah adicita (ideology) pembangunan (developmentism), semangat perubahan yang “reformatif” sejak 1998, dan pertumbuhan (growing) ekonomi merebak, mengubah tatanan sosial-budaya, termasuk konstelasi kebahasaan. Wacana sosioekonomi-ekologis berkembang pula (band. Bastardas-Boadas, 2000: 2-4). Relasi sosial kekerabatan melonggar, tata nilai berubah, dan fungsi komunikasi verbal, khususnya komunikasi verbal keetnikan menyempit, digeser oleh media televisi berbahasa Indonesia yang membius kuat generasi muda. Hingga batas-batas tertentu, media telah menggantikan fungsi edukasi orangtua. Kerenggangan relasi yang seharusnya lebih bermakna edukatif-pedagogis Orangtua-Anak-anak, menggejala pula pada masyarakat perkotaan dan perdesaan. Fungsi koordinasi bahasa diganti pula oleh media-media seperti uang dan kekuasaan yang menjadi pengendali tindakan komunikatif (Habermas, 2007:505). Selain kurang lebat dan kurang bermakna lagi interaksi verbal berbahasa etnik, di sisi lain perubahan wacana, penyusutan fungsi dan perubahan makna, serta dinamika aspek leksikogramatika dalam berbahasa etnik, menengarai betapa perubahan bahasa dan perilakuberbahasa menggambarkan perubahan sosioekologis (Beard, 2004: 6-8).
Perubahan bermakna yang menunjukkan kerusakan ekosistem secara ragawi (phisically), antara lain rusaknya kawasan atau daerah aliran sungai, DAS, tercemarnya air sungai, danau dan laut, atau mungkin juga gersangnya lereng gunung dan tepian Danau Toba, Danau Singkarak, Danau Beratan, Danau Segara Anakan, Danau Tempe dan Sidenreng, Danau Ranamese, ataupun Danau Sentani, di Papua misalnya, jika itu terjadi karena tingkah manusia, dapat dibedah secara ekolinguistik kritis. Penyalahgunaan “energi wacana” pembangunan, dan disfungsi bahasa-bahasa etnik yang kaya makna konserfasi ekologi dan sosial, memang telah terjadi. Bukankah, leluhur kita telah menanamkan dan mewariskan narasi agung yang menjadi adicita (ideology) kolektif etnik? Adicita tentang kelestarian dan pemuliaan lingkungan hidup dengan segala biodiversitasnya, tentang sumber daya hutan dan sumber air yang harus dijaga, adalah amanat luhur yang hadir dalam bentuk-bentuk ungkapan-ungkapan adat. Sumber daya dan modal sosial-kultural inilah yang mulai sirna karena memang ditelantarkan.
Bahasa sangat sentra posisinya bagi guyub tutur karena hanya dengan bahasalah adicita (ideology) itu hadir. Adicita itu pun akan sangat berenergi hanyalah jika dituturkan dan atau ditulis sebagai kode lingual yang kaya makna (Volosinov, 1971: 9-10), termasuk amanat pelestarian lingkungan. Dalam konteks ini pranata dan institusi tradisional menjadi sangat penting. Ketidakserasian relasi manusia dengan lingkungan hidup memang sedang menggejala kuat. Adicita pembangunan ekonomi yang “tamak” dengan energi green grammar-nya yang salah kprah dalam diskursus sosial, telah menguras, menggeser, dan memusnahkan aneka biota yang ada di lingkungan tertentu. Aneka biota itu umumnya terekam dalam memori lingual warga etnik. Secara bathiniah, sesungguhnya terjadi “konflik” serius antara manusia dengan lingkungan alam tempat hidupnya, seperti juga aneka konflik antarwarga etnik dan antaretnik di suatu kawasan karena nafsu kuasa.
Ketidakserasian hubungan juga terjadi dalam lingkungan hidup sosial-budaya. Banyak warga etnik dan relasi kekerabatan yang retak. Keretakan dan kerengganan relasi insani berdimensi kekerabatan antarwarga etnik, sedang merebak kuat pula. Dalam lingkup komunitas basis terkecil keluarga, relasi ketetanggaan di perkotaan, bagaimanapun juga berkaitan dengan gejala disfungsi sosio-kultural bahasa etnik khususnya sebagai gejala yang tidak sulit dapat disimak. Disfungsi socioekologis bahasa etnik sebagai sarana primordial (Masinambow, 1999:11) itu merupakan gejala lingkungan hidup kemanusiaan dan kemasyarakatan yang perlu diprihatinkan. Bahasa, dalam hal ini bahasa etnik yang seyogyanya berfungsi mengonstruksi makna sosio-kultural (lihat Barker, 2004:74) dalam jaringan infrastruktur komunikasi verbal para pendukungnya, dalam perkembangannya dapat saja tidak menjalankan fungsinya karena memang tidak digunakan secara lebih sering dan lebih “mendalam”. Kesenjangan nilai antargenerasi penutur bahasa dan pendukung etnik, antara lain dikarenakan juga oleh faktor penyusutan fungsi interpersonal bahasa etnik. Padahal, fungsi tersebutlah yang antara lain membangun relasi kemanusiaan dalam kehidupan masyarakat. Situasi multilingual dan multicultural telah menggeser bahasa etnik dan nilai-nilai ketnikan.
3. Beberapa Persoalan Khusus Keetnikan dan Kebahasaan Kita yang Perlu Dikaji
Arus global memang terasa menggoyang jati diri sebagai bangsa Indonesia. Goyangan kultural global yang menggelisahkan generasi tua terhadap keberlanjutan tata nilai lokal itu menyadarkan warga untuk menggali, menemukan, dan memperkokoh jati diri dengan rajutan nilai-nilai lokal. Baik jati diri keetnikan di jenjang lokal maupun jati diri sebagai bangsa Indonesia sedang berada dalam tantangan. Jika gejala pasangnya semangat nasionalisme mempertebal rasa keindonesiaan kita yang majemuk, sebaliknya gejala surutnya semangat nasionalisme menipiskan rasa keindonesiaan kita sebagai bangsa yang multietnik. Keadaan itu menggelitik warga etnik untuk mengidentifikasi kembali kekuatan jati diri keetnikan demi kekuatan jati diri keindonesiaan.
Dalam konteks perbincangan ini, komponen pengikat dan penanda (marker) keetnikan dalam praktik budaya dan diskursus sosial, yang tiada lain adalah bahasa-bahasa etnik, semisal bahasa Batak, bahasa Minang, bahasa Melayu, bahasa Aceh, bahasa Lampung, bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Madura, bahasa Sasak, bahasa Bima, bahasa Sawu, bahasa Roti, bahasa Sika, bahasa Lamaholot, bahasa Bugis, bahasa Bajo, bahasa Biak Numfor, dan sebagainya, masing-masing dengan sejumlah dialeknya, menjadi fokus kajian akademis yang sangat penting. Kekayaan bahasa dalam pelbagai tatarannya, adalah gambaran tentang kekayaan budaya dan kekayaan lingkungan alamnya. Sebelum bahasa-bahasa etnik yang kecil mati, dan sebelum punah pula sumber daya alam yang disimbolisasikan secara verbal itu, perekaman khazanah budaya keetnikan dan kekayaan sumber daya lingkungan secara ekoleksikografis, menjadi sangat mendesak dan strategis.
Terlalu derasnya arus budaya dan arus bahasa global dalam arti luas, dan terlalu dalamnya pengaruh budaya modern yang melumuri “wajah” masyasrakat Indonesia, seperti juga terlalu mendominasinya subetnik tertentu atas subetnik-subetnik lainnya pada tingkat lokal dan nasional, atau juga dominasi etnik mayoritas atas etnik-etnik minoritas atas nama pembangunan dan kekuasaan dalam makna tertentu, dapat saja “memudarkan bahkan menghancurkan” tatanan sosial-budaya etnik di Indonesia, khususnya etnik-etnik yang memang kecil dan tanpa peran politiknya. Keadilan dan kesetaraan, dengan demikian menjadi persoalan serius. Sehubungan dengan itu, diskusi mengenai keetnitkan (ethnicity) dalam ekolinguistik kritis, akan menjadi lebih bermakna jika topik hangat itu kembali dikaitkan dengan kondisi setakat ini: keterdesakan dan ketererabutan akar local keetnikan. Gejala itu dapat dibedah melalui fenomena kebahasaan dalam perspektif ekolinguistik kritis. Terdesak dan tercerabutnya pijakan lokal dan akar keetnikan jelas menggoyahkan jati diri (identity) dan tentunya berdampak negatif pula terhadap semakin melemahnya kekuatan pilar-pilar kebangsaan dan rasa nasionalisme.
Membedah gejala keterdesakan dan ketercerabutan akar keetnikan anak bangsa, dapat dibahas dalam beberapa pilahan persoalan. Pertama, sedalam dan sekuat manakah sesungguhnya nilai-nilai kelokalan dan keetnikan dipahami oleh komunitas etnik yang juga menjadi warga komunitas bahasa etnik. Kedalaman dan kekuatan permilikan dan penghayatan nilai-nilai lokal keetnikan ini tidak hanya di kalangan generasi muda melainkan juga generasi tua. Kedua, bagaimanakah sesungguhnya nilai-nilai sosial-budaya kekerabatan, adicita (ideology), fungsi dan makna mitos misalnya, hadir secara bermakna dalam kehidupan nyata kelokalan, terlebih dalam proses pendidikan formal dan informal bagi generasi muda sebagai pewaris nilai? Persoalan ini juga sangat penting untuk dibedah. Modal sosial-kultural itu masih layak digali dan diberdayakan, tanpa harus mengerdilkan keindonesiaan mereka. Ketiga, bagaimanakah derajat kegandrungan dan apresiasi komunitas etnik, tua atau muda, terhadap tradisi lisannya, terhadap karya-karya sastra, juga mutu daya cipta sastra etnik mereka? Jawaban atas ketiga persoalan itu menjadi tanda penting kehidupan dan atau sebaliknya menengarai ancaman kepunahan bahasa dan komunitas etnik.
Dalam perspektif fungsi sosioekologis bahasa etnik, tradisi, adicita, dan jabaran nilai-nilai keetnikan diwadahi, dikemas dalam dan dipresentasikan dengan bahasa etnik. Kemasan verbal, di sisi nonverbal, dan isinya itulah yang merajut jati diri, membangun ciri pembeda, menjadi modal sosial dan sumber daya kultural-lingual masyarakatnya. Bagaimana keunikan dan cara “Orang Batak, Orang Aceh, Orang Minang, Orang Nias, Orang Mentawai, Orang Jawa, Orang Bali, Orang Madura, Orang Sunda, Orang Betawi, Orang Kupang, Orang Ambon, Orang Manado, Orang Bugis, dan Orang Papua, bertutur dengan bahasa etnik mereka, atau juga dengan bahasa Indonesia, itulah sesungguhnya isi, kekuatan, dan warna jati diri keetnikan, karena di balik bahasalah terekam isi jiwa dan kekayaan mental mereka. Masalahnya, bagaimanakah sesungguhnya tingkat dan mutu kompetensi dan performansi kebahasaan bahasa local kalangan generasi muda baik di perdesaaan maupun di perkotaan khususnya, dalam praksis hidup keetnikan mereka?
Mempersoalkan daya hidup bahasa, dalam hal ini bahasa-bahasa etnik, tiada lain mempermasalahkan dan menggugat sikap, perilaku, dan terutama tingkat kecerdasan lingual-kultural keetnikan generasi muda sesuai dengan ruang dan lahan fungsionalnya dalam kehidupan sosioekologis keetnikan. Bahasa yang hidup, tidak hanya di dalam memori atau kognisi semata (sebagai buah penghafalan demi lulus ujian lokal-nasional), tidak hanya sebagai “kompetensi” melainkan harus berwujud “performansi” yang komunikatif, produktif, dan kreatif, baik lisan maupun tulisan dengan kekayaan ranah pakai bernuansa etnis. Jika individu disimak keberadaannya sebagai salah satu organisme, ia hanya dapat berbicara dan memahami tuturan hanya karena ada individu sebagai organisme yang hadir di sekitarnya sebagai mitra tutur, yang memperlihatkan fenomena relasi antarorganisme pula (Halliday, 1978:10). Bahasa hidup secara faktual melalui “mulut-telinga” , penutur dan pendengar, dalam perwujudan tuturan yang sarat makna kultural kelokalan, dan melalui kelincahan tangan dalam membangun tulisan. Tuturan selalu berdimensi sosial langsung dan lebih mendekatkan relasi antarindividu dibandingkan tulisan. Dengan demikian kelisanan tetap diperlukan di samping keberaksaraan.
4. Politik Identitas Keetnikan, Potensi Kebahasaan, dan Kesenjangan Sosioekologis
Politik identitas keetnikan di Indonesia, dengan demikian perlu ditata kembali tanpa harus mengganggu sendi-sendi Negara Kesatuan RI sebagai negara-bangsa. Untuk itu, bahasa-bahasa Nusantara dalam perspektif ekolinguistik kritis layak dikaji dan diberdayakan sebagai ciri fungsional penanda dan pengungkap jati diri keetnikan. Dalam kaitan dengan otonomi daerah yang memang menuntut peran serta komunitas etnik, sesungguhnya komunitas etniklah yang paling bertanggung jawab untuk memelihara dan merevitalisasinya. Bukankah sejarah leluhur, mitos, tradisi keetnikan, terutama lingkungan hidup bahasa etnik, yang setakat ini juga harus memberi ruang dan peluang hidup bagi bahasa Indonesia, bahasa-bahasa etnik lainnya, dan bahasa-bahasa asing, merupakan Tanah Asal Leluhur. Tanah leluhur dengan kehidupan bahasa, budaya, etnik, dan aneka sumber daya alam itu, yang di antaranya juga hasil “taklukan” dan buah perjuangan jiwa-raga, tumpahan darah dan keringat para leluhur mereka, harus tetap dijaga, dimuliakan, dan diwariskan antargenerasi. Kesadaran sosioekologis ini penting dalam melabeli dan mengidentifikasi diri sebagai warga etnik, sekaligus juga warga Indonesia.
Tanah atau wilayah itulah lingkungan hidup etnik-etnik dengan bahasa-bahasa Nusantara, seperti bahasa Batak, bahasa Minang, bahasa Melayu, bahasa Aceh, bahasa Jawa, Bali, Madura, Sasak, dan sebagainya, masing-masing dengan dialek-dialek, subetnik dan subkulturnya. Bahasa-bahasa itu adalah wadah kebersamaan, sarana interaksi dan komunikasi verbal, sekaligus simbol dan sarana pemahaman mereka tentang diri mereka, kekerabatan mereka, tata nilai dan tata norma hidup mereka, gagasan dan adicita (ideology) yang harus tetap hadir, tumbuh, dan berkembang. Bahasa yang hidup, tumbuh, dan berkembang adalah bahasa yang digunakan secara intens dalam sejumlah ranah pakai. Metafora inilah sesungguhnya ekspresi kebahasaan penunjang jati diri keetnikan yang menjadi bagian dari pemahaman bahasa secara ekolinguistik.
Berkaitan dengan fungsi kode-kode lingual bahasa etnik itulah, lingkungan sosial dan lingkungan alam dengan segala sumberdayanya, layak dikaji secara kritis. Pengkajian ditujukan untuk memahami daya hidup, nafas budaya lokal warisan leluhurnya, secara khusus di kalangan generasi muda dari etnik-etnik Nusantara. Dalam perspektif ekolinguistik, bahasa yang diberi ruang hidup adalah bahasa yang digunakan. Lebih khas lagi, secara biologis, sosiologis, dan ideologis (lihat Bastardas-Boada, 2005:1), bahasa yang tumbuh dan berkembang secara berimbang dengan bahasa-bahasa lainnya dalam masyarakat yang multilingual, demikian juga dialek dan register yang hidup dan berfungsi secara seimbang dengan dialek-dialek dan register-register lainnya, menjamin keberlanjutan bahasa itu.
Keberlanjutan dan keberdayaan bahasa secara fungsional dalam dinamika kebudayaan, Ilmu pengetahuan, dan teknologi, disangga oleh daya adaptasi dan kreasi komunitas tuturnya. Adaptasi dan kreasi secara leksikogramatika sangat menentukan daya hidup bahasa. Dalam konteks ini, daya cipta leksikon yang digali dari khazanah asli dengan pemerkayaan makna, diciptakan secara baru, atau juga dari sumber luar dengan penyesuaian gramatikal bahasa etnik, pengembangan metafora, pemanfaatan daya morfosintaksis, ungkapan-ungkapan lokal, mewarnai jati diri kebahasaan seraya memperkaya khazanah kata dengan leksikon baru bernuansa IPTEK. Semuanya itu berpangkal pada kompetensi kebahasaan dan kebudayaan etnik generasi penerusnya.
Salah satu kendala adaptasi bahasa melalui penuturnya adalah “rendahnya” mutu penguasaan (kompetensi) dan rendahnya kelincahan verbal berbahasa lokal, sementara bahasa Indonesia juga masih memrihatinkan. Bukankah masih banyak warga bangsa yang buta bahasa Indonesia dan buta huruf latin? Secara biolinguistik keetnikan, bahkan juga keindonesiaan, sebagian (besar) anak bangsa, secara verbal berada dalam kondidi “sakit dan gamang”. Ada jarak yang renggang dengan lingkungan sosio-ekologis, namun sangat akrab dengan budaya multimedia. Sistem pembelajaran bahasa yang “dihegemoni” oleh pragmatisme politik adalah situasi keterbelengguan atau keterjebakan yang sangat merugikan. Sikap hanya demi keberhasilan ujian nasional, bukannya keterampilan dan kelincahan verbal (tuturan dan tulisan) sebagai ciri kecerdasan intelektual dan emosional, sangat mengganggu perkembangan sumber daya insani dan perkembangan jati diri sebagian (nesar) generasi muda bangsa.
Kemampuan mengungkapkan hasil penalaran dan perasaan terdalam para peserta didik khususnya atas realitas kehidupan sosioekologis kelokalan berbasis etnik dan keindonesiaan dalam proses pembelajaran dan pendidikan, justru sangat penting dalam membangun kesadaran akan hakikat dan fungsi lingkungan hidup, sekaligus mencegah keterasingan. Di beberapa daerah di Indonesia, ditemukan fakta yang sangat memrihatinkan. Sejumlah anak bangsa yang setiap hari menikmati pangan-kuliner Indonesia asli (nasi, jagung, singkong, kacang-kacangan, sagu, daging sapi, kerbau, aneka unggas, ikan dan udang, serta beragam sayur), justru tidak lagi mengenal biota, apalagi varietas-varietas padi, jagung, dan kacang yang hidup di sawah atau ladang, tidak pula mengenal sapi atau kerbau, tidak mengenal lagi jenis-jenis burung, dan tidak lagi mengenal jenis-jenis sayuran dalam bahasa etnik mereka. Sebaliknya, anak-anak kota sangat akrab dengan makanan instan produk asing. Kesenjangan lingual-kultural ini merupakan masalah pendidikan lingkungan (lihat Kompas, 13-14 April 2009) yang sangat penting untuk dikritisi dan ditata ulang. Termasuk di dalamnya adalah pendidikan multikultural untuk tulus menghormati, menerima, menghargai, dan membangun kebersamaan dalam perbedaan (band. Blum, 2001). Pendidikan dan pembelajaran bahasa lokal atau bahasa daerah, demikian juga pembelajaran bahasa Indonesia, dan bahasa-bahasa asing di Indonesia, secara kontekstual sudah seharusnyalah bersumber, berbasiskan, dan menyatu dengan lingkungan hidup, masyarakat, dan kebudayaan di sekitar mereka.
5. Catatan Akhir
Renungan sekilas tentang dunia keetnikan dan kebahasaan dalam perspektif ekolinguistik ini mengajak warga etnik sekaligus guyub tutur bahasa etnik untuk menyadari eratnya hubungan antara bahasa dengan lingkungan hidup, baik lingkungan sosial-budaya maupun lingkungan alam. Di satu sisi bahasa merekam secara simbolis kekayaan alam dan modal sosial-kultural komunitas tutur bahasa. Dunia keetnikan berkaitan dengan bayangan dan kesadaran akan kesamaan leluhur, asal-muasal, tradisi, adicita (ideology) tanah teritorial, simbol-simbol, dan juga kesadaran akan keberbedaan dengan kelompok etnik lain. Kemudian, keberbedaan itu diperkuat pula oleh bahasa etnik. Ini berarti bahasa etnik sangat penting dipelihara dan digunakan antaranggota warga etnik sebagai perwujudan jati diri.
Ketidakserasian hubungan dalam komunitas etnik yang juga komunitas tutur dengan lingkungan alam, berakar pula dari “penyalahgunaan” energi bahasa dan juga bertautan dengan disfungsi bahasa secara sosioekologis karena di balik sistem kode kebahasaan tersimpan makna dan nilai kultural dan natural. Fungsi simbolis dan makna referensial kode-kode lingual menjadi kabur oleh waktu, terutama oleh gerusan arus budaya global. Keterpinggiran dan ketercerabutan akar lokal berdampak pada kegoyahan jati diri kolektif, baik pada jenjang lokal keetnikan maupun jati diri sebagai bangsa Indonesia yang plural.
Bahasa tidak mesti hanya dipahami sebagai alat semata. Bahasa hidup dalam kompetensi dan performansi antaranggota guyub tutur itu, harus dipandang dan diposisikan sebagai organisme yang hidup dalam suatu ekosistem, dimanfaatkan sebagai sumber daya, energi, dan modal sosial-kultural. Sebagai masyarakat yang multietnik dan multilingual, secara fungsional bahasa itu selayaknya hadir secara adil, berimbang, serasi, dan merata antarguyub tutur dan guyub kultur. Dominasi perlu dicegah. Berkaitan dengan kerusakan ekosistem, termasuk lingkungan hidup manusia, energi bahasa dalam penggunaannya, jikalau tanpa kendali moral, dapat saja merusak tatanan alam dan tatanan sosial yang menjaga keseimbangan. Misi ekolinguistik kritis, dengan demikian perlu diemban demi pemulihan kembali hak hidup alam dan sesama dalam relasi yang harmonis, melalui pemberdayaan bahasa-bahasa etnik.
Dalam perspektif ekolinguistik, keetnikan dan kebahasaan dapat dipahami sebagai satu kesatuan, sebagai dua sisi mata uang, hadir bersebelahan dalam keutuhan. Jikalau bahasa boleh ditempatkan di sisi luar, ia berfungsi untuk merepresentasi dan mengemas isi jati diri keetnikan. Dalam perspektif ini pula, keredupan penggunaan atau daya hidup bahasa etnik, mencerminkan keredupan jati diri kolektif keetnikan pula. Sebaliknya, kelebatan penggunaan dan daya hidup kebahasaan yang bergairah, menengarai daya hidup keetnikan, seperti juga kebangsaan Indonesia, yang energik dan lestari. Fakta tentang daya hidup kebahasaan dalam konteks keetnikan, jelas sangat membutuhkan penelitian yang teratur, terfokus, dan berkesinambungan. Secara khusus, kaji tindak (action research) dengan memanfaatkan konsep, kerangka teori, dan metodologi ekolinguistik dapat digunakan, sehingga pemuliaan bahasa, etnik, dan lingkungan hidupnya dalam jalinan keterkaitan satu dengan yang lainnya, dapat diupayakan.
DAFTAR PUSTAKA
Alwasilah, Khaidir 1985. Sosiologi Bahasa. Bandung: Angkasa.
Anderson, Benedict 2002. Imagined Communities. Komunitas-komunitas Terbayang.Penerjemah: Omi Intan Naomi. Jakarta: Pustaka Pelajar & Insist.
Azra, Azyumardi, 2007. Merawat Kemajemukan. Merawat Indonesia. Seri orasi budaya. Yogyakarta: Kanisius.
Barker, Chris, 2004 Cultural Studies. Teori & Praktik. Penerjemah: Nurhadi. Yogyakarta: Kreasi Wacana
Bastardas-Boada, Albert, 2000. Language Planning and Language Ecology: Towards a theoretical integration. Barcelona: CUSC, Centre Universitari de Sociolinguistika I Communicacio, and General Linguistics Department, Universitat de Barcelona.
Beard, Adrian 2004. Language Change. London and New York: Routledge.
Bell, Roger T 1976. Sociolinguitics: Goals, Approaches, and Problems. New York: Martins Press.
Blum, Lawrence A 2001. “Antirasisme, Mulitikulturalisme, dan Komunitas Antar-ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat Multikultural” dalam May Larry (Editor) 2001 Etika Terapan I. Sebuah Pendekatan Multikultural. Penerjemah: Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Bundsgaard, Jeppe & Anna Vibeke Lindo (Eds), 2000. Dialctical Ecolinguistics. Three Essays for The Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Odense: University of Odense.
Culler, Jonathan 1996. Saussure. Penerjemah: Rochayah dan Siti Suhayati. Jakarta: Pusat Pembinan dan Pengembangan Bahasa.
Dove, Michael R 1985. Peranan Kebudayaan Tradsional Indonesia dalam Modernisasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Ferguson, Charles A. 1971 “National Sociolinguistics Profile Formulas” dalam Bright, William (Ed) 1971 Sociolinguistics. Proceedings of the UCLA Sociolinguistics Conference, 1964.The Hague, Paris: Mouton & Co.
Fill, Alwin and Peter Muhlhausler (eds.) 2001. The Ecolinguistics Reader. Language Ecology, and Environment. London and New York: Comtinum.
Habermas, Jurgen 2007. Teori Tindakan Komunikatif. Kritik atas Rasio Fungsionalis. Penerjemah: Nurhadi. Judul asli: Theorie des Kommunikativen Handelns, Band II: Zur Kritik der funktionalistischen Vernunft. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Halliday, M.A.K. 2001. “New Ways of Meaning: The Challenge to Apllied Linguistics” dalam Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (Eds.) The Ecolinguistics Reader. Language, Ecology, and Environment. London and New York: Continuum.
Halliday, M.A.K 1978. Language as Sosial Semiotic. The sosial interpretation of language and meaning. London: Edward Arnold.
Kymlicka, Will 2003. Kewargaan Multikultural. Penerjemah: Edlina Hafmini Eddin. Jakarta: LP3ES.
Makkai, Adam, et.al (Eds) 1984. The Semiotics of Culture and Language, Volume 2. Language and other Semiotic Systems of Culture. London: Frances Pinter Publisher.
Muhlhausler, Peter and Alwin Fill (Eds.) 2003. The Ecolinguistics Reader. Language, Ecology and Environment. London and New York: Continuum.
Preziosi, Donald, 1984. “Relation between environmental and linguistic structure” dalam Fawcett, Robin P 1984 et. Al (Eds.) The Semiotics of Culture and Language Volume 2 Language and Other Semiotic Systems of Culture. London; Frances Pinter Publisher.
Purwanto, Hari 2007. “Suku Bangsa dan Epspresi Kesukubangsaan”. Makalah Seminar Sehari Memperingati Satu Tahun Wafatnya Prof. Dr. I Gusti Nguarh Bagus”, Oktober 2006.
Romaine, Suzanne 1995. Bilingualism. Second edition. Oxford UK & Cambridge: Blackwell.
Rosidi, Ajip 1999. Bahasa Nusantara. Suatu Pemetaan Awal. Gambaran tentang Bahasa-bahasa Daerah di Indonesia. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.
Tilaar, H.A. R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia.Tinjauan dari Perspektif Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Volosinov, N. V. 1973. Marxism and the Philosophy of Language. Judul asli Markasizm I Filosofija Jazyka, Leningrad 1930. Penerjemah ke dalam bahasa Inggris: Ladislav Matejka & I. R Titunik. New York and London: Seminar Perss.
Wolf, Eric R. 1985. Petani, Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
Woollams, Geoff, 2004. Tata Bahasa Karo. Edan: Bina Media Perintis.
[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Guru Besar Semiotika Budaya UNUD Bali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar