01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 16

Upacara Pasang Tarub
dalam Tradisi Perkawinan Jawa
[1]
oleh:
Dra. Astri Adriani Allien, M.Hum
[2]


1. Pendahuluan
Kebudayaan merupakan hasil dari akal dan kebebasan kehendak manusia yang diperuntukkan bagi sesamanya. Dengan akalnya manusia mampu mengatur dirinya sehingga mampu menyelamatkan diri dari bahaya kelaparan yakni dengan cara membuat lumbung. Dengan akalnya pula manusia mampu membangun rumah yang bernilai seni, tidak hanya sekedar sebagai tempat berlindung dari serangan binatang buas ataupun udara panas dan dingin. Begitu pula dalam merancang pakaian yang tidak hanya diperuntukkan bagi kepentingan diri sendiri tetapi juga bagi kelompok masyarakat yang lain. Kebudayaan yang lahir dari akal budi menjadikan manusia merupakan makhluk yang unik (Sutrisno, 2008: 16-17).
Dalam masa ketika nilai-nilai material dan ekonomi merajalela seperti saat ini, budaya yang merupakan spirit masyarakat yang memberi esensi bagi kehidupannya dan menjadi ciri khas yang unik sering dilawan atau bahkan ditolak mentah-mentah oleh sebagian masyarakatnya. Meskipun demikian, pada kelompok masyarakat tertentu yang dengan susah payah mencoba mempertahankan ciri khas kelompoknya, tidak henti-hentinya berjuang mengakomodasi tradisi warisan nenek moyang di tengah hingar-bingar masuknya budaya asing (Barat).
Dalam budaya Jawa konsep mengedepankan hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan manusia dengan sesamanya diwujudkan antara lain dengan adanya upacara selamatan agar mereka terhindar dari halangan dalam pekerjaan maupun dalam perbuatannya (Astiyanto, 2006: 170). Salah satu jenis upacara selamatan adalah upacara perkawinan yang diselenggarakan menurut kebiasaan yang berlaku.
Perkawinan merupakan salah satu tahap dalam siklus kehidupan manusia. Salah satu rangkaian upacara selamatan dalam penyelenggaraan acara ini adalah pemasangan tarub. Pasang tarub, bagi orang Jawa yang akan menyelenggarakan pesta perkawinan merupakan simbol penolak bala. Upacara ini dianggap sebagai salah satu visualisasi falsafah Jawa yang selalu mendekatkan diri pada Yang Maha Kuasa.
Dalam tulisan ini akan diuraikan makna upacara pasang tarub sebagai salah satu rangkaian penyelenggaraan perkawinan pada masyarakat Jawa dengan menggunakan kajian semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes tentang mitos. Dengan demikian diharapkan ideologi di balik upacara pasang tarub dapat terungkap.

2. Upacara Pasang Tarub
Pasang tarub merupakan salah satu rangkaian upacara perkawinan adat Jawa yang dijalankan oleh anggota masyarakat Yogyakarta dan Surakarta. Tarub adalah sejenis rumah-rumahan yang beratapkan daun pohon kelapa/nipah untuk upacara pesta yang dipasang di samping pendopo dan belakang rumah. Menjelang diselenggaraannya upacara perkawinan, pemasangan tarub merupakan salah satu cara untuk menghormati tamu yang datang agar lebih nyaman dalam mengikuti keseluruhan prosesi. Setelah penentuan hari baik untuk melakukan hajatan perkawinan, rangkaian penyelenggaraan upacara mulai dipersiapkan dengan sebaik-baiknya.
Seiring dengan perkembangan zaman dan makin terbatasnya areal perumahan, upacara perkawinan tidak lagi diselenggarakan di rumah tetapi dilaksanakan di gedung pertemuan yang memiliki kapasitas sesuai dengan tamu undangan.. Namun demikian, pemasangan tarub tetap tidak ditinggalkan dengan menjadikannya prasyarat saja yakni dengan menyelipkan anyaman daun kelapa yang sudah tua yang berwarna hijau tua di bawah genting. Namun demikian, di dalam rangkaian upacara perkawinan Jawa ada bermacam sesaji yang harus disiapkan dan sesaji pasang tarub merupakan sesaji utama.

3. Metodologi
Dengan melihat masalah yang dikaji dalam tulisan ini yakni mengetahui makna yang terkandung dalam perangkat upacara pasang tarub dalam perkawinan adat Jawa maka metode yang digunakan adalah metode observasi dengan cara mengamati secara langsung rangkaian upacara penyelenggaraan perkawinan yang dilakukan di Surakarta dan Yogyakarta, khususnya pada upacara pasang tarub dan bleketepe. Metode ini dimaksudkan untuk menggali data sebanyak mungkin. Di samping itu, untuk melengkapi data yang telah diperoleh maka dilakukan studi pustaka untuk mendapatkan sumber tertulis yang berkaitan dengan penyelenggaraan upacara perkawinan adat Jawa terutama yang diuraikan oleh Hariwijaya dalam Tata Cara Perkawinan Adat Jawa (2008).


4. Semiotika Roland Barthes
Sebagai sebuah cabang ilmu pengetahuan, semiotika memiliki cakupan yang sangat luas sehingga dapat ditemukan cabang-cabang semiotika khusus antara lain semiotika film, semiotika fesyen, semiotika sastra dan sebagainya. Di lain pihak, kebudayaan juga mencakup bidang-bidang yang kompleks yang meliputi budaya benda (material culture) seperti terlihat pada arsitektur, media, televisi, fesyen dan budaya non-benda (non-material culture) yang mencakup norma, adat, kebiasaan serta bahasa yang merupakan komunikasi di dalamnya (Piliang, 2004:1).
Selanjutnya, model semiotika dari de Saussure menjadi dasar dalam strukturalisme, yang selanjutnya berpengaruh pada cultural studies pada umumnya. Konsep langue-parole, signifiant-signifié, paragdimatik-sintagmatik, maupun sinkronik-diakronik menjadi metode kunci dalam semiotika dan cultural studies. Dengan demikian, agar kebudayaan dapat dianalisis menggunakan pendekatan semiotika, maka kebudayaan harus dipandang sebagai teks yang merupakan tanda-tanda bermakna berdasarkan aturan atau kode-kode tertentu. Dalam konteks ini teks merupakan produk dari wacana yang digunakan dalam kehidupan sosial berupa kombinasi serangkaian tanda-tanda tertentu dalam menghasilkan makna.
Pada tataran cultural studies, adanya tanda dan teks erat berhubungan dengan konteks sosial tempat tanda dan teks bersangkutan itu berada. Di lain pihak, tanda dan teks tersebut hanya dapat berfungsi ketika digunakan oleh suatu komunitas (Storey, 2008:5). Oleh karena itu, sistem tanda dan sistem teks tidak dapat lepas dari sistem sosial dan budaya sebagai satu kesatuan yang menyeluruh.
Pada setiap kebudayaan tentu memiliki mitos yang beraneka ragam dan hidup berkembang dalam masyarakatnya. Mitos-mitos dalam masyarakat bersangkutan ‘beredar’ melalui berbagai macam sarana yaitu bahasa dan tanda. Melalui bahasa dan tandalah masyarakat memaknai mitos tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mitos mengandung pesan (Barthes, 2006:151) yang disajikan dalam wacana. Ketika suatu upacara, benda maupun peristiwa dianggap memiliki nilai di luar fungsi praktisnya maka benda, upacara ataupun peristiwa tersebut dianggap sebagai mitos. Roland Barthes menyebut mitos berada dalam tataran konotatif, yakni tingkatan tanda yang penandanya bersifat terbuka sehingga menghasilkan makna yang bersifat implisit/tersembunyi berrdasarkan ideologi yang dianut kelompok bersangkutan. Sebaliknya, tingkatan tanda yang penandanya memiliki tingkat kesepakatan yang tinggi dan keterbukaan maknanya rendah disebut denotasi. Makna yang dihasilkan bersifat eksplisit.
Berangkat dari pengertian bahwa mitos berada dalam tataran penandaan yang bersifat konotatif, maka kajian semiotika akan dilakukan untuk menganalisis upacara pasang tarub dalam perkawinan adat Jawa.

5. Analisis Semiotik Terhadap Upacara Pasang Tarub
Sebagaimana dikemukakan di atas bahwa dalam budaya Jawa harmonisasi hubungan antara manusia dengan alam sekitar dan dengan sesamanya diwujudkan antara lain dengan adanya selamatan, maka rangkaian upaca pasang tarub dalam perkawinan tidak lepas dari falsafah tersebut.
Pasang tarub dilakukan tiga sampai tujuh hari sebelum hari pernikahan dilangsungkan yang didahului dengan pemasangan bleketepe. Bleketepe adalah rangkaian daun kelapa berbentuk bujur sangkar berukuran 50 kali 50 sentimeter. Bleketepe merupakan daun kelapa yang masih hijau dan dianyam digunakan sebagai atap atau tambahan atap rumah. Blekepete dipasang pada bagian tambahan atap rumah, ini mengandung maksud bahwa rumah akan digunakan untuk pernikahan. Selain melambangkan si pemilik rumah sedang menggelar hajatan, bleketepe juga dimaksudkan sebagai tolak bala agar hajatan berlangsung lancar tanpa gangguan.. Hiasan janur (daun kelapa yang masih muda berwarna kekuningan ) diharapkan menambah semarak acara. Karena bleketepe ini diletakkan di bagian atas maka pemasangannya pun memerlukan tangga. Dalam tataran konotatif pemasangan tarub dan bleketepe dapat dimaknai bahwa dalam beraktifitas manusia memerlukan bantuan dari orang lain yang ditunjukkan dalam tangga yang dijaga oleh isteri dan kerabat/tetangga ketika ayah pengantin puteri memasangnya. Hal ini juga mencerminkan falsafah gotong royong dan kekeluargaan pada masyarakat Jawa. Meskipun di dalam bermasyarakat tidak ada kaitan hubungan saudara tetapi dalam perilaku sehari-hari seperti keluarga dekat karena peranan keluarga juga ditentukan oleh hubungan dengan keluarga lain (Astiyanto, 2006:56).
Kata tarub merupakan kependekan dari ditata kareben murup, yakni tertata dengan dihias daun kelapa yang masih berwarna kuning (janur) agar suasana menjadi lebih hidup. Hiasan lain yang digunakan dalam tarub ini adalah dahan kapas beserta buah dan bunganya dengan harapan di dalam berumah tangga mempelai murah sandang karena kewajiban suami adalah memberi pakaian yang layak kepada isteri semampunya. Di dalam kehidupan bermasyarakat pun setiap orang berkewajiban mewujudkan kesejahteraan, perlindungan dan kesejukan dengan cara memberi sandang dan pangan. Apabila mempelai kelak menjadi pemimpin diharapkan lebih mementingkan kesejahteraan rakyat banyak daripada kepentingan diri sendiri. Dengan demikian akan memperoleh dukungan dari orang-orang di sekitarnya.
Hiasan lain adalah padi seuntai yang melambangkan sepasang suami isteri dalam berumah tangga harus berusaha mencukupi kebutuhan pangannya. Sedangkan daun kluwih merupakan simbol keunggulan (linuwih) dengan harapan agar hajatan berlangsung dengan tidak kekurangan sesuatu, jika mungkin malah dapat lebih (luwih) dari yang diperhitungkan.
Dahan pohon beringin beserta daunnya yang mengayomi (melindungi) melambangkan tempat yang sejuk dan nyaman dengan harapan seorang suami wajib melindungi keluarganya.
Pemasangan hiasan kapas, padi, dan dahan pohon beringin tersebut bermakna bahwa mempelai dapat memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan bagi keluarganya. Di samping itu hiasan kelapa muda berwarna kuning (cengkir gading) bermakna kencenging pikir, yakni kemauan yang teguh dalam menciptakan keindahan sebagaimana keelokan cengkir kelapa gading.
Hiasan tebu wulung (tebu hitam) yang lurus bermakna di dalam mengarungi kehidupan berumah tangga harus didasari dengan antebing kalbu atau kesungguhan hati, tekad yang mantab dan tidak berpikir pada hal lain kecuali yang menjadi tujuan utama berumah tangga yakni membangun keluarga yang utuh.
Pemakaian pisang raja talun suluh, yakni pisang raja masak pohon dimaksudkan sebagai lambang bibit yang unggul. Di dalam mengarungi bahtera rumah tangga diharapkan melahirkan bibit yang terpilih, karena di dalam konsep pemikiran Jawa pisang raja merupakan pisang terbaik di antara jenis pisang yang lain. Apalagi bila pisang tersebut masak di pohon, artinya memang sudah tua betul. Meskipun dalam kenyataan sehari-hari tidak terlalu mudah bagi seseorang untuk menghasilkan sesuatu yang terbaik bukan berarti tidak bisa diusahakan yaitu dengan syarat:
▪ Memiliki kemauan yang teguh (dilambangkan dengan cengkir gading, kelapa muda yang berwarna kuning).
▪ Dengan kesungguhan hati (dilambangkan dengan tebu wulung).
▪ Selalu memohon kepada Tuhan agar diberi kemurahan.
▪ Selalu berpikir positif bahwa Tuhan akan mengabulkan doa setiap insane sesuai dengan amal dan tekadnya.
▪ Tidak henti-hentinya memohon pada Tuhan (Hariwijaya, 2008: 84)
Namun demikian, sebelum acara pasang tarub dilakukan pun harus diadakan kenduri dengan dihadiri oleh sejumlah orang yang ganjil hitungannya (3 - 9 orang). Do’a oleh Pak Kaum (pemimpin spiritual lokal) dimaksudkan agar hajat di rumah bersangkutan dapat berlangsung dengan selamat. Bersamaan dengan acara hajatan ini ditaburkan pula kembang setaman, bunga rampai yang merupakan sajen bucalan (dibuang) di empat penjuru halaman rumah, kamar mandi, dapur dan pendaringan (tempat menyimpan beras), serta di perempatan dan jembatan paling dekat dengan rumah. Penempatan sesaji tersebut di perempatan dan jembatan adalah agar kita semua waspada ketika melewatinya, karena perempatan merupakan pertemuan arus lalu lintas dari empat penjuru dan di bawah jembatan tentu ada sungai apabila lengah akan tercebur. Sajen yang diletakkan di empat penjuru rumah maksudnya adalah membersihkan arah kiblat kehidupan dan membuang sifat buruk manusia. Sedangkan sajen di kamar mandi dimaksudkan agar kita berhati-hati agar tidak jatuh terpeleset. Sajen di tempat penyimpanan beras artinya agar manusia selalu ingat bahwa kita harus bersyukur masih diberi karunia makanan berlimpah.
Kompas dalam edisi Rabu, 6 Februari 2002 menguraikan bahwa sesaji pasang tarub adalah sesaji utama dalam perkawinan dan bersumber dari naskah Jawa Kuna Purwaukara,. Dalam sesaji ini terdiri dari 27 jenis, yang keseluruhannya mencitrakan kehidupan manusia yang disimbolkan dalam bentuk sesaji. Sesaji berjumlah 27 tersebut terdiri dari : sesaji buntalan, tumpeng megana, brokohan, sanggan, tumpeng robyong, tumpeng gundul, jerohan sapi, ketan mancawarna, pala kependhem, pala kesampar, pala gemantung, empon-empon, empluk-empluk (semacam periuk yang terbuat dari tanah liat dan bertutup), ganten (perlengkapan makan sirih), mentahan, pisang ayu, pisang raja pulut, kolak kencana, sega punar, sega kebuli, sega golong, unjukan dan jajan pasar, aran kembang, sega liwet, asrep-asrepan, ketan kolak dan kendhi yang semuanya ditempatkan dalam sebuah ancak-ancak (terbuat dari pelepah daun pisang segi empat kemudian diberi belahan bambu yang dianyam kemudian ditancapkan pada masing-masing sisi dalam segi empat pelepah pisang baru selanjutnya diberi alas daun pisang).
Penggunaan tumpeng pada setiap upacara di Jawa mengingatkan bahwa Tuhan menguasai seluruh isi alam ini karena tumpeng selalu berbentuk kerucut. Hal ini bermakna bahwa masyarakat menempatkan gunung sebagai salah satu tempat yang memiliki nilai tinggi. Makin tinggi kedudukan seseorang maka makin dekatlah dia dengan kekuasaan tertinggi, yakni sorga atau Tuhan. Itulah sebabnya makam-makam lama di Jawa selalu terletak di gunung, dengan maksud agar arwah orang yang meninggal lekas mencapai kemuliaan di sisi Tuhan.
Makna sajen buntalan adalah wujud sesaji yang dipersembahkan kepada roh jahat yang menurut kepercayaan nenek moyang sering mengganggu ketenteraman kita. Dengan demikian sajen ini sebagai upeti yang dipersembahkan kepada roh jahat yang berada di sekeliling kita. Setelah diberi sesaji, roh jahat diyakini sudah tidak akan mengganggu orang yang mempunyai hajat sehingga rangkaian upacara perkawinan selamat sampai selesai.
Bersamaan dengan acara caos dhahar tersebut acara menghias rumah dengan janur dimulai. Selanjutnya di pintu masuk atau gerbang sebelah kanan dipasang satu tandan pisang raja masak semua lengkap dengan buntutnya, satu jenjang kelapa gading muda, sebatang tebu wulung, berbagai dedaunan seperti daun alang-alang dan opo-opo, daun beringin dan lain-lainnya, yang bermakna agar tidak terjadi masalah sewaktu acara berlangsung. Sedangkan di pintu sebelah kiri rumah dipasang satu tandan pisang pulut yang sudah masak semuanya dan satu janjang kelapa muda hijau. Penggunaan pisang dalam hiasan tarub melambangkan suami yang akan menjadi kepala rumah tangga yang baik dan pasangan yang akan hidup baik dan bahagia dimanapun mereka berada (seperti pohon pisang yang mudah tumbuh dimanapun).
Sajen brokolan, berupa dawet (cendol) potongan kelapa dan gula jawa, serta telur itik. Ini adalah simbol bersatunya sperma dan sel telur (kelapa dan gula jawa), yang berubah menjadi benih (dawet), dan kemudian menjadi bibit di langit (telur itik)...sebuah proses perkawinan dan pembuahan. Sedangkan sajen terakhir, atau yang ke-27, adalah sajen banyu kendi (air dalam kendi), simbol pencarian manusia akan Tuhan, atau pencarian nilai kelanggengan, karena hanya dengan pencarian kelanggengan itulah modal manusia menghadap Tuhan. Untuk wilayah Yogyakarta, air kendi yang dipercaya masih memiliki daya kuat adalah air tempuran (pertemuan) dari Sungai Opak, dan Sungai Oya, keduanya mengalir di wilayah timur Yogyakarta.

5. Simpulan
Dari pembahasan tentang upacara pasang tarub dalam perkawinan Jawa dengan menggunakan teori semiotik dari Roland Barthes dapat disimpulkan bahwa secara denotatif pelaksanaan upacara pasang tarub masih merupakan rangkaian yang penting dalam prosesi tersebut meskipun hanya dilakukan secara simbolis. Upacara tersebut masih berlangsung pada masyarakat Jawa (Yogyakarta dan Surakarta) baik yang tinggal di kota-kota besar di luar kedua kota tersebut maupun di sekitar Yogyakarta dan Surakarta sendiri.
Secara konotatif dapat disimpulkan bahwa cara berpikir orang Jawa bersifat simbolik, yakni dengan menggunakan tumbuhan maupun hasil pertanian yang ada di sekitar sebagai perlambang. Pemakaian hiasan yang mengambil dari tumbuhan yang akrab dengan masyarakat menguatkan asumsi masyarakat agraris yang selalu melestarikan lingkungan hidup.
Dalam tataran mitos kesimpulan yang dapat diambil adalah orang Jawa menyukai hal-hal mistis sehingga peristiwa yang berlangsung sehari-hari maupun benda-benda yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari memperoleh pemaknaan secara mitologis.



Daftar Pustaka

Astiyanto, Heniy.2006. Filsafat Jawa: Menggali Butir-butir Kearifan Lokal. Yogayakarta: Warta Pustaka

Barthes, Roland. 2006. Mythologies diterjemahkan oleh Nurhadi dan A. Sihabul Millah. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Hariwijaya, M. 2008. Tata Cara Penyelenggaraan Perkawinan Adat Jawa. Yogyakarta: Hanggar Kreator

Piliang, Yasraf Amir. 2002. Memahami Kode-kode Budaya: Semiotika dan Cultural Studies. Makalah In House Training. Tidak diterbitkan.

Storey, John. 2008. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra
Sutrisno. Mudji. 2008. Filsafat Kebudayaan: Ikhtiar Sebuah Teks. Tanpa kota: Hujan Kabisat










[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

Tidak ada komentar: