01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 14

IDEOLOGI AKSARA JAWI:
Kebertahanan Bahasa Melayu dalam Tradisi Pernaskahan di Minangkabau
[1]
Oleh
Pramono, S.S., M.Si.
[2]

Abstrak
Penggunaan aksara Jawi terus berkembang pesat selama berabad-abad untuk berbagai bidang kehidupan yang menggunakan tulisan, tidak hanya dalam bidang kesusastraan saja. Di Sumatera Barat (baca: Minangkabau), banyak ditemukan naskah ditulis dengan menggunakan aksara Jawi dan sebagian kecilnya dengan aksara Latin. Gambaran ini menunjukkan bahwa di Minangkabau sejak dahulu telah ada pembakuan bahasa tulis, yakni dengan bahasa Melayu. Jika dalam masyarakat Melayu-Indonesia pemakaian aksara Jawi sudah terhenti—utamanya dalam naskah cetakan—sampai awal abad ke-20, maka di Minangkabau penggunaannya masih berlangsung hingga sekarang. Masih digunakannya aksara Jawi di Minangkabau bukan karena penulisnya tidak bisa menggunakan aksara Latin, melainkan ada praktik ideologi dari penggunaan aksara Jawi di kalangan penulis dan pendukung naskah di Minangkabau. Aksara Jawi dianggap aksara suci dan hanya dengan aksara ini lah sejarah para syaikh (orang-orang suci) berikut ajarannya boleh ditulis. Ideologi dalam penggunaan aksara Jawi inilah yang membuat tradisi pernaskahan di Minangkabau masih bertahan hingga hari ini.

Kata kunci: aksara Jawi, naskah, ideologi, Melayu dan Minangkabau.



Pendahuluan
Salah satu tanda dimulainya peradaban manusia pada taraf yang paling tinggi adalah dengan ditemukan dan digunakannya aksara. Pada awal perkembangannya, sebelum ditemukannya mesin cetak, aksara dituliskan untuk menyampaikan berbagai pemikiran, pengetahuan, adat istiadat, hukum, keagamaan, filsafat, politik, dan sebagainya di atas berbagai jenis alas untuk diabadikan[3]. Alas atau bahan tulisan tangan dengan kandungan isinya yang beranekaragam itu disebut dengan istilah naskah (manuscript).
Di banyak negara-negara di dunia, baik Barat maupun Timur, mempunyai produk budaya berupa naskah. Bila dibandingkan, kekayaan naskah yang dimiliki oleh negara-negara Barat dengan yang dimiliki oleh negara-negara Timur (khususnya Indonesia) pada dasarnya sama; Indonesia memiliki naskah yang tidak kalah dari segi bobot maupun isinya. Perbedaannya adalah bahwa di negara-negara Barat (Eropa) khazanah budaya yang berharga itu telah diteliti sepenuhnya, bahkan sudah diintegrasikan dalam bahan pendidikan dan pengetahuan dasar budaya bangsa yang meluas. Sebaliknya di Indonesia usaha seperti itu belum lagi secara terarah dan sungguh-sungguh dilakukan, bahkan ada bagian-bagian dari warisan tersebut belum pernah tersentuh.
Dari segi kuantitas, bangsa Indonesia memiliki warisan sejumlah besar peninggalan tulisan yang menyimpan berbagai pengetahuan dan informasi. Diperkirakan, untuk naskah Jawa saja tidak kurang dari 19.000 manuscripts yang mengandung beratus-ratus macam materi tersimpan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara.[4] Di samping itu, selain naskah-naskah yang telah tersimpan di perpustakaan, baik di dalam maupun di luar negeri, sebenarnya masih ada lagi naskah dengan jumlah cukup besar yang masih terdapat di lapangan yang dimiliki oleh masyarakat.
Di antara berbagai kategori naskah Nusantara (Indonesia), naskah keagamaan (baca: Islam) merupakan salah satu jenis kategori naskah yang jumlahnya relatif banyak. Hal ini tidak terlalu mengherankan, mengingat kenyataan bahwa ketika Islam —dengan segala kekayaan budayanya— masuk di wilayah Nusantara pada umumnya, dan di wilayah Melayu-Indonesia pada khususnya ini, budaya tulis-menulis sudah relatif mapan (Ikram, 1997:139), sehingga ketika terjadi persentuhan antara Islam dan budaya tulis-menulis tersebut, maka muncullah berbagai aktivitas penulisan naskah-naskah keagamaan yang memang menjadi media paling efektif untuk melakukan transmisi keilmuan Islam, baik transmisi yang terjadi antara ulama Melayu-Indonesia dan para ulama Timur Tengah, maupun antarulama Melayu-Indonesia itu dan murid-muridnya.
Seiring berjalannya waktu, dan dengan semakin luasnya cakupan wilayah islamisasi, distribusi naskah-naskah keagamaan tersebut pun semakin luas. Pada gilirannya, ketika naskah-naskah tersebut dibaca, dipahami, dan diresepsi kandungan isinya oleh masyarakat di berbagai daerah, maka muncul pula berbagai bentuk apresiasi dan resepsi dari masyarakat pembacanya, yang kemudian dituangkan juga dalam bentuk penulisan naskah, yang dalam hal ini penulis sebut sebagai “naskah-naskah lokal” —sekedar untuk membedakannya dengan naskah-naskah berbahasa Arab, yang beberapa di antaranya ditulis oleh ulama non Melayu-Indonesia, dan juga menjadi bagian dari khazanah naskah Nusantara. Naskah-naskah lokal tersebut ditulis dalam berbagai bahasa daerah, seperti Melayu, Jawa, Sunda, Aceh, Sasak, dan Wolio.
Dalam perkembangan berikutnya, jumlah naskah-naskah keagamaan tersebut semakin melimpah dengan adanya tradisi penyalinan naskah dari waktu ke waktu. Di beberapa daerah, seperti Minangkabau[5], misalnya, tradisi penulisan naskah-naskah lokal tersebut bahkan masih terus berlangsung hingga saat ini, seiring dengan masih terus berlanjutnya proses transmisi berbagai pengetahuan keislaman di wilayah ini, khususnya melalui jalur tarekat. Dalam konteks ini, tarekat Syattariyah yang berkembang di Minangkabau merupakan golongan yang masih mempertahankan tradisi pernaskahan. Tradisi pernaskahan yang dimaksud tidak hanya dalam proses penulisan saja, tetapi juga penggunaan naskah sebagai bahan rujukan.
Salah seorang penulis naskah yang masih aktif menulis dengan aksara Jawi hingga akhir tahun 2006 adalah Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib[6] (w. 12 Oktober 2006). Hingga saat ini naskah-naskah karyanya masih digunakan (dibacakan) sebagai sumber rujukan oleh kalangan penganut tarekat Syattariyah di Minangkabau. Naskah-naskah karyanya dianggap penting dan “asli” karena menggunakan aksara Jawi. Dalam konteks kebahasaan, kondisi tersebut menarik karena dengan bertahannya penggunaan aksara Jawi berarti juga bertahannya pemakaian bahasa Melayu dalam tradisi tulis di Minangkabau. Oleh karena itu, hal yang penting untuk dijelaskan kemudian adalah apa yang melatarbelakangi munculnya ideologi aksara Jawi itu?

Pembahasan
Dari katalogus-katalogus[7] yang memuat naskah Melayu dan Minangkabau yang ada, Zuriati (2003:1) menghitung ada 371 naskah Minangkabau yang tersimpan di perpustakaan di luar Minangkabau. Sebagian besar di antaranya hingga pada saat ini berada di luar negeri dengan rincian: 261 naskah berada di negeri Belanda, 102 naskah di Inggris, 19 naskah di Jerman Barat, dan 1 naskah berada di Malaysia. Selebihnya, 78 naskah, berada di Indonesia, yaitu di Perpustakaan Nasional Jakarta.
Akan tetapi, selain sudah tersimpan di perpustakaan yang menyebar di berbagai daerah seperti tersebut di atas, sebenarnya masih ada naskah Minangkabau yang terdapat di tangan masyarakatnya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yusuf, dkk. (2004)[8], diketahui bahwa terdapat dua ratusan naskah yang ada di tangan masyarakat Minangkabau. Hampir sembilan puluh persen dari jumlah naskah-naskah tersebut merupakan naskah-naskah Islam yang tersimpan di surau-surau. Naskah-naskah tersebut merupakan hasil salinan dan atau tulisan para syaikh, ulama, buya, dan ungku. Mereka adalah para guru di surau, di mana para cendekia itu mengajarkan ilmu dan pahamnya kepada murid dan kaumnya.
Penting dikemukakan di sini, bahwa tradisi penulisan dan penyalinan naskah serta tradisi pernaskahan tersebut masih berlangsung hingga sekarang. Dalam konteks ini, selain Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib dikenal beberapa penyalin dan penulis naskah-naskah Islam Minangkabau yang masih menulis dengan aksara Jawi, yakni misalnya di Nagari Tandikat, Kabupaten Padang Pariaman terdapat penyalin naskah-naskah Islam yang bernama H. Katik deram (w. 1999); Janius Ahmad Datuk Mali Puti Alam (80 tahun) yang beralamat di Jorong Katinggian, Nagari Sari Lamak, Kecamatan Harau, Kabupaten Lima Puluh Kota, menulis dan menyalin naskah-naskah yang berkenaan dengan adat-istiadat Minangkabau dan ajaran agama Islam yang berpaham kepada tarekat Naqsabandiyah; dan Muchtar bin Malik yang beralamat di Belimbing, Kabupaten Tanah Datar yang menyalin beberapa naskah yang berkenaan dengan ajaran tarekat Naqsabandiyah (Pramono, 2005).
Akan tetapi, di antara para penyalin dan penulis naskah di atas, Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib adalah penulis naskah yang produktif sampai di akhir hidupnya. Ia adalah seorang ulama dari golongan Kaum Tua yang secara khusus menjadi penganut tarekat Syattariyah. Ia telah menulis naskah sebanyak 22 karya (naskah). Seluruh naskah karyanya ditulis dengan menggunakan aksara Jawi dengan beragam isi kandungannya, seperti pengajaran, sejarah, dan hikayat. Penggunaan aksara Jawi inilah yang penting untuk dijelaskan. Naskah-naskah karyanya itu hingga sekarang masih digunakan dan dibacakan pada pengajian tarekat Syattariyah.
Di dunia Melayu, tidak diketahui kapan pertama kali penggunaan aksara Jawi. Akan tetapi, jelas aksara ini tercipta dan digunakan setelah terjadi pertemuan dunia Melayu dengan agama Islam. Paling tidak aksara Jawi sudah dipergunakan pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15. Pada waktu itu Kerajaan Melaka diislamkan dengan masuk Islamnya Raja Melaka—Parameswara—bergelar Megat Iskandar Syah. Ia merupakan raja Kerajaan Melaka pertama yang memeluk agama Islam yaitu sekitar 1400 M. Setelah itu, kesusatraan Melayu-Islam berkembang pesat. Kesusastraan Melayu-Islam itu, kemudian, diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di Nusantara. Sejak itu pula dunia Melayu selalu disandingkan dengan Islam sehingga yang disebut Melayu apabila memiliki tiga ciri: berbahasa Melayu, berbudaya Melayu, dan beragama Islam.
Penggunaan aksara Jawi terus berkembang pesat selama berabad-abad untuk berbagai bidang kehidupan yang menggunakan tulisan, tak semata-mata dalam bidang kesusastraan. Pada 1850 Raja Ali Haji membakukan aturan ejaan aksara Jawi dalam kitabnya Bustanulkatibin, di samping berisi tata-bahasa bahasa Melayu.
Dalam masyarakat Melayu-Indonesia pemakaian ejaan Jawi baru terhenti—utamanya dalam naskah cetakan—sampai awal abad ke-20. Peranannya digantikan oleh ejaan yang menggunakan aksara Latin. Penulisan bahasa Melayu dengan aksara Latin dimulai pada tahun 1901 yaitu ketika Ch. A. van Ophuysen dibantu oleh Engku Nawawi gl. St. Makmur dan M. Taib St. Ibrahim menerbitkan Kitab Logat Melajoe, yang merupakan pedoman ejaan Latin resmi pertama untuk bahasa Melayu di Indonesia.
Untuk kasus di Sumatera Barat (baca: Minangkabau), banyak ditemukan naskah yang ditulis dengan menggunakan aksara Jawi dan sebagian kecilnya dengan aksara Latin dan Arab. Hal ini membedakan dengan skriptorium di wilayah lain yang banyak menggunakan aksara daerah[9]. Hal ini dikarenakan Minangkabau tidak mempunyai aksara. Meskipun ada pendapat yang menyatakan bahwa ada kemungkinan aksara-aksara Sumatera berasal dari Sumatera bagian Tengah dan kemungkinan Minangkabau. Hal ini disebabkan karena aksara yang terdapat di Sumatera mempunyai model dasar yang sama. Akan tetapi, ke Utara memperlihatkan pengembangan yang berbeda dengan pengembangan di bagian Selatan. Masing-masing, baik di Utara dan di Selatan memperlihatkan pengembangan dengan model yang sama.
Akan tetapi, anehnya tidak ada peninggalan bertulis yang menggunakan “aksara Minangkabau”. Hal ini diperkirakan bahwa peninggalan itu mungkin pernah ada, tetapi sudah musnah karena waktu dan proses alam. Ada juga kemungkinan bahwa kemusnahan tersebut disebabkan dengan adanya gerakan pemurnian Islam yang terjadi di Minangkabau. Segala sesuatu yang dipandang tidak Islam dihancurkan, termasuk tulisan itu. Tentang persoalan ini, Kozok (1999: 65-66) mengungkapkan seperti berikut ini.
“Di antara aksara-aksara Nusantara yang paling dekat dengan aksara Batak adalah aksara Kerinci, Rencong, dan Lampung ... Salah satu budaya asing adalah masuknya agama Islam. Serentak dengan penyebaran agama Islam, bersebar pula tulisan Arab yang di Melayu dikenal dengan tulisan Jawi. Aksara “Arab-Gundul” tersebut cepat menggantikan aksara-aksara Sumatera asli yang kemudian hilang sama sekali. ... Besar kemungkinan aksara Minangkabau dan Melayu juga pernah ada tetapi kemudian digantikan oleh tulisan Arab-Melayu sehingga hilang tak berbekas.”

Untuk aksara Jawi sendiri, dari beberapa catatan sarjana, seperti Suryadi (2004: 4) menyebutkan bahwa aksara Jawi dikenal luas di Minangkabau pada abad ke-18, dan kemudian disusul dengan pengenalan aksara Latin. Dengan dikenalnya kedua aksara tersebut, maka khasanah sastra lisan Minangkabau banyak dituliskan. Penulisan dengan aksara Jawi di Minangkabau semakin berkurang pada akhir abad ke-20. Hal ini dimungkinkan karena tulisan tersebut tidak lagi dikenali oleh banyak orang. Khalayak luas lebih mengerti dan paham dengan aksara Latin.
Hingga akhir abad ke-20 banyak cerita-cerita lisan di Minangkabau yang disalin dan dicetak dengan menggunakan aksara Lain. Meskipun aksara Jawi sudah jarang digunakan di wilayah ini, tetapi aksara tersebut masih bertahan dan digunakan hingga sekarang. Hal ini seperti yang dilakukan oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib. Ia banyak menulis teks ajaran tasawuf dan sejarah para syaikh tarekat Syattariyah yang seluruhnya menggunakan aksara Jawi.
Penggunaan aksara Jawi untuk menuliskan teks-teks tasawuf, riwayat para syaikh dan ajaran tarekat Syattariyah dilakukan bukan karena penulisnya tidak bisa menggunakan aksara Latin. Kemampuan tulis-menulis Latin diperolehnya dari pendidikan sekolah desa (sekolah rakyat) pada 1930 di Muaro Penjalinan, Padang dan Sekolah Guvernamen di Tabing, Padang hingga tahun 1935. Dengan menempuh pendidikan “formal” yang demikian sangat dimungkinkan ia dapat menulis dengan menggunakan aksara Latin. Hal ini karena dalam proses pendidikan itu hanya digunakan satu aksara dalam pelajarannya, yaitu aksara Latin. Dengan demikian, pertanyaan yang segera akan muncul adalah: kenapa ia menggunakan aksara Jawi, tidak aksara Latin yang lebih banyak dipahami khalayak yang lebih luas?
Peneliti pernah mengajukan pertanyaan itu kepada Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib[10]. Menurutnya, adapun digunakannya aksara Jawi dalam penulisan sejarah syaikh dan ajaran-ajaran yang terkait dengan tarekat Syattariyah itu adalah untuk mensejajarkan atau menyandingkan naskah-naskah itu dengan “Kitab Kuning”. Dengan disejajarkan dengan Kitab Kuning, maka naskah-naskah itu akan dianggap sama dengan kitab itu. Sama dalam hal ini berarti sama-sama penting, sama-sama dijadikan rujukan, atau yang lebih penting adalah sama-sama “asli” dan benar-benar “benar”.
Disamakan atau disejajarkannya dengan Kitab Kuning karena kitab ini mempunyai kedudukan penting dalam sistem pendidikan surau. Dalam sistem pendidikan surau kitab ini menjadi text books, references, dan kurikulum. Dalam sistem pendidikan surau, kitab kuning baru dimulai pada abad ke-18 M. Bahkan, cukup realistik juga memperkirakan bahwa pengajaran Kitab Kuning secara massal dan permanen itu mulai terjadi pada pertengahan abad ke-l9 M ketika sejumlah ulama Nusantara, khususnya Jawa, kembali dari program belajarnya di Makkah.
Kitab Kuning tersebut seperti kibat-kitab karya Hamzah Fansuri, Syamsuddin Pasai, Syaikh Nur al-Din al-Raniri, dan Abdurrauf Singkil. Literatur yang paling terkenal mengenai amalan-amalan Syattariyah adalah sebuah karya guru asal Gujarat, Al-Tuhfah Al-Mursalah ila Ruh Al-Nabiyy (Hadiah yang Disampaikan ke pada Ruh Nabi). Selain kitab-kitab sufistik, juga dikenal beberapa Kitab Kuning yang lain misalnya, kitab fiqih yang berbicara tentang rukun Islam yang kelima; syahadat, shalat, puasa, haji, dan zakat yang berada dalam bidang ibadah, atau fiqih yang mengatur tingkah laku manusia terhadap Tuhan (Azra, 2003: 102-103). Kitab-kitab yang disebutkan ini tersedia baik berupa manuskrip maupun sudah berupa cetakan.
Biasanya naskah-naskah yang sudah dicetak itu juga ditulis ulang untuk digandakan oleh urang siak. Adapun tujuan penggandaan ini adalah untuk dimiliki dan setelah tamat menuntut ilmu di surau itu, hasil salinan ini akan dibawa pulang ke kampungnya. Oleh karena itu, wajar jika Yusuf dkk. (2004) dapat menemukan manuskrip yang menggunakan aksara Jawi cukup banyak di surau-surau di Minangkabau. Manuskrip tersebut sekarang kondisinya cukup memprihatinkan karena disimpan di tempat yang tidak represetatif. Di samping itu, kurang tahu dan mengertinya pemiliki naskah akan artefak yang berharga itu semakin membuat kondisi naskah-naskah itu semakin tidak terawat.
Di samping itu, juga banyak kitab-kitab yang berkenaan dengan hukum Islam (muamalat), seperti hukum warisan, hukum perkawinan, dan lain-lain. Kitab-kitab yang lain dan “mata pelajaran” yang memakai kitab itu di surau tarekat Syattariyah dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Pembagian Tingkat, Mata Pelajaran dan Nama
Kitab Kuning yang Dipakai dalam Pendidikan
Surau Tarekat Syattariyah
NO
MATA PELAJARAN
TINGKAT DAN NAMA KITAB
I
II
III
IV
V
VI
1.
Nahwu
Syarah lilmukhtasar
Azhari
Alqhatar
Alqhatar
Alkhudharil alawwal
Alkhudhari atstani
2.
Sharaf
Kailani
Kailani
Attaftazani
Attaftazani
Attaftazani
-
3.
Fiqih
Minhaj atthalibin (ibadat)
Minhaj atthalibin (bai’)
Minhaj atthalibin (bai’)
Minhaj atthalibin (nikah)
Minhaj atthalibin (nikah)
Minhaj atthalibin (jarah)
4.
Tafsir
Jalalain
(alawwal)
Jalalain
(alawwal)
Jalalain
(alawwal)
Jalalain
(Atstsani)
Jalalain
(Atstsani)
-
5.
Ushul
-
Waraqat
Lathaiful isyarah
Lathaiful isyarah
Lathaiful isyarah
-
6.
Mantiq
-
-
Idhahul mubham
Idhahul mubham
Alakhdhari
-
7.
Ma’ani
-
-
-
-
Jauharul maknun
-
8.
Bayan
-
-
-
-
-
Jauharul maknun
9.
Badi’
-
-
-
-
-
Jauharul maknun
10.
Tauhid
-
Kifayah alawam
Fathul majid
Fathul majid
-
-
11.
Tasauf
-
-
-
-
Syarah hikam
Syarah hikam
12.
Musthalah
-
-
-
Hidayatul bahits
Baiquniah
Baiquniah
Sumber: Nur Anas Jamil (1978: 19)
Semua kitab-kitab di atas ditulis dengan menggunakan aksara Arab dan sebagian kecil menggunakan aksara Jawi. Kitab-kitab itu tidak dapat dielakkan mempengaruhi pandangan dunia (world view) urang siak tentang Islam, baik tentang tarekat, pandangan sufi, maupun fiqih. Keberadaan Kitab Kuning seperti kitab-kitab itu merupakan sesuatu yang istimewa di kalangan tarekat Syattariyah karena ia adalah sumber rujukan, di dalamnya ada pedoman untuk beribadah dan sumber pengetahuan agama. Biasanya, karena dianggap penting, bagi urang siak yang ingin memiliki kitab tersebut, maka mereka akan menyalin kitab-kitab itu.
Dengan melihat pentingnya kedudukan Kitab Kuning bagi penganut tarekat Syattariyah tersebut, dapat dimengerti tujuan Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib menulis dengan aksara Jawi untuk mensejajarkannya dengan Kitab Kuning. Dengan ditulis dengan aksara Jawi, maka ada anggapan bahwa yang ditulisnya itu juga penting, sama pentingnya dengan Kitab Kuning.
Menarik juga dikemukakan di sini bahwa, beberapa narasumber yang diwawancarai terkait dengan pennggunaan aksara Jawi dalam naskah-naskah Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, diperoleh jawaban yang beragam. Kathik Kaba (55 tahun)[11], misalnya, mengatakan, “Naskah-naskah karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib itu asli, tidak diragukan lagi karena tidak menggunakan Latin”. Yang dimaksud oleh Kathik Kaba dengan ‘tidak menggunakan Latin’ berarti menggunakan aksara Jawi. Dengan menggunakan aksara Jawi, maka riwayat dan ajaran paham tarekat Syattariyah yang ditulis dianggap asli dan tidak ada keraguan ada padanya.
Pendapat narasumber yang lain seperti, Jaelani (62 tahun)[12], mengatakan bahwa,
“memang demikian, untuk menghormati beliau-beliau itu salah satunya, jika ingin menulis riwayatnya harus dengan huruf Arab (yang dimaksudkan adalah aksara Jawi—pen.). Sama kalau menuliskan Alkuran, tidak boleh menulisnya dengan menggunakan Latin, harus Arab, kalau tidak menggunakan aksara Arab ya hukumnya haram.’

Pendapat Jaelani di atas mengingatkan peneliti pada salah satu dari tiga puluh fatwa mazhab Syai’i yang terdapat dalam naskah Mizan al-Qalb. Salah satu fatwa tersebut adalah “menulis ayat Quran dengan huruf Latin hukumnya haram”(Amin, 1989: 136). Besar kemungkinan bahwa, penulisan riwayat syaikh dan ajarannya yang dainggap suci –seperti juga Alquran—diharamkan menggunakan aksara Latin. Yang jelas, penggunaan aksara Jawi telah menjadi praktik ideologi mereka, aksara Jawi dianggap aksara suci[13]. Oleh karena itu untuk menuliskan sejarah dan ajaran syaikh yang dianggap suci digunakan aksara suci juga, yaitu aksara Jawi.
Dalam konteks itu, tergambar bahwa salah satu yang melatarbelakngi lahirnya ideologi aksara Jawi adalah adanya kepercayaan kewajiban menghormati para syaikh atau guru. Menghormati guru berarti keberkahan dan menentang guru berarti katulahan ‘akan mendapat keburukan’. Dengan menulis sejarah guru atau syaikh, maka akan mendapat berkah dan keselamatan baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini dapat dilihat dalam kutipan berikut ini.
“...sudah jelas oleh kita bahwa Nabi kita Muhammad S.M menyuruh kita menghormati dan memuliakan ulama. Begitu pula ikan-ikan dalam laut, yang kesimpulannya penghuni langit dan bumi menghormati ulama. Tentu kita lebih menghormati ulama dari pada mereka. Mudah-mudahan dengan menulis sejarah beliau, Syaikh Paseban ini, maka saya termasuk orang yang dianjurkan Nabi tadi, yaitu orang yang menghormati dan memuliakan ulama dan mudah-mudahan Allah memberi berkat atas usaha saya. Amin amin ya rabbil ‘alamin. Saya yang menulis adalah salah seorang dari murid beliau yang bernama Haji Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib. Batang Kabung, Padang” (Amin, 2001: 12-13).

Ajaran guru adalah sesuatu yang benar dan tidak boleh dibantah. Jika ada golongan lain mengkritik ajaran guru, maka harus diluruskan. Berikut ini dapat dilihat gambaran tentang bantahan terhadap kritikan dari pihak luar.
“...dengan adanya ketiga buku sejarah ini dapatlah saudara-saudara yang menjadi pengikut dan pencinta Syaikh Abdurrauf dan Syaikh Burhanuddin mengetahui bagaimana beliau-beliau ini mengembangkan agama Islam dan dapat kejelasan apakah mazhab beliau, apakah bilangan yang beliau pakai untuk menentukan tanggal satu hari bulan Arab. Sebab, akhir-akhir ini banyak pula keluar di surat-surat kabar dan majalah-majalah yang memutarbalikkan sejarah beliau yang berdua ini yang jauh berbeda dengan yang dalam buku ini. Tidak surat-surat kabar dan majalah saja yang memutarbalikkan sejarah beliau-beliau ini. Tetapi juga guru-guru tarekat kampung memutarbalikkan pula sejarah Syaikh Abdurrauf dan sejarah Syaikh Burhanuddin, supaya tarekatnya diterima oleh orang kampung yang buta ilmu pengetahuan agama. Demikianlah supaya kita berhati-hati menerima sejarah dan menerima tarekat dari guru tarekat, jangan asal dimasuki saja” (Amin, 1936: 5).

Perlu dijelaskan di sini bahwa, yang dimaksud dengan “ketiga buku sejarah ini” dalam kutipan di atas oleh Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib adalah teks sejarah Syaikh Abdurrauf, Syaikh Burhanuddin, dan Syaikh Surau Baru. Penulisnya mengharapkan bahwa dengan adanya ketiga sejarah syaikh tersebut, maka pengikut tarekat Syattariyah akan memahami bagaimana ketiganya beramal ibadah, bagaimana mereka menentukan awal bulan Arab, dan seterusnya.
Oleh karena suatu paham tidak sesuai atau berlainan dengan fatwa guru yang diterimanya, maka tidak boleh mengikut paham tersebut, paham gurulah yang benar. Misalnya, sebagian besar pengikut tarekat Syattariyah tidak akan sholat Jumat apabila khutbah dilaksanakan tidak menggunakan bahasa Arab. Mereka tidak akan ikut sholat tarawih di bulan Ramadan, jika sholatnya dilakukan sebanyak sebelas rakaat, karena menurut fatwa gurunya yang benar adalah mengerjakan sholat tarawih itu dua puluh tiga rakaat. Untuk menentukan awal bulan Ramadhan dilakukan dengan ru’yah (melihat bulan) terlebih dahulu, walaupun pemerintah telah mengumumkan awal memasuki puasa Ramadan[14].
Menghormati guru juga diyakini berimplikasi terhadap cepatnya pemahaman ilmu yang diajarkan oleh sang guru. Jika patuh dan hormat terhadap guru, maka pemahaman ilmu akan datang dengan tidak disangka-sangka. Dalam teks sejarah Syaikh Abdurrauf Singkil misalnya, dikisahkan tentang bagaimana bentuk penghormatannya kepada gurunya, Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, seperti berikuit ini.
“...tetapi pelajaran [bang] yang [berikan] diberikan oleh Syaikh Ahmad Qusyasyi hanya surat al-Baqarah saja, tidak birasak-birasak sekedar lamanya. Artinya itu-itu saja pelajaran yang diberikan oleh Syaikh Ahmad al-Qusyasyi hingga sampai kepada masa akan kembali pulang. Namun, begitu hati beliau terhadap guru tidak menaruh bosan dan berkecil hati. Malahan beliau terima hal yang demikian dengan hati yang ikhlas dan bertawakal kepada Allah Subhanahu Wata’ala. Beliau tetap hormat dan khidmat serta patuh terhadap guru beliau. Selain menuntut ilmu juga kerja beliau Syaikh Abdurrauf di Madinah adalah mengembalakan unta Tuan Syaikh Ahmad al-Qusyasyi tiap-tiap hari. Tambahan lagi, sebagai mengkhidmati guru beliau tetap mendukung guru dari tempat tinggalnya kepada tempat dia mengajar ilmu di Masjid Nabawi. Begitulah kerja beliau Syaikh Abdurrauf tiap-tiap harinya, yaitu pagi-pagi didukung guru di hulu dari tempat tinggalnya ke tempat dia mengajar. Sudah itu terus pergi gembala unta ke tengah padang. Begitu pula petang-petangnya setelah memasukkan unta ke kandanganya maka pergi pula menjemput guru ke mesjid, di dukung pula ke tempat tinggal beliau. Sangat patuh dan sangat hormat kepada guru apa yang diperintahkannya oleh guru tidak pernah membantah dan waktu bersalam mencium tangan guru” (Amin, 1936:8-9).

Dalam teks sejarah Syaikh Burhanuddin juga dikisahkan tentang bentuk penghormatan yang dilakukan kepada gurunya, Syaikh Abdurrauf Singkil, seperti berikut ini.
“Adapun kaji yang diberikan yang diberikan oleh Syaikh Abdurrauf kepada Burhanuddin adalah surat al-Fatihah saja tidak berasak-asak sekedar lamanya. Adapun adab dan tertib Burhanuddin kepada gurunya Syaikh Abdurrauf di dalam menuntut ilmu tidak ada ubahnya seperti adab dan tertib Syaikh Abdurrauf pula terhadap gurunya, Syaikh Ahmad al-Qusyasyi, yaitu mendukung guru dari tempat tinggalnya ke tempat mengajar, yaitu di masjid. Selain mendukung guru juga Burhanuddin menggembalakan ternak Syaikh Abdurrauf, yaitu kambing tiap-tiap hari, dan lagi menggali tebat (kolam) ikan di sekeliling masjid. Begitulah kerja Burhanuddin selama menuntut ilmu di Aceh dalam masa tiga puluh tahun...” (Amin, 1992: 20-21).

Kedua kutipan di atas, menggambarkan sekaligus mendorong kepatuhan murid kepada guru. Kepatuhan itu akan membawa berkah, sehingga pelajaran diperoleh dengan mudah dan sempurna. Di samping itu, kedua kutipan tersebut juga berpesan kepada pembacanya bahwa sebuah ilmu tidaklah diperoleh dengan mudah. Ia harus diperoleh dengan perjuangan yang sungguh-sungguh tidak kenal menyerah. Amanat “tidak kenal menyerah” itu senantiasa terwaris dari guru yang satu ke guru berikutnya.
Teks-teks yang terkandung dalam naskah-naskah karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, banyak sedikitnya memperlihatkan pandangan tentang hubungan guru-murid yang secara eksplisit mengarahkan agar para murid dan pengikut tarekat Syattariyah merasa (ataupun diwajibkan) mengenal riwayat syaikh yang menjadi gurunya atau guru dari gurunya. Bagi para penganut tarekat Syattariyah, mengetahui riwayat guru adalah sebuah keharusan karena itu bermakna penghormatan kepada guru, adab kepada guru, untuk kemudian menjadi suri teladan bagi kehidupannya. Oleh karena itu orang berusaha untuk memiliki, membaca ataupun mendengar orang membacakan riwayat gurunya, memuliakan guru agar mendapat syafaatnya (limpahan rahmat), agar ilmu yang didapat beroleh berkah.
Hal itu didukung oleh beberapa hasil wawancara yang penulis lakukan kepada narasumber berkaitan dengan fenomena di atas. Semua narasumber yang peneliti wawancarai mengatakan bahwa mereka dan banyak orang selain mereka menginginkan untuk mememiliki naskah-naskah karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib. Meskipun tidak dibaca, tetapi naskah-naskah penting untuk dimiliki untuk menjadi pegangan. Dalam hal ini menarik untuk melihat kutipan wawancara dengan Yusuf (30 tahun)[15] berikut ini.
“Banyak di antara kami yang langsung meminta kitab sejarah para guru kami dan ajarannya kepada Buya Manaf (Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib- pen.), tetapi ada juga yang mempotokopikan dari orang atau teman yang sudah memiliki kitab itu sebelumnya. Saya tidak pernah membaca, tapi saya tahu riwayat baliau-baliau itu karena setiap pengajian dibacakan oleh Buya Manaf. Kitab-kitab yang saya miliki saya simpan di rumah, untuk pedoman bagaimana seharusnya beribadah.”

Ada dua hal yang penting dua hal yang penting untuk dijelaskan dari kutipan wawancara di atas. Pertama, naskah atau yang disebut “kitab” tersebut tidak dibaca melainkan dibacakan, dan mengetahui isinya karena dibacakan. Hal ini terkait dengan keberaksaraan dan kebrlisanan dalam masyarakat Minangkabau (baca: Melayu) yang memiliki tradisi lisan yang kuat. Dalam konteks ini menarik untuk meyimak pendapat Amin Sweeney (1980) bahwa, pada tradisi tulis di Melayu sudah berkembang, tradisi ini belum atau tidak memiliki reading public. Tetap saja, di dalam masyarakat yang sudah mengenal tulisan masih didapat masyarakat yang listening public. Lebih jauh, Sweeney mengaitkan dengan pengertian baca di dalam bahasa Melayu dan bahasa Indonesia, yaitu to read aloud, to recite (membaca keras-keras, membacakan), sedangkan untuk membaca buat diri sendiri dipakai kata-kata membaca di dalam hati. Dengan pengertian seperti ini, dapat dicontohkan seperti tradisi bakaba di Minangkabau (membaca cerita untuk audience-nya), di Bali terdapat mabasan atau makakawin, yaitu membacakan kakawin dalam bahasa Jawa Kuna dari lontar yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Bali (lihat Yusuf, 1994 dan Baroroh Baried, 1994).
Kedua, buku atau “kitab” itu dimiliki untuk dijadikan pedoman: pedoman bagiamana para syaikh tarekat Syattariyah itu beramal ibadah. Dengan demikian naskah-naskah karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib juga memberi ilmu pengetahuan kepada pembacanya, bahkan dapat berfungsi sebagai buku penuntun atau pedoman. Hal ini karena di dalamnya terdapat penjelasan keadaan sosial masyarakat Minangkabau sebelum Islam kukuh di daerah ini, adab berguru, adab kepada guru, akibat bila durhaka kepada guru, syarat belajar tarekat, syarat bai’ah, upacara bai’ah, tatacara wirid sesudah sembahyang, ziarah, dan bagaimana cara menentukan awal memasuki bulan Ramadan.
Pengetahuan yang diperoleh dari naskah itu menghubungkan pembacanya dengan pengetahuan lain di luarnya, baik tentang tarekat, tentang ulama di Minangkabau, tentang sejarah perkembangan Islam baik di Minangkabau maupun daerah lain, misalnya Mekah dan Madinah. Dan yang penting pula tentulah pengetahuan tentang silsilah para syaikh tarekat Syattariyah. Ini penting karena di dalam zikirnya mereka diajarkan untuk mewiridkan membaca al-Fatihah tiga kali, yang ketiga untuk para syaikh.
Dari uraian di atas jelas bahwa guru menjadi sentral dalam pembentukan ideologi penganut tarekat Syattariyah. Secara sederhana juga dapat dikatakan bahwa, dari kewajiban yang harus dipatuhi oleh seorang murid terhadap gurunya terlihat bahwa guru memiliki otoritas yang sangat besar terhadap murid-muridnya. Seorang guru melalui prosesi bai’ah yang sudah dilakukan sebelumnya, sebagai sumpah setia murid kepada gurunya, dapat memperlakukan muridnya sesuai dengan aturan yang ditetapkan. Perintah dan larangan guru bersifat mutlak dan mengikat. Sebaliknya, murid secara sukarela harus menerima dan mematuhi segala bentuk aturan yang telah ditetapkan guru kepadanya. Murid tidak boleh banyak mempertanyakan tentang “mengapa” dan “apa sebabnya”, apalagi membantah guru. Oleh karena itu, di kalangan Syattariyah berlaku ungkapan bahwa”seorang murid di hadapan guru ibarat sesosok mayat di tangan orang yang memandikannya” (Samad, 2003: 147-148).
Selain itu, penghormatan dan penghargaan terhadap guru, dalam pengajian tarekat Syattariyah dilakukan atas dasar pandangan bahwa guru adalah orang yang suci dan dekat kepada Allah. Bahkan penghormatan yang demikian masih terus berlangsung meskipun guru yang bersangkutan telah meninggal dunia. Dalam pandangan mereka roh guru yang sudah meninggal masih dapat memberikan pertolongan kepada murid-muridnya. Karena itu, mereka selalu berziarah mengunjungi makam untuk mendapatkan berkah sekaligus sebagai bukti kesetiaan terhadap guru tersebut.
Sebaliknya, kedurhakaan terhadap guru akan menimbulkan malapetaka bagi murid-murid. Kedurhakaan terhadap guru akan berakibat luas terhadap kehidupan murid, baik secara duniawi maupun setelah ia meninggal. Setidaknya menurut keyakinan mereka, ada tiga hal yang akan terjadi bagi seorang murid yang durhaka kepada gurunya, yaitu: 1) Allah akan menyepitkan rejekinya di dunia; 2) Allah akan mencabut berkat ilmu yang telah dipelajarinya dari sang guru; 3) Tatkala jiwa akan berpisah dengan badan (meninggal), Allah akan mencabut iman yang ada di dada murid, sehingga dia mati dalam keadaan tidak beriman (Amin, 1992: 30).
Penutup
Ideologi merupakan cara-cara di mana ritual-ritual dan kebiasaan-kebiasaan tertentu menghasilkan akibat-akibat yang mengikat dan melekatkan kita pada tatanan sosial. Dengan pandangan ini, dapat disebutkan bahwa kebertahanan tradisi pernaskahan yang meliputi penulisan, penyalinan dan dinamika penggunaan naskah oleh penganut tarekat Syattariyah di Minangkabau merupakan contoh praktik ideologi. Secara khusus, ideologi tertanam karena adanya kepercayaan bahwa aksara Jawi adalah aksara suci.
Ideologi aksara Jawi lahir dari kepercayaan akan kewajiban menghormati syaikh atau guru di kalangan penganut tarekat Syattariyah di Minangkabau. Syaikh dianggap orang yang suci dan untuk menuliskan sejarah berikut ajarannya harus menggunakan aksara yang suci pula, yakni dengan aksara Jawi. Bentuk penghormatan kepada guru inilah yang mendorong penggunaan aksara Jawi terus bertahan di Minangkabau. Hal ini berimplikasi juga terhadap bertahannya penggunaan Bahasa Melayu dalam tradisi pernaskahan di daerah tersebut.

DAFTAR KEPUSTKAAN

Amin, Imam Maulana Abdul Manaf. 1936. Inilah Sejarah Ringkas Auliyaullah al-Salihin Syaikh Burhanuddin Ulakan yang Mengembangkan Agama Islam di Daerah Minangkabau. naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat.

----------------------------------------------. 1989. Risalah Mizan al-Qalb. naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat.

-----------------------------------------------. 2001. Sejarah Ringkas Syaikh Paseban al-Syatari Rahimahulallahu Taala. naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat.

---------------------------------------------. 2002. Kitab Riwayat Hidup Imam Maulana Abdul Manaf Amin. naskah tulisan tangan koleksi Imam Maulana Abdul Manaf Amin, Batang Kabung, Koto Tangah, Padang Sumatra Barat

Azra, Azyumardi. 2003. Surau: Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modernisasi. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.

Baried, Baroroh, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Jorjakarta : BPPF.

Chambert-Loir, Henri & Fathurahman, Oman. 1999. Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, kerja sama dengan EFEO.

Ikram, Achadiati. 1997. Filologia Nusantara. disunting oleh Titik Pudjiastuti dkk.. Jakarta: Pustaka Jaya.

Jamil, Nur Anas. 1978. “Tarekat Syattariah di Sumatera Barat” Laporan Penelitian pada Fakultas Keguruan Seni IKIP Padang.

Kozok, Uli. 1999. Warisan Leluhur: Naskah Lama dan Aksara Batak. Jakarta : Kepustakaan Populer Gramedia & Ecole Francaise d’Extreme-orient.

Mulyadi, Sri Wulan Rujiati. 1994. “Kodikologi Melayu di Indonesia”, Lembar Sastra, edisi khusus no. 24. Depok: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Pramono. 2005. “Tradisi Intelektual Keislaman Minangkabau: Kajian Teks dan Konteks Terhadap Karya-Karya Imam Maulana Abdul Manaf Amin Al-Khatib”. Makalah. Seminar Filologi di Wisma Ciloto, Jawa Barat, Tanggal 24-26 Januari 2005.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. “Peran Aksara dalam Perubahan Budaya Global: Menyimak Nilai-Nilai Kelisanan dan Keberaksaraan”. Dalam: Suastika, I Made dan Ratna, I Nyoman Kutha (editor). Keberaksaraan dalam Kebudayaan. Denpasar : Program Studi Magister (S2) dan Program Doktor (S3) Kajian Budaya Universitas Udayana. Hlm. 129-154.

Samad, Duski. 2003. “Tradisionalisme Islam di Tengah Modernisme: Kajian Tentang Kontinuitas, Perubahan, dan Dinamika Tarekat di Minangkabau” (disertasi). Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah.
Suryadi. 2004. Syair Sunur: Teks dan Konteks Otobiografi Seorang Ulama Minangkabau Abad Ke-19. Padang : Citra Budaya.
Sweeney, Amin. 1980. “Authors and Audience in Traditional Malay Literature”. Dalam Monograph Series No. 20. Berkeley : University of California Press.

Yusuf, M dkk. 2004. “Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau. Laporan Penelitian Kelompok Kajian Puitika Fakultas Sastra Unand.

Zuriati. 2003. Undang-Undang Minangkabau, Pengaruh Tasawuf dan Dinamika Hukum Adat di Bawah Pengaruh Hukum Islam (Syarak), (Suntingan Teks dan Analisis Isi). Tesis pada Program Pascasarjana Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia). Jakarta : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI.
[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Minangkabau, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manih, Telepon 0751-71227, Fax. 0751-71227
[3]Beberapa jenis alas tersebut seperti bambu (di Cina), daun palma (di India dan Asia Tenggara), bahan linen, velum, sutera, perkamen, dan kertas (Iran dan beberapa negara Eropa) (Gaur, 1979:4-9 dalam Mulyadi, Kodikologi Melayu di Indonesia (Depok : Lembar Sastra Edisi Khusus FSUI, 1994), Hlm. 44.
[4]Gambaran lebih lengkap tentang keberadaan naskah-naskah Nusantara dalam berbagai bahasa, khususnya yang telah tersimpan di berbagai tempat penyimpanan naskah di seluruh dunia, lihat Chambert-Loir & Fathurahman, Khazanah Naskah: Panduan Koleksi Naskah Indonesia Sedunia, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, kerja sama dengan EFEO, 1999). Beberapa negara dipastikan memiliki koleksi naskah-naskah Nusantara, seperti Belanda, Inggris, Malaysia, Afrika Selatan, Sri Lanka, Jerman, Prancis, Rusia, dan di beberapa negara lain. Selain itu, tampaknya masih ada beberapa negara yang bisa diduga kuat —kendati masih harus dilakukan penelitian tersendiri untuk memastikannya— memiliki koleksi naskah Nusantara karena pernah mempunyai hubungan sejarah, seperti Cina, Portugal, India, dan Jepang. Sayangnya, upaya untuk menelusuri kemungkinan adanya naskah-naskah Nusantara di negara-negara tersebut belum dilakukan. Bahkan terhadap kemungkinan adanya naskah-naskah Nusantara di beberapa negara Arab, yang jelas memiliki hubungan sejarah dengan wilayah Nusantara pun, hingga kini belum dijajaki.
[5]Secara Sosiokultural, istilah Minangkabau mengacu kepada kebudayaan dan masyarakat yang berasal serta hidup di alam Minangkabau, yaitu sebagian besar wilayah Provinsi Sumatera Barat sekarang – tidak termasuk kepulauan Mentawai –serta Kampar, Teluk Kuantan, dan Rokan – di Provinsi Riau dan Kepulauan Riau. Secara lebih khusus, yang dimaksudkan dengan alam Minangkabau adalah luhak dan rantau. Luhak merupakan negeri asal yang terdiri dari tiga kawasan, yaitu Luhak Tanah Datar, Luhak Agam dan Luhak Lima Puluh Kota. Secara garis besar, ketiga wilayah yang yang dikenal dengan istilah Luhak Nan Tigo ini mengacu masing-masing ke daerah Kabupaten Tanah Datar, Kabupaten Agam dan Kabupaten Lima Puluh Kota. Selain Luhak Nan Tigo, sebagai negeri asal, dalam wilayah Minangkabau masih terdapat satu luhak lain, yaitu Kubung Tigo Baleh, suatu wilayah yang sekarang meliputi daerah Kabupaten Solok. Keempat wilayah inilah yang sampai sekarang dikenal oleh masyarakat Minangkabau sebagai darek. Istilah rantau mengacu ke daerah perluasan Luhak Nan Tigo yang mencakup rantau hilir (wilayah di sekitar selat Malaka), rantau pesisir (kawasan pantai barat Sumatra), dan rantau darat yaitu wilayah sekitar Pasaman.
[6]Tentang riwayat hidup Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib, juga dapat dilihat dalam naskah otobiografinya berjudul Kitab Riwayat Hidup Imam Maulana Abdul Manaf Amin, yang selesai ditulis pada 28 Syawwal 1423 H/9 Nopember 2002 di suraunya sendiri, yakni Surau Nurul Huda yang terletak di Batang Kabung, Koto Tangah Tabing, Padang.
[7]Katalogus-katalogus tersebut adalah: Ph. S van Ronkel (1908 A, 1908 B, 1909, 1913, 1912, 1946), katalogus Amir Sutarga dkk. (1972), serta katalogus yang diusahakan bersama oleh M.C. Ricklefs dan P Voorhoeve (1977), serta katalogus yang dikomplikasi oleh E.P. Wierenga (1998), dua katalogus yang tampaknya juga didasarkan kepada karya Ph. S van Ronkel.
[8]Yusuf, dkk., “Manuskrip dan Skriptorium Minangkabau”, (Laporan Penelitian Kelompok Kajian Puitika Fakultas Sastra Unand, 2004).
[9]Sebenarnya, secara historis, dikenal aksara asing dan aksara daerah. Yang termasuk aksara asing adalah aksara Arab, akasara Hieroglif, aksara Latin, aksara Dewanagari, aksara Cina dan aksara Jepang (Hiragana dan Katakana). Selain aksara asing tersebut juga ada aksara daerah yaitu di antaranya: aksara Jawa, aksara Sunda, aksara Bali, aksara Bugis, aksara Batak, aksara Lampung, aksara Rejang dan lain-lain (lihat Kridalaksana, 1982: xx; bandingkan dengan Baried, 1994).
[10]Wawancara pada 7 Agustus 2004 di Surau Nurul Huda, Batang Kabung, Koto Tangah, Padang.
[11]Wawancara pada 17 Januari 2007 di Batang Kabung, Koto Tangah, Padang.
[12]Wawancara pada 17 Januari 2007 di Batang Kabung, Koto Tangah, Padang.
[13]Menurut Pei (dalam Ratna, 2005: 146) banyak masyarakat yang meyakini bahwa sistem aksaranya berasal dari dewa-dewa. Masyarakat Sumeria percaya tulisannya diturunan oleh Dewa Nebo, dewa yang mengusai nasib manusia. Alfabet Sandekerta bernama Dewanagari, yang berarti tempat para dewa, aksara Mesir Kuno bernama Hieroglif, yang berarti tulisan pada batu-batu keramat yang diciptakan oleh Thoth, yaitu dewa kebijaksanaan. Masyarakat Maya percaya bahwa tulisannya diturunkan oleh Dewa Itzamna. Tulisan prasejarah Jepang disebut Kami no-moji yang berarti aksara dewa.
[14]Uraian secara panjang lebar tentang keharusan kaum tarekat Syattariyah untuk menjalankan ibadah sesuai dengan amal ibadah yang dilakukan oleh para syaikh terdahulu terdapat dalam naskah yang berjudul Risalah Mizan al-Qalb Untuk Bahan Pertimbangan Bagi Kaum Muslimin Buat Beramal Ibadah Kepada Allah, selesai ditulis 26 Desember 1989.
[15]Wawancara pada 12 Januari 2007 di Surau Paseban, Air Dingin, Kelurahan Balai Gadang, Kec. Koto Tangah, Padang. Yusuf adalah salah seorang pengganti Imam Maulana Abdul Manaf Amin al-Khatib untuk membacakan naskah-naskah karyanya di setiap pengajian di Surau Baru. Karena selama ini setiap minggunya Imam Maulana Abdul Manaf dijemput oleh warga setempat untuk memberikan pengajian.

Tidak ada komentar: