01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 7

Membaca Upacara Tabuik:
HINGGA MEMBINGKAI KESADARAN ETNISITAS DI PANTAI BARAT
SUMATERA BARAT[1]
Oleh: KHANIZAR[2]



ABSTRAK
Membaca budaya adalah “sesuatu” yang hidup, berkembang dan bergerak menuju titik ruang, waktu dan tempat dari kebudayaan yang bersifat dinamis dan dialektis. Kesenian bukan sekadar tumpukan acak dari fenomena, melainkan tertata rapi dan penuh makna, yang diperoleh melalui kontak sosio-kultural antar masyarakat, terbuka, dan pluralistik dalam wilayah kesadaran etnisitas. tabuik artinya peti atau keranda, yang dihiasi dengan bunga-bunga, kain berwarna-warni, kemudian dibawa berarak-arakan keliling kampung. Namun pengertian tabuik Pariaman adalah sebuah keranda yang diibaratkan sebagai usungan mayat dari jasad Husein Bin Ali Abi Thalib, dan keranda tersebut terbuat dari bambu, rotan, dan kayu, kemudian dihiasi dengan sembilan buah bunga, selanjutnya pada bagian bawah tabuik terdapat seekor kuda yang berkepalakan manusia, sedangkan pada bagian atas ada sebuah bunga besar yang disebut dengan puncak tabuik. Suku bangsa atau etnisitas adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis.
Key: Upacara Tabuik, kesadaran etnisitas, bacaan budaya

1. Pendahuluan

Selama hidup manusia selalu membaca baik yang tidak tertulis maupun yang tertulis, hingga berupaya untuk hadir dalam bacaan itu, hentah bagaimana pun untuk memahaminya suatu hal yang baru. Sejauh ini pengertian tentang membaca meliputi berbagai macam pemahaman dan mengikuti beberapa aliran pemikiran yang berkembang sepanjang sejarah, seperti rasionalisme, empirisme, fenomenologi, eksistensialisme maupun dekonstruksi dan sebagainya. Sesungguhnya kondisi ini hanyalah merupakan perbedaan interpretasi terhadap realitas dan fenomena-fenomena yang terjadi dalam ranah budaya, sehingga membaca itu perlu!
Membaca budaya secara subtansial atau khususnya kesenian—lebih ramping lagi pertunjukan upacara tabuik—merupakan hal yang kompleks dan rumit sehingga menarik. Domainnya; kelompok sosial masyarakat, seniman dan pelaku yang ada dalam ikatan norma atau asasnya. Hal ini sesuai dengan yang dimaksud Endraswara (2003) bahwa budaya adalah “sesuatu” yang hidup, berkembang dan bergerak menuju titik ruang, waktu dan tempat dari kebudayaan yang bersifat dinamis dan dialektis. Di sampaing itu, kesenian mengikuti karakteristik yang terintegrasi, lekat (inherent) pada bidang-bidang lain, dan tersusun rapi sehingga keterkaitan antar-unsur akan membentuk sebuah budaya. Kesenian bukan sekadar tumpukan acak dari fenomena, melainkan tertata rapi dan penuh makna, yang diperoleh melalui kontak sosio-kultural antar masyarakat, terbuka, dan pluralistik dalam wilayah kesadaran etnisitas.
Dalam tataran pemaknaan fenomena membaca sering dianggap mempunyai arti yang cukup kompleks. Hal ini tidak saja disebabkan istilah membaca merupakan kawasan dari bahasa, tetapi juga disebabkan berkaitan langsung dengan praktek tanda sosial dan kehidupan sehari-hari. Sebagai kawasan bahasa, membaca sebagai cara tertentu dalam memahami, dan berpikir yang berkaitan langsung dengan praktik bahasa. Sebagai satu bentuk praktik kesenian dalam ranah budaya, zaman, estetika, waktu, dan tempat. Membaca upacara tabuik merupakan sebagai cara penyusunan pengetahuan, praktik sosial, bentuk subjektivitas, dan relasi kekuasaan yang melekat di dalam pengetahuan tersebut serta hubungan di antara semuanya (Wedon dalam Piliang 2003b:115).
Dalam istilah membaca upacara tabuik dimaksud adalah cara tertentu dalam mengonsep dan bertindak terhadap objek-objek sosial, yang menimbulkan implikasi-implikasi pada subjek. Hal itu dimanifestakasikan dalam praktik sosial dan susunan (struktur) fisik serta dalam bentuk oral dan tindakan sebagai peningkatan solidaritas antar etnis di Pantai Barat Sumatera Barat dalam pertunjukan upacara tabuik. Misalnya, penggunaan tubuh, ruang atau objek, alih pengetahuan, dan penyampaian informasi. Oleh karena itu, membaca dipraktikkan di dalam masyarakat, zaman, waktu, dan latar belakang masyarakat yang berbeda, sehingga membentuk kesadaran antar etnis yang plural, dan berkembang.
Membaca upacara tabuik selanjutnya, merupakan seluruh dari rangkaian teks-teks pertunjukan secara totalitas dan komprehensif yang dianggap sebagai tindakan penuh makna. Tentu saja, membaca tersebut akan terbangun oleh kekuatan dan intensitas teks supaya dapat dibaca dan dipahami oleh orang lain. Dalam hal ini, Derrida menyebutnya kekuatan teks memperdayai pembaca. Selain Derrida, untuk membaca seni upacara tabuik akan dikaitkan dengan Ricoeur dalam Bleicher, (2003:350), bahwa tindakan penuh makna adalah sebuah teks, karena memuat nilai dan ideologi (tambahan penulis). Berdasarkan, Ricoeur bahwa seni pertunjukan—apa saja sebenarnya—memiliki rangkaian teks-teks yang berurutan sesuai dengan rangkaian peristiwa. Tentu saja, Ricoeur, dengan menggunakan petunjuk Max Weber, menyatakan bahwa tindakan penuh makna mencerminkan karakteristik sebuah teks, yakni dengan menghadirkan objektivasi-objektivasi makna yang terbuka terhadap investigasi ilmiah. Rocoeur menemukan bahwa di dalam analogi teks, tindakan-tindakan penuh makna dapat memiliki bentuk tertentu dalam pola-pola tindakan habitual karena di dalamnya makna dilepaskan dari peristiwa dan keinginan dari konsekuensi-konsekuensi tindakannya. Dengan demikian,“efek-efek yang tidak diinginkan” selalu diasosiasikan dengan tindakan sosial, dan aspek inilah yang disebut dengan “otonomi makna”. Selanjutnya, kekuatan otonomi makna adalah kemampuan untuk memaknai sebuah tindakan dalam menjelaskan kerangka konteks sosial sehingga dapat dicocokkan kembali dalam kondisi-kondisi sosial yang baru. Fenomena superstruktural ini pada akhirnya dilihat bukan hanya sebagai cerminan bagi relasi ekonomi, melainkan lebih sebagai sebuah pembukaan diri terhadap dunia baru dalam bentuk embrionik. Konsep “otonomi” ini menyediakan makna bagi tindakan-tindakan secara referensial terhadap teks-teks.

2. Upacara Tabuik
Khanizar (1995) menjelaskan bahwa kata tabuik berasal dari kata tabut, tetapi khusus untuk orang Pariaman menyebut tabuik karena pengaruh bahasa induk, yaitu bahasa Minangkabau. Dalam hal ini akhir konsonan t akan menjadi ik, seperti takut akan menjadi takuik, sebut akan menjadi sabuik, belut akan menjadi baluik, larut akan menjadi laruik, dan sebagainya.
Namun menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, bahwa tabuik atau tabut adalah sebuah peti mati yang dibuat dari anyaman bambu yang diberi kertas berwarna, kemudian dibawa berarak-arakan pada hari peringatan Hasan dan Husein tanggal 10 Muharram (Poerwadarminta, 1952:733). Selanjutnya, Muhammad Idrus Al Marbawi dalam Kamus Arab Melayu, menyatakan bahwa tabut berasal dari bahasa Arab yang artinya peti atau keranda (Al Marbawi, 1952:74. dalam Khanizar 1995:7). Menurut sumber Brosur Depparpostel Sumbar (1993-1994), tabut adalah peti kayu yang dilapisi dengan emas.
Dari beberapa sumber di atas yang berhubungan dengan tabuik atau tabot dapat diartikan bahwa tabuik atau tabot berasal dari bahasa Arab yaitu artinya peti atau keranda, yang dihiasi dengan bunga-bunga, kain berwarna-warni, kemudian dibawa berarak-arakan keliling kampung. Namun pengertian tabuik Pariaman adalah sebuah keranda yang diibaratkan sebagai usungan mayat dari jasad Husein Bin Ali Abi Thalib, dan keranda tersebut terbuat dari bambu, rotan, dan kayu, kemudian dihiasi dengan sembilan buah bunga, selanjutnya pada bagian bawah tabuik terdapat seekor kuda yang berkepalakan manusia, sedangkan pada bagian atas ada sebuah bunga besar yang disebut dengan puncak tabuik. Di samping itu peranan musik sangat penting untuk mengadirkan rasa musikal kepada penonton upacara.
Deskriptif upacara tabuik sebagai wacana budaya merupakan kristalisasi kaum Syi’ah dan sebagai alat untuk perantara ritual kepada roh Husein bin Ali Abi Thalib yang syahid di Padang Karbala. Ekplorasi praksisnya dimanifestasikan dengan menyakiti badan dan menyiksa diri, menusuk, memukul, menyembelih, bahkan memukul diri dan menangis meraung-raung sepanjang prosesi sambil diiringi dengan membaca do’a oleh pawangnya.
Bahkan setiap adanya pelaksanaan upacara tabuik selalu diiringi oleh perkelahian, antara kampung yang memiliki tabuik. Hal ini dikarenakan pengikut upacara seakan-akan merasa sudah berada di sebuah “tanah lapang” sebagai simbol Padang Karbala, tepatnya disebuah kota kecil di tempat tewasnya Imam Husain bin Ali Abi Thalib yang dibunuh oleh tentara Yazid bin Mu’awwiyah (Thabathaba’i, 1989:60). Akibat tidak terkendalikan diri dari sebagian peserta upacara, maka ada sebagian peserta sampai ketingkat tidak sadarkan diri (trance). Sedangkan batas antara penonton dengan peserta upacara hampir tidak ada, semua orang kelihatan berlari menuju tempat pembuangan tabuik ke laut. Pada saat peristiwa itu berlangsung, ada seseorang atau sekelompok orang-orang masuk ke dalam kelompok musik “tabuik lawan” dengan membuat keributan. Tujuannya adalah untuk membalas sakit hati dan melepaskan dendam kepada peserta yang ada pada kelompok musik tabuik tersebut, sehingga hal ini sering diakhiri dengan perkelahian antar kelompok peserta upacara tabuik. Prosesi seperti ini berakhir dengan sendirinya saat Azan Maghrib mengumandang dari corong-corong pengeras mesjid dan mushala-mushala di sekitar Pantai Pariaman. Anehnya selesai upacara dan setelah tabuik itu dibuang ke laut, permusuhan dan perkelahian tadi hilang dengan begitu saja. Semua pengikut upacara pulang dengan perasaan sedih. Dengan demikian, maka untuk kepentingan penelitian ini wacana upacara tabuik yang dimaksud adalah pelaksanaan upacara tabuik yang ada di Pariaman Sumatera Barat. Namun upacara tabuik lainnya kalau itu ada di daerah lain tidak disinggung dan tidak akan dijelaskan.
3. Sejarah Upacara Tabuik di Pariaman
Muhammad Naquib A-Attas (1972:20), memberi gambaran mengenai pandangan hidup masyarakat di daerah kepulauan Melayu Indonesia sebelum kedatangan paham ajaran Islam. Penduduk kepulauan pantai barat ini telah menganut agama Hindu dan Budha yang bercampur-aduk dengan agama anak nagari. Selanjutnya Al-Attas tidak menjelaskan bentuk dan praktek agama tersebut, tetapi kuat dugaan agama anak nagari yang dimaksud adalah suatu praktek keagamaan yang dipengaruhi oleh suatu sistem kepercayaan yang berdasarkan berbagai macam roh atau makhluk halus yang berada pada alam sekeliling tempat tinggal manusia. Hal ini berkaitan dengan emosi keagamaan yang menyebabkan manusia mempunyai sikap yang “serba religi”, eksistensinya secara subtansial merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia.
Tentang agama Hindu di Pariaman, Al-Attas, (1972) menyatakan juga bahwa masyarakat Melayu sebenarnya secara keseluruhan bukanlah populasi pemeluk agama Hindu, tetapi memang ada beberapa golongan yang mengetahui tentang agama tersebut, dan hal ini belum dapat dikatakan benar-benar paham pada subtansial ajaran agama tersebut. Prakteknya baru terbatas pada perkara-perkara yang berkaitan dengan keagungan dewa-dewa.
Sebenarnya masyarakat Pariaman sangat mempercayai agama anak nagari dan menempatkan roh-roh sebagai esensial dalam menjelaskan dunia dengan segala kebaikan serta keburukannya (Khanizar, 1995:45). Kepercayaan akan adanya roh-roh yang mendiami alam sekitar dalam kehidupan manusia itu menimbulkan niat berkomunikasi, dengan merangkai satu dua tindakan; misalnya berdoa, bersujud, bersaji, berkorban, menari dan menyanyi, bertapa dan bersemedi dengan menggunakan bermacam sarana dan peralatan, seperti tempat upacara, waktu, dana dan bentuk upacara. Eksistensial agama anak nagari di Pariaman merupakan langkah untuk mendekatkan diri kepada pencipta, yang dimafestakan melalui kesenian ataupun upacara.
Tentang agama Islam Sumatera Barat dan khususnya di Pariaman banyak menarik perhatian, Risalah Seminar Sejarah Melayu Masuknya Islam Ke Indonesia di Medan (1963) berkesimpulan sebagai berikut; agama Islam masuk pertama kali ke Indonesia abad pertama H atau sekitar abad VII dan VIII M langsung dari Arab. Kedua, bahwa daerah yang pertama kali didatangi adalah pesisir Sumatera, sedangkan raja pertama berada di daerah Aceh (Team Risalah Seminar di Aceh, 1963:265; dalam Khanizar 1995:51).
Naquib Al-Attas dalam Preliminary Statemant On a general Theory of the Islamization of the Malay in Indonesia Archipilago (1972:11), mengatakan bahwa abad VII aga Islam telah ada di pantai Barat Sumatera Barat. Hal ini dipertegas oleh Groenaveld dalam Uka (1986:12-13), menurutnya berita para pedagang tersebut berasal dari Kanton yang melarikan diri dan minta perlindungan raja Kedah, karena daerahnya diserang oleh kaisar China yang bernama Hit Sung. Pengusiran tersebut dilakukan dengan alasan bahwa persekongkolan dalam pemberontakan petani pada pemerintah kaisar tersebut.
Manggis (1985:50-51) memperkirakan kedatangan agama Islam di Sumatera Barat adalah tahun 670-730 Mesehi. agama Islam tersebut beraliran Suni tujuan kedatangannya berniaga dengan anak nagari. Perkiraan Manggis diperkuat oleh Muarif (1986:14), menurutnya pada tahun 674 M sudah ada perkampungan orang-orang muslim Arab di Pantai Barat Sumatera Barat tepatnya di Pariaman sekarang.
Persentuhan antara agama Islam tersebut dengan agama anak nagari ternyata mengarah kepada pengajian tarikat dan penyesuaian antara adat Minangkabau. Pahamnya ajaran ini tidak mengancam landasan utama paham sebelumnya, dan inti ajaranya memberi demensi baru sebagai pengganti unsur budaya masyarakat Pariaman. Sehingga Al-qur’an dan hadist menempati tempat yang tertinggi dalam kehidupan masyarakat. Maka berkaitan dengan konteks ini dinyatakan sumber adat Minangkabau tertua adalah adat basandikan syarak dan syarak basandikan kitabullah. Artinya dalam karena dalam pengertian selanjutnya tidak ada paradoks dan perbedaan pola kelakuan antara adat dan agama. Tentu saja hal itu berpengaruh dalam dinamika kehidupan masyarakat di Pariaman, sehingga tingkahlakunya merupakan refleksi dari kekuatan antara adat dan agama.
Bersamaan dengan pembauran antara adat dan agama Islam Suni di Pariaman. Di pihak lain tentang kerajaan Rajendra Kola yang berdomisili di India Muka, menyerang kekuasaan maritim Sriwijaya/Palembang pada abad X Mesehi. Misi penyerangan terhadap kekuasaan Sriwijaya ini adalah penyebaran agama Islam baru dari sebelumya. Sehingga kerajaan Kuntu di Lembah Sungai Kampar bekas jajahan Sriwijaya menerima ajaran paham Islam baru tersebut. Ternyata ajaran Islam baru tersebut adalah ajaran Islam Syi'ah, hal ini dibuktikan dengan didapatkan pandam perkuburan penganut Syi'ah di sini. Diantaranya yang dapat dibaca ada nama empat orang raja, yang selama 40 (empat puluh) tahun memerintah di daerah tersebut. Nama raja tersebut adalah Sultan Said Perkasa Alam, Sultan Rasyid Karim Perkasa Alam, Sultan Ibrahim Saleh Perkasa Alam dan Sultan Djohan Perkasa Alam, keempat raja ini menurut Manggis adalah satu keturunan (Manggis, 1985:51-52). Sama halnya dengan Manggis, Housein Azmi (1965:181) mengatakan; bahwa pendatang Islam Syi'ah yang baru datang tersebut, menetap di daerah Siak dan daerah ini masih masih dalam wilayah kerajaan Kuntu di Minangkabau Timur. Selanjut kelompok ini mendirikan perkampungan yang dikenal dengan nama “Siak”, kemudian berkembang Siak Indrapura.
Perkembangan Islam Syi'ah di Siak Indrapura, mempengaruhi Minangkabau pesisir. Hal ini disebabkan oleh perdagangan antar daerah pada pelabuhan Tiku sebagai pelabuhan besar saat itu. Asimilasi perdagangan menawarkan bentuk ajaran agama Islam yang dibawanya, sehingga masyarakat Pariaman tertarik dan setuju dengan bentuk ajaran baru itu, dan Islam baru yang dimaksud adalah Islam Syi'ah yang dibawa oleh para pedagang melalui daerah Siak Indrapura (Manggis,1985:54).
Eksistensi ajaran agama Islam Syi'ah yang masuk pada perkisaran abad X Mesehi ini langsung dapat tanggapan oleh masyarakat dan bersatu dengan keseluruhan agama yang ada sebelumnya. Persentuhan dari ajaran-ajaran tersebut menimbulkan penyesuaian antara adat dan agama, yang intinya muncullah golongan-golongan sosial di Pariaman; golongan sidi, golongan bagindo, golongan sutan dan golongan marah. Kesemua golongan tersebut saling berhubungan dalam kesetiaan dan kepatuhannya pada pemimpin dan rasa memiliki leluhur yang sama.
Berkaitan dengan uraian di atas, maka jelaslah bahwa ide-ide ajaran adat dan agama di Pariaman dapat mengangkat taraf hidup masyarakat menjadi kehidupan yang sempurna lahir dan bathin. Di samping itu perpaduan antara adat dan syarak di Minangkabau dapat membinan serta mendidik masyarakat agar berkepribadian, berani berkorban untuk kepentingan kebenaran, keadilan serta beradab.
Beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa upacara tabuik di Pariaman adalah manifestasi dari bentuk ajaran agama Islam Syi'ah yang dibawa oleh para saudagar di Pariaman dan masuk melalui Minangkabau Timur pada abad X Mesehi. Upacara ini duhulunya ditampilkan untuk mengenang sahidnya Husein Bin Ali Abi Thalib cucu Nabi Muhammad SAW., kemudian di tawan oleh tentara Yazid bin Muawiyah di Padang karbala. Upacara ini dilaksanakan sekali dalam satu tahun, setiap tanggal 1 sampai dengan 10 Muharam dihitung berdasarkan tahun Hijiriah.

4. Pendukung Upacara Tabuik
Masyarakat Pariaman adalah masyarakat yang heterogen, berkembang dan majemuk. Artinya di daerah ini penduduknya tidak lagi membedakan etnis dan budaya masyarakat allogĕne (pendatang) yang hidup berdampingan dengan masyarakat indigĕne (pribumi). Di samping itu, sebagai penduduk yang heterogĕne, masyarakat Pariaman menyadari suatu kemajemukan budaya dan kepentingan sosial. Walaupun demikian dalam upacara tabuik di Pariaman semua komponen masyarakat sangat mendukung pelaksanaan upacara, tetapi sesuai dengan kepentingan upacara tabuik masyarakat pendatang menyadari dan menghormatinya. Begitu juga masyarakat pribumi tidak menyentuh keberadaan masyarakat pendatang dan hal tersebut masih dipelihara sampai sekarang.
Berkaitan dengan hal di atas, golongan masyarakat yang dimaksud di sini bukan sama dengan social stratification (stratifikasi sosial), yaitu sistem dalam masyarakat yang memiliki susunan kedudukan, golongan yang berlapis-lapis, baik dari tingkat tinggi, sampai ke tingkat rendah, berdasarkan atas ciri-ciri sosial ekonomi dan sosial budaya warga masyarakat tersebut. Tetapi semacam kelompok ataupun golongan masyarakat di Pariaman yang berbentuk gelar pemberian yang dilimpahkan dari pihak keluarga ayah ke anak laki-laki yang akan menikah. Dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi sebuah ukuran dari perempuan yang akan meminangnya. Di dalam upacara tabuik golongan masyarakat sangat menentukan posisi dan kedudukannya, sebab status golongan juga akan menentukan posisi seseorang dalam pelaksanaan upacara tabuik. Gazalba (1989:297). menyebut golongan masyarakat di Pariaman dengan istilah gala tungga (gelar tunggal).
Status golongan ataupun gelar akan terlihat berpengaruh dalam upacara tabuik di Pariaman, seperti golongan sidi akan menonjolkan diri dalam kegiatan upacara tabuik, karena gelar sidi dalam pelaksanaan upacara tabuik oleh masyarakat Pariaman dianggap sebagai golongan tertinggi. Bukan berarti golongan yang lain tidak berperanan dalam pelaksanaan upacara tabuik. Begitu juga pada situasi lain dan dalam kehidupan lainnya juga trjadi hubungan timbal balik antar golongan. Bubungan tersebut merupakan ikatan kesetian dan memperkokoh solidaritas dalam kehidupan bermasayarakat di Pariaman (Khanizar, 1995:32).

4.1 Saidina, Saidi, sidi
Sidi adalah golongan masyarakat yang kedudukannya lebih tinggi dari lapisan masyarakat Pariaman dalam pelaksanaan upacara tabuik. Hal ini menurut informan (Nasrul, 2004) golongan sidi berhubungan juga dengan hirarki hak dan kewajiban. Dada Meuraxa (1974) mengatakan, gelar sidi berasal dari berasal dari bahasa Arab, yaitu saidina. gelar ini merupakan gelar kalifah, yang dipakai pada awal nama “said” atau saidina oleh pemakai. Kemudian berubah menjadi saidi, di Pariaman sebutan itu berubah menjadi sidi (Meuraxa, 1974:458-459).
Dalam upacara tabuik seseorang yang dikatakan sidi akan lebih berkepentingan pada upacara tabuik, sebab menurut pengakuan ego Syi'ah bahwa keturunanya yang pantas meneruskan tradisi Hasan dan Husein Bin Ali Abi Thalib. Di samping itu, sudah merupakan pengakuan turun temurun bahwa yang dikatakan sidi lebih banyak menyumbangkan uangnya untuk membuat tabuik. Sebab, apabila tabuik suatu kelompok tabuik tempat berdiamnya sidi kalah bersaing atau kurang bagus dalam unjuk penampilan, maka tabuik tersebut akan dihina oleh pihak lawan, yang pertama kena sasaran adalah para golongan sidi.
Sesudah tabuik selesai dibuatpara masyarakat yang bergelar sidi mengadakan musyawarah lagi untuk mengumpulkan dana pada upacara puncaknya yaitu pada upacara oyak tabuik. Menjelang musyawarah para kelompok yang bergelar sidi mengundang para kelompok masyarakat yang bergelar bagindo yang ada di sekitar lingkungan daerah tabuik. Musyawarah mencari dana ini bagi masyarakat Pariaman disebut dengan istilah barantam. Barantam merupakan suatu kegiatan masyarakat Pariaman yang tujuannya mencari dana untuk membiayai kesuksesan upacara tabuik. Menurut Ediwar, salah seorang informan yang dekat dengan kehidupan masyarakat Pariaman mengatakan; barantam pada kelompok masyarakat di Pariaman merupakan suatu kegiatan rutin dalam upacara tabuik. Dalam kegiatan barantam dapat dilihat “nilai” seseorang sebagai ukuran pada masing-masing golongan. Sebagai contoh, seorang golongan sidi tidak pernah kalah jumlah sumbangannya oleh kelompok masyarakat lainnya seperti, bagindo, sutan dan marah. Bashkan golongan sidi dapat habis-habisan menyumbangkan materinya demi menjaga ‘harkat dan martabat’ gelar yang disandangnya. Timbulnya suasana barantam di Pariaman diakibatkan sikap masyarakat yang suka badunia.
Barantam sebagai movement dalam kegiatan dan rangkaian upacara tabuik di Pariaman merupakan, pengijawantahan dari kesinambungan estapet tradisi dan kebijaksanaan yang masih bertahan di dalam kehidupan sehari-hari. Pada upacara tabuik juga masyarakat dapat melakukan tujuan pokok agama Islam Syi'ah dalam bentuk mengidupkan kembali sebuah idealitas paham khalifah Husein Bin Ali Abi Thalib di Padang Karbala.
Sebagai seorang yang bergelar sidi, mempunyai otoritas seluas-luasnya untuk menentukan peserta upacara tabuik, sebagai orang sidi harus dapat “membaca” suasana dan kondisi selama upacara tabuik berlangsung. Sebab seluruh rangkaian dan tindakan upacara tabuik (teks upacara) sering terjadi perkelahian antar kelompok tabuik. Teks-teks tersebut merupakan imajinatif masyarakat dalam seakan-akan mengadakan pembalasan kepada tentara Yazid bi Muawwiyah sebagai tokoh pembunuh Husein Bin Ali Abi Thalib yang tidak berprikemanusian. Dalam perkelahian itu sering terjadi perang batu, adu kebal, pada suasana itu juga pawang, dukun, urang bagak berkesempatan memperlihatkan kepandaiannya di tengah-tengah keributan dan kekacauan situasi peserta upacara tabuik. Anehnya, selesai keributan situasi kembali seperti tidak ada terjadi apapun, antara peserta kembali saling mengenal dan walaupun di antara peserta ada yang terluka, dan terhempas karena terpukul batu dan benda keras lainnya.

4.2 Bagindo
Bagindo, menurut Navis (1984:164), merupakan keturunan raja dari bangs wan kerajaan Pagaruyung. Sedangkan, Meuraxa (1974:455) menegaskan bahwa Bagindo adalah keturunan raja-raja Melayu. Ternyata, Navis dan Meuraxa mengandung persamaan pendapat, namun jika dikaitkan dengan upacara tabuik di Pariaman golongan bagindo berstatus penyandang dana dalam pelaksanaan upacara tabuik.
Meskipun demikian, dalam kehidupan sehari-hari kedua golongan ini saling bertolak belakang. Golongan bagindo selalu berkepentingan dengan dagang dan ijon ikan, dan hasil kebun serta makelar tanah. Bahkan tidak mustahil para golongan bagindo dapat menghabiskan uangnya untuk biaya pembuatan tabuik. Di samping itu, demi gengsi seorang bagindo berani menyuap pekerja tabuik supaya anaknya dapat terlibat memainkan alat musik tabuik. Usaha seperti ini merupakan peningkatan status dalam kehidupan bermasyarakat di Pariaman. Seorang pemusik tabuik dalam upacara tabuik di Pariaman selalu menjadi bahan inceran oleh para gadis remaja di Pariaman, tentu saja uang japuik (uang jemputan) dan mas kawin akan jadi meningkat. Bahkan antar keluarga golongan sutan dan marah yang ingin “dialiri” darah bagindo, para ninik mamaknya tidak segan-segan menjemput dengan uang dan benda yang lebih tinggi nilainya (Meuraxa, 1974:457).Seorang tukang musik dalam upacara tabuik oleh masyarakat Pariaman dipandang sebagai simbol yang berperasaan tinggi, tabah, serta pandai membina anak dan kemenakan. Maka seorang anak dari golongan bagindo di Pariaman termasuk golongan elit di samping golongan sidi. Dalam menjalankan agama golongan sidi mempunyai peranan yang penting, sebab masalah agama, urang bagak (orang yang berani dan kebal) , ulama dan guru mengaji semua ditangini oleh golongan sidi. Sehingga golongan bagindo banyak terpengaruhi oleh pola kehidupan golongan sidi.

4.3 Sutan
Sutan merupakan golongan ketiga dalam stratifikasi sosial masyarakat Pariaman sesudah sidi dan bagindo. Kekuasaan golongan sutan terletak pada pengawasan dan kelancaran pemakaian adat oleh masyarakat. Seorang yang bergelar sutan di Pariaman secara tidak langsung mengerti dan sebagai sumber informasi tentang adat di Minangkabau khususnya Pariaman. Navis (1989:168) mengatakan bahwa sutan berasal dari daerah asal Minangkabau yaitu dari kerajaan Pagaruyung di Batu Sangkar. Golongan sutan adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kepentingan pada adat dan pamainan anak nagari. Dengan kata lain, pamainan anak nagari adalah masyarakat Minangkabau untuk menyebut berbagai macam bentuk seni pertunjukan tradisional, seperti; badendang (seni musik vokal), saluang dendang, pancak (seni tari yang mempergunakan gerakan silat), randai, bakaba (seni sastra dan musik) dan batabuik.
Golongan sutan mempunyai otoritas untuk menentukan baik dan buruk suatu pamainan anak nagari, karena konsep penilaian dilandasi dengan keputusan adat. Dalam pelaksanaan upacara tabuik di Pariaman golongan sutan berperanan sebagai keamanan, mulai dari proses pembuatan tabuik sampai pada prosesi oyak tabuik. Di samping itu golongan sutan dalam pelaksanaan upacara tabuik sebagai keamanan, kelompok ini juga berperanan sebagai urang bagak tangguh. Seorang sutan dalam kaumnya dididik oleh kerabatnya secara sembunyi-sembunyi dalam hal bela diri lahir dan bathin. Bukan hal asing lagi kalau seorang sutan pintar bela diri, tahan benda keras dan tidak mempan oleh benda tajam.
Di samping itu, seorang sutan dituntut intensitas kepekaan terhadap pemahaman tentang adat istiadat Minangkabau. Tindakan dan penampilannya yang tenang merupakan manisfestasi penguasaan diri yang halus dan sopan, diterima secara turun temurun dari bapaknya. Sebab seorang yang akan diangkat menerima gelar sutan pasti diajarkan tingkatan kemahiran penguasaan silat yang tinggi dari orang tua laki-lakinya atau guru yang telah dipercaya, dalam waktu yang relatif lama.
Selaras dengan upacara tabuik di Pariaman, golongan sutan mempunyai tugas untuk mengawasi proses pembuatan tabuik dan sekaligus memberi semangat “berkelahi” jika diganggu oleh kelompok tabuik lawan. Terkadang tanpa diduga pihak tabuik lawan menyerang tanpa pemberitahuan terlebih dahulu. Maka para sutan-lah yang memberi aba-aba, kalau disuruh menyerang akan terjadilah perkelahian dan perang batu, perang mulut, serta merusak lokasi rumah tabuik. Di sinilah terlihat peranan para golongan sutan yang selalu menegakkan hukum dan tradisi dengan jalan pemurnian adat dan agama. Sehingga hasilnya dapat menyatukan kembali unsur-unsur sosial masyarakat yang lalai terhadap adat dan agama, terutama sekali kawin sasuku (sesuku).

4.4 Marah
Marah adalah kelompok keempat dalam golongan masyarakat di Pariaman, sedangkan pada penduduk asli di kota Padang merupakan golongan bangsawan sebelum sutan (meuraxa, 1974: 459, Navis, 1984:132). Lebih lanjut Navis (1984) mengatakan marah berasal dari bahasa Aceh, yaitu meurah yang artinya raja kecil.
Pada pelaksanaan upacara tabuik di Pariaman, golongan marah memegang peranan sebagai tukang buek tabuik (tukang buat tabuik), tukang usung keranda tabuik, atau disebut juga sebagai pekerja tabuik. Di samping itu, para golongan marah sangat setia kepada golongan-golongan sidi, bagindo,dan sutan, kesetiaanya tercermin pada hasil kerjanya selama membuat tabuik selama 10 (sepuluh) hari berturut-turut dari tanggal 1 (satu) sampai 10 (sepuluh) Muharam. Bahkan selama 10 (sepuluh) hari tersebut dipergunakannya mengerjakan keranda tabuik di rumah tabuik dan selama proses pembuatan tabuik tersebut masyarakat percaya dapat penderitaan meringankan penderitaan Husein Bin Ali Abi Thalib menjelang terbunuhnya dalam perjalanan menuju Kufah, di Bukit Tigris tepatnya disebuah gurun Karbala. Di sinilah Imam Husein Bin Ali Abi Thalib disiksa oleh tentara Yazid bin Mu’awiyah dan kepala dipancung dan di kirm ke Ziyat Damaskus. (Thabataba’i, 1992:299). Peristiwa inilah yang menggelorakan semangat aliran Syi’ah di Pariaman untuk mengenang Imam Husein Bin Ali Abi Thalib, yang diungkapkan melalui rangkai teks-teks upacara tabuik sebagai upacara kaum Syi’ah di Pariaman.
Berkaitan dengan status dan golongan sosial masyarakat di Pariaman, kedudukannya tidalah sama dalam pelaksanaan upacara tabuik. Dalam hal ini, golongan sidi dan bagindo merupakan golongan terpenting dan juga dianggap sebagai tonggak penentu keberhasilan upacara tabuik di Pariaman, artinya tanpa dibantu oleh golongan bagindo, sutan dan marah upacara tabuik tersebut tidak akan berarti apa-apa, sebab masing-masing golongan ini saling berbutuhkait antara satu dengan yang lainnya. Begitu juga pola kehidupan agama Islam Syi'ah di Pariaman mengenal sistem golongan dalam menjalankan ritual agamanya.

Penutup: Kesadaran membingkai solidaritas Etnisitas
Suku bangsa atau etnisitas adalah suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya mengidentifikasikan dirinya dengan sesamanya, biasanya berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku pun ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas kelompok tersebut dan oleh kesamaan budaya, bahasa, agama, perilaku atau ciri-ciri biologis. Menurut pertemuan internasional tentang Tantangan-tantangan dalam Mengukur Dunia Etnis (1992), "Etnisitas adalah sebuah faktor fundamental dalam kehidupan manusia. Ini adalah sebuah gejala yang terkandung dalma pengalaman manusia" meskipun definisi ini seringkali mudah diubah-ubah. Yang lain, seperti antropolog Fredrik Barth dan Eric Wolf, menganggap etnisitas sebagai hasil interkasi, dan bukan sifat-sifat hakiki sebuah kelompok. Proses-proses yang melahirkan identifikasi seperti itu disebut etnogenesis. Secara keseluruhan, para anggota dari sebuah kelompok suku bangsa mengklaim kesinambungan budaya melintasi waktu, meskipun para sejarahwan dan antropolog telah mendokumentasikan bahwa banyak dari nilai-nilai, praktik-praktik, dan norma-norma yang dianggap menunjukkan kesinambungan dengan masa lalu itu pada dasarnya adalah temuan yang relatif baru.
Kapabilitas kesadaran dan pluralisme budaya adalah sebagai awal kehadiran kesadaran fluralitas mengacu pada pengertian bahwa segala golongan pendukung upacara tabuik sama derajatnya, artinya tidak ada lagi golongan tinggi dan golongan rendah sebab dikotomis. Konsep seni pertunjukan dalam budaya adalah merupakan perpanjangan tangan kesadaran fluralitas etnisitas. Maka, segala objek dalam upacara tabuik menawarkan keanekaragaman, stimulus, simulakra, kontiniuitas dan seterusnya. Paradigma oposisi biner memang realistis, sebab hukum alam menuntut hirerarki vertikal misal, atas-bawah, tinggi-rendah dan kuat-lemah; sedangkan hierarki horizontal misalnya, kanan-kiri, jauh dekat-dekat, dan timur-barat. Konsep seni dalam kajian budaya dapat juga realistis, sebab semua objek pada hakekatnya menyimpan potensi seni.

DAFTAR PUSTAKA

Althusser, Lois. 2005. Tentang Ideologi: Marxisme Struktural, Psikoanalisis, Cultural Studies. (Penerjemah Olsy Vinoli Arnof). Yogyakarta: Jalasutra.
Aminuddin, dkk. 2002. Analisis Wacana dari Linguistik Sampai Dekonstruksi. Yogyakarta: Kanal.
Asyhadie, Nuruddin. 2004. Hampiran Hamparan Gramatologi Derrida. Yogyakarta: LkiS.
Bastomi, Suwaji. 1988. Kebudayaan Apresiasi Seni Pendidikan Seni. Semarang: IKIP Semarang Press.
Bleicher, Josep. 2003. Hermeneutika Kontemporer Hermeneutik sebagai Metode, Filsafat, dan Kritik. (penerjemah Ahmad Norma Permata). Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
---------------- 2004a, Jejaring Tanda-Tanda Strukturalisme dan Semiotik dalam Kritik Kebudayaan. Magelang: Indonesiatera.
---------------- 2004b. Semiotika Visual. Yogyakarta: Pernerbit Buku Baik.
Crhistomy, Tommy. 2004. Indonesia Tanda yang Retak. Jakarta: Wedatama Widyasastra.
Eliade, Mircea. 2002. Sakral dan Profan Menyingkap Hakikat agama. (penerjemah Nuwanto) Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodelogi Penelitian Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Fidler, Roger. 2003. Mediamorfosis Memahami Media Baru (Mediamorfosis: Understanding New Media). (penerjemah Hartono Hadikusumo). Yogyakarta: Bentang Budaya.
Liliweri, Alo. 2001. Gatra-gatra Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Gazalba, Sidi. 1989. Islam dan Perubahan Sosial Budaya, Kajian islam tentang perubahan Masyarakat. Jakarta: Pustaka Al-husna.
Geertz, Clifford.1980. Tafsir Kebudayan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
------------------- 1998. After the fact. Yogyakarta: LKIS.
Halliday, M.A.K., dan Ruqaiya Hasan. Bahasa, Konteks, dan Teks Aspek-aspek bahasa Pandangan Semiotik sosial (Language, Context, and Tex: Aspects of Language in a Social-Semantic Perspective), (penerjemah Asruddin Barori Tou). Yagyakarta: Gajah Mada University Press.
Horkheimer, Max dan Theodor W. Adorno. Dialektika Pencerahan. (penerjemah Ahmad Sahidah). Yogyakarta: IRCiSoD.
Khanizar. 1995. “Musik Tabuik Dalam Upacara Tabuik Sebagai Upacara kaum Syi’ah di Pantai Barat Sumatra Barat” Skripsi sarjana. Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta.
----------------- 2004a. “Hamparan Jacques Derrida: Teori Postmodernisme dalam Wacana Seni pertunjukkan”. Dalam Mudra Jurnal Seni budaya. Vol. 15 No. 2 September 2004. UPT Penerbitan. Institut Seni Indonesia Denpasar.
----------------- 2004b. “Dekonstruksi Estetika Postmodernisme: Membaca Wacana Idealitas Estetis Upacara Tabuik di Pariaman Sumatera Barat”. Dalam Bheri Jurnal Ilmiah Musik Nusantara. Vol. 3 No. 1 September 2004.
Keraf, A. Sonny. 2002. Etika Lingkungan: Teori Etika, Etika Lingkungan dan Politik Lingkungan, dari Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kembali ke kearifan Tradisional. Jakarta: penerbit Buku Kompas.
Kirana, Nila. 2004. “Kota Pariaman”. Dalam Harian Kompas Jakarta, Kamis 8 April. Hal. 34.
Manggis, Rasyid, Dt. Rj. Penghulu. 1971. Minangkabau Sejarah Ringkas dan Adatnya. Padang: Sri Dharma.
Meuraxa, Dada. 1974. Sejarah Kebudayaan Melayu. Medan: Firma Hasmar.
Naquib, al-attas Syed Muhammad. 1989. Islam Dalam sejarah dan Kebudayaan Melayu. Bandung: Mizan.
Nasroen, M. 1971. Dasar Filsafat Minangkabau. Jakarta: Bulan Bintang.
Navis, A.A. 1984. Alam terkembang jadi Guru. Jakarta: Temprint.
Piliang, Yasraf Amir. 1999a. Hiper-realitas kebudayaan . Yogyakarta: LkiS.
-------------------------- 2003a. Hipersemiotika Tafsir Cultural Studies Atas Matinya Makna.Yogyakarta: Jalasutera.
-------------------------- 2003b. Hiper-Moralitas Mengadili Bayang-bayang. Yogyakarta: Penerbit Belukar.
--------------------------- 2004b. Posrealitas: Realitas Kebudayaan dalam Era Posmetafisika..Yogyakarta: Jalasutra.
--------------------------- 2004c. Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
Ricoeur, Paul. 2002. The Interpretation Theory: Filsafat Wacana Membelah Makna dalam Anatomi Bahasa. (penerjemah Musnur Hery). Yogyakarta: IRISoD.
Sachari, Agus. 2002. Estetika Makna, Simbol dan Daya. Bandung. Penerbit ITB.
Samad, Dusti. 2003. Syekh Burhanuddin dan Islamisasi Minangkabau: Syarak mendaki, Adat Menurun). Jakarta: The Minangkabau Foundation.
Santoso, Riyadi, 2003. Semiotika Sosial Pandangan Terhadap Bahasa. Surabaya: Pustaka Eureka.
Sumaryono, E., 1999. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. (edisi Revisi). Yogayakarta: Kanisius
Sunardi, ST. 2002. Semiotika Negativa. Yogyakarta: Kanal.
Sutrisno, S.J. Mudji. Crist Verhaak SJ. 1993. Estetika Filsafat Keindahan. Jakarta: Kanisius.
Sutrisno, S.J. Mudji. 1999. Kisi-kisi Estetika. Jakarta: Kanisius.
Thabathaba’i, Allamah M.H., 1989. Islam Syi'ah Asal Usul dan Perkembanganya. Jakarta: Temprint.
Yasin Owadally, Mohammad. 2003. Tabut, Peti Surga dan Kisah-kisah lainnya. (Tabut, the Heavenly Ark and Other Stories). (penerjemah Kustadi Suhandang). Bandung: Marja`.
[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Staff pengajar Fak.Sastra Jurusan Sastra Universitas Andalas Padang , Sekarang juga Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (YPKMI) Padang

Tidak ada komentar: