01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 13

SEBUKU DALAM KEBUDAYAAN GAYO[1]

SHAUMIWATY,SS.,M.Hum [2]

Abstrak
Kebudayaan adalah sistem yang mengatur interaksi manusia dalam masyarakat, maka kabahasaan adalah berfungsi sebagai sarana berlangsungnya kebudayaan itu. Sebagaimana budaya sebuku pada masyarakat Gayo. Sebuku merupakan budaya meratap pada masyarakat Gayo. Melalui budaya sebuku disampaikan pesan yang berupa symbol-simbol kebahasaan.


1. Pendahuluan
Ada berbagai teori mengenai hubungan bahasa dan kebudayaan. Ada yang mengatakan bahasa itu merupakan bagian dari kebudayaan, tetapi ada pula yang mengatakan bahwa bahasa dan kebudayaan merupakan dua hal yang berbeda, namun mempunyai hubungan yang sangat erat, sehingga tidak dapat dipisahkan. Ada yang mengatakan bahwa bahasa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan, sehingga segala hal yang ada dalam kebudayaan akan tercermin di bahasa. Sebaliknya, ada juga yang mengatakan bahwa bahasa sangat mempengaruhi kebudayaan, dan cara berfikir manusia atau masyarakat penuturnya.
Nababan mengelompokkan defenisi kebudayaan atas empat golongan, yakni (1) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai pegatur dan pengikat masyarakat; (2) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai hal yang diperoleh manusia melalui belajar atau pendidikan (nurture); (3) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai kebiasaan dan perilaku manusia, dan (4) defenisi yang melihat kebudayaan sebagai sistem komunikasi yang dipakai masyarakat untuk memperoleh kerjasama, kesatuan, dan kelangsungan hidup masyarakat manusia.
Itulah sebabnya Nababan (1984:49) secara gamblang menyatakan bahwa kebudayaan adalah sistem aturan-aturan komunikasi dan interaksi yang memungkinkan suatu masyarakat terjadi, terpelihara, dan dilestarikan. Defenisi yang dibuat nababan ini tentunya tidak salah, sebab sistem atau aturan-aturan komunikasi itu memang bagian dari kebudayaan; tetapi kebudayaan itu bukan hanya sistem komunikasi saja, melainkan menyangkut juga masalah-masalah lain, minimal termasuk tiga golongan defenisi yang dikemukakannya diatas. Jadi, termasuk aturan atau hukum yang berlaku dalam masyarakat (defenisi-defenisi golongan) (1), hasil-hasil pendidikan (defenisi-defenisi golongan) (2), dan kebiasaan dan perilaku (defenisi-defenisi golongan) (3). Dengan kata lain, kebudayaan itu adalah segala hal yang menyangkut kehidupan manusia termasuk atauran atau hukum yang berlaku dalam masyarakat, hasil-hasil yang di buat manusia, kebiasaan dan tradisi yang biasa dilakukan, dan termasuk juga alat interaksi atau komunikasi yang digunakan, yakni bahasa dan alat-alat komunikasi nonverbal lainnya.
Koentjaraningrat (1992) mengatakan bahwa kebudayaan itu hanya dimiliki manusia, dan tumbuh bersama dengan berkembangnya yang “melekat” pada manusia. Kalau kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan kata lain, hubungan yang erat itu berlaku sebagai : kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu.
Demikian juga halnya yang terjadi dengan budaya perkawinan pada masyarakat Gayo. Masyarakat Gayo sangat terikat dengan kehidupan adat- istiadat. Dapat dikatakan kebudayaan yang mengatur interaksi masyarakatnya. Sebagaimana yang telah diatur pula dalam budaya perkawinan. Dahulu dalam budaya perkawinan suku Gayo ada satu istilah yang disebut dengan “sebuku”. Sebuku ini merupakan budaya yang telah turun-temurun digunakan oleh masyarakt Gayo. Dalam istilah bahasa Indonesia sebuku ini dapat disamakan dengan ratapan.bersebuku artinya meratap, atau lebih jelasnya menangis dengan dengan ratapan dalam menggungkapkan rasa haru. Sebuku itu sendiri pada budaya Gayo terbagi ke dalam beberapa bagian tergantung situasi pemakaiannya. Dalam tulisan ini yang menjadi focus adalah “sebuku anak juelen” artinya dalam perkawinan budaya Gayo ketika orang tua akan melepaskan anak gadisnya yang telah dinikahkan untuk pergi ikut dengan suami. Pada saat anaknya itu akan berangkat maka anak akan di lepas oleh orang tuanya dengan sebuku. Dimana kata-kata yang digunakan di dalam sebuku tersebut dapat berupa pesan atau nasehat. Demikian pula dengan si anak akan memberi balasan juga terhadap sebuku dari orang tuanya. Namun kini seiring dengan perkembanag zaman maka budaya sebuku ini sepertinya sudah mulai ditinggal. Bahkan sama sekali tidak ditemukan lagi. Kalaupun kita melihat atau mendengar tentang sebuku itu ketika diadakan suatu perlombaan. Oleh pelaksananya yang merupakan pemerhati budaya dianggap sebagai salah satu upaya untuk menggali nilai-nilai budaya yang telah mulai hilang. Jadi, jika dipertanyakan apa yang sudah pernah dikaji tentang sebuku secara khusus belum ada. Kalaupun ada hanya sebatas bentuk sebuku, yang tujuannya hanya sekedar menunjukkan bahwa dalam budaya Gayo dahulu pernah ada yang namanya sebuku, maka beginalah kalimat-kalimat yang di pakai dalam sebuku tersebut. Namun upaya untuk mengkaji lebih dalam sampai saat ini belum pernah ada di lakukan.
b. Masalah dan Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang perlu diteliti adalah sebagai berikut:
Bagaimanakah bahasa menggambarkan kesaling hubungan antara bahasa dan kebudayaan tersebut ?
c. Tujuan
Sesuai dengan permasalahannya, bahasan ini bertujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bahasa yang menggambarkan kesaling hubungan antara bahasa dan kebudayaan di dalam “sebuku”.
d. Manfaat
Tulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai:
1. Sebagai pemerkaya kajian Linguistik di nusantara
2. Sebagai upaya pelestarian buadaya yang hampir punah.

e. Prosedur pembahasan
Dalam menganalisa tulisan ini langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut:
Penulis mencoba menggambarkan dan menganalisa data dibarengi dengan interpretasi terhadap data tersebut.
Data yang diperlukan adalah teks “sebuku” berupa kalimat-kalimat yang mengambarkan kesaling berhubungan bahasa dengan kebudayaan . Sedangkan sumber data meliputi sumber data tertulis dan lisan. Sumber tertulis berasal dari teks yang diambil dari buku bacaan tentang adat istiadat masyarakat Gayo. Sumber lisan berasal dari nara sumber, yakni masyarakat pemakai bahasa Gayo yang ada di kota Takengon. Sementara itu, penulis sebagai penutur asli bahasa Gayo, bertindak sebagai nara sumber juga
Data dari sumber tertulis dicatat secara selektif, demikian pula dengan data lisan. Setiap kalimat ditandai kesaling berhubungannya, selanjutnya, data diklasifikasikan masing-masing. Terakhir data dipilah menurut disrtibusinya.
2. Temuan Awal dan Pembahasan
a. Temuan awal
Berikut ini merupakan bahasa yang biasanya digunakan pada “sebuku” dalam budaya perkawinan di dalam adat Gayo.

Sebuku Juelen (Perkawinan ikut suami).
Anak :”Ine,…kalang si mu pekekelik pane pedi inengku mudenang alase, manuk si pucecico pane pedi amangku munabir katae”.
“Ine,…emeh pedi ke diye nge sifet opat ni inengku, meh pedi kenge die nasir tujuh ni ama……amao……”.
“Ama,….ama, kune die kase nasip ku ama?”
“Ine,…pekekul kucak, pekekonot naru, musirang rasae roh semangatku, nge bulet pakat, nge tirus genap ni amangku, meluwahi warus kin wajipku amao….”.
“Ine wan lo si sara ingini ngele mutetah nenong long ku, mutongkoh nong inginku, menantin selpah munaring batang ruang lepo pediang ku”.
“Wo ine, wo ama si mukaca terang, munengon perseh, mumilih si male kin seserenku, kin kayu rubu pelongohku, kin judu murip judu mate”.
“Wo ine….pane kedie kase aku munanto ate si male ku talui, wo ine gere kedie kase inengku munentami dede, munatangen beret beden tubuhku”.
“Wo ine ke laguni jema bertepung tawar, berjemur pemulo, muluwahi sinte kin jantung rasae,, ike lagu ni aku ni gelap gere neternantin terang, ike uren gerene ternantin sidang”.
“Ke lagu ni pake beranang kasad, ari tun berganti aji, ari ulen berganti hari, munatangni beret kin buah atewe. Ni beden tubuh kuni, lagu kurik isamar kalang iyuluni jingki, bersawah serlo berpulang hari”.
“Ike ni jema bereriyah bereriye, munatang beret ku jantung rasae, naku ni ine wo gule sara nelespe nge ara tuah raya bahgie, kero sisara kemulpe oya we tose si lepas iyaran.
“Ine,….sayang di inengku, nge pucet layu inengku muluwahi sinte beret ku bedenku”.
“Ine kin manat petenah kin ejer marah, ku ayon kowan ate jantung rasangku, male kin jimetku murip, kin pongku mate”.
“Misel ni gelap kin suluh terangku, ike miselni remalan kububun kin tungket imenku, ike uren porak keta kin payung pelongohku, ike sediken nome kin bantal alasku”.
“Ine,…..ku tanggaken ku langit emun we si mutayang, kutungkuken ku bumi, nami we si ruluh”.
“Ama,…ku men sepakke lingku we si mupero, ku men pongotte luhku nge titis ine,….boh ine,…bohmi ama nge beta kadang turah nenong nasip ejel tenirongku”.

Terjemahan :
Anak : “Ibu,…elang berdendang pandai amat ibu membalas tukasnya, burung yang berkicau pandai sungguh ayah menyapanya”.
“Ibu,….habiskah sudah rasanya sifat nan empat, habiskah sudah nasir nan tujuh?”.
“Ayah, bagaimana gerangan nasib serta peruntunganku kelak?”.
“Ibu,…hancur luluh perasaanku, sepertinya bercerai roh dan semangat dari batang tubuh ini. Setelah mengetahui, supaya semua famili sudah mufakat untuk melepasku berumah tangga”.
“ibu, …Pada malam ini terbuti telah dipastikan tentang diriku menempuh bahtera hidup, sama halnya dalam waktu yang singkat ini akan kutinggalkan,…semua akan kutinggalkan segalanya”.
“Wahai ibu serta ayah yang berpandang tajam, serta berpengalaman luas, barulah jelas sekarang, siapa gerangan yang jadi pendampingku sebagai teman hidup di maya pada ini”.
“Ibu,…mampukah nanti ipak mengikuti gendangnya zaman, melodi tingkah romantikanya hidup bersama mereka yang ipak temui nanti?”.
“Wahai ibuku sayang, orang lain melepas putra-putrinya lewat pesta ria dengan kemegahan tersendiri, lain halnya seperti ipak ini, layaknya gelap takkan lagi mennti terang, sepertinya hujan tidak lagi kunjung reda, ipak dilepas dengan cara-cara terburu-buru”.
“Seperti orang lain, orang tuanya lebih dahulu berencana, dari tahun ini menjelang tahun yang akan datang, bulan berganti bulan, hari berganti hari,”. Untuk ipak bak seekor ayam disambar elang, disana langsung mati habislah nyawanya sekaligus”. Biasanya orang lain melakukan upacara meriah saat anaknya dinobatkan menjadi aman mayak atau inen mayak, nasibnya ipak jauh dari mereka itu, buktinya mada dengan sepiring nasi segelas air menjadi satu pertanda bahwa iapak telah diijab kabulkan”.
“Sungguhlah sayang ibuku sayang. Itulah yang dapat ayah bundaku sanggupi seadanya”.
“Ibu, nasehat ibu seiring petuahnya ayah, ipak simpan dalam sanubari amat dalam sekali, ipak jadikan ajimat hidup, sampai-sampai ipak akan bawa mati kelak. Andai kata gelap, ipak jadikan suluh, bila berjalan dijadikan tongkat. Kalau hujan atau panas terik ipak jadikan payung, andai tidur ipak jadikan sebagai pengganti bantal dan tilam.
“Ibu, dipandang kelangit lepas, awan beraraklah berbaris banjar, idah berukir mengias cakrawala, tunduk mata kebumi, pada dedaun melekat sejenak titik-titik embun menanti panasnya sag surya tiba”,
“Ayah,…ipak coba berteriak keras sejauh mampu, suara ku hilang, parau ditelan ruang. Ku coba menangis meratapi sedih, air mataku kering tanpa arti apa-apa. Baiklah ayah itu sudah suratan badan, semua sudah tercatat di luh mahfudh pada saat kandungan ibu”.
Balasan Sebuku Putrinya
Ibu :” Item,…., upuh baju,, tudung uren, pelongehenku anakku” enti ko gintes menungkuki belang semantung ipakko……..
“warusmu iwajipen, ringenmu ibaraten, kati atu tetetenku enti mupecah, daling seserenku anak ku enti murebah.
“ Item anakku, …..nge i betihko, kin nasipku, kanto uten anakku kin gantini pinang, planang belang. Itemmo kin gantini belo menon pitungku, ruwini soyo kin gantini jarum sarangku, one pasir kin ganti ni oros senarengku ipakko….”.
“Ipak,….bayakku, naku urum amamu gere dis urum ni pake, umpamani gule masku gere berpisit, miselni uten gere murempate.
“Ipak,…..anakku, aku temerbang semelah kepek, amamu remalan semelah kidding”. Ipak,…..ni kami ni pak perlon gere berwih, suntuk dolot gere berusi bayakku.
“Pak ….ke cico ni manuk, kelik ni kalang anakku, kelik ni kalang anakku, asal kami si mudenang alasse, male kin tempuh tamah, kin iring naru tenamunan kul, male kin tulung Bantu, kin kiding pantas pumu narungku”.
“ Wo ipak jantung ate upuh baju tudung uren pelongkohku anakku”.
“Kupepengemi we kase kin dengetni pintu, kin gerdaki tete” kelibeten mumi we kase wan perasanku ko geh ipakku”. “Wo ipak enti isumpah seraphi ikelsihko aku kin sintak senegak serbe gorangku”. “ipak……ku perin oros one we kene amamu, kuperin powa wau we kene pake itmmo…….”
“ipak….begini pakepe si lagu ningko anakku, enti juh kekiremu, enti jawal kin rasamu item”
Ipak, … bedenni kami nge tue, kulit nge kerut, tulen nge rige, seseger kase enyentong-entong ko kami, kadang dapur lebuh gere muuten urum songkot panirum, supu reris turuh gerene mupenunelen itemmo.
“Ipak,….pues nge aku anakku, mehdi nge luhku memongotimu item, narumi umurmu, mudahmi rejekimu, enti muhali seli enti mukulu kiye, terangmi renyel pebintangmu,gelah pane ko mah unang, kati bangke belang gere ne bau……
Terjemahan: balasan sebuku putrinya.
Ibu “ Item,…. Buah hati jantung hatiku nak, kaulah sebenarnya yang ibu harapkan menjadi pelindungku”
“janganlah engkau terkejut mengarungi lapangan luas ini, supaya engkau diberumah tanggakan, dengan harapan kami, engkaulah yang akan kami jadikan tumpuan hidup ini.
“Item anakku, engkau tentu mengetahui tentang nasibku, kanto uten penggantinya pinang, pelanang belang (sejenis sirih), ruwini soyo (tumbuhan yang berduri panjang), pengganti jarum untuk menjahit, one pasir yang menumpuk ku jadikan penggantinya berasnya nak.
“Ipak,….anakku sayang, Ibu dengan ayahmu tidaklah sama dengan mereka yang punya, tidaklah sama dengan mereka yang berpunya, umpama ikan tanpa air dan lumpur, semisal hutan tidak berhumus.
“Ipak,….ibu terbang hanya sebelah sayap, ayahmu berjalan sebelah kaki” Ipak…., kami menelan tanpa air, selalu yang dimakan tanpa isi”
Ipak,… kau bersebuku tentang kicau biring didedaunan, serta dendangan elang terbang tanpa rintangan, sungguhlah benar kamilah yang menyapunya dengan dada lapang, dengan maksud akan kami jadikan kumpulan keluarga besar.
“Ipak,… anakku sayang, payang tempatku berlindung, disaat hujan serta menahan sengatan matahari”
“Wahai ipak…., jangan engkau salahkan ibu”.”Ibu sudah mengatakan beras, tapi pasir kata ayahmu, ibu katakana garam debu kata mereka, anakku, akhirnya ibu tidak dapat berbuat apa-apa”
“Ipak…., jangan engkau sesali kami, pandai sudah tangisanmu itu nak, supaya jangan sempat kami luluh menjadi air, dan jangan pula engkau tangisi kami lagi nak”.
“Ipak…, puaslah rasanya sudah ibu, air mata ibu sudah kering. “nak, kami berdoa panjanglah umurmu, pandai-pandailah engkau meniti buih, supaya badan selamat sampai keseberang.


b. Pembahasan
Berdasarkan data diatas dapat dilihat saling berhubungan bahasa dengan kebudayaan pada “sebuku”.
Ibu….., kalang sipukekelik, pada kalimat ini terdapat saling berhubungan bahasa dan kebudayaan yang ditandai dengan kepandaian ibunya menyampaikan pesan kepada anak di simbolkan dengan suara burung elang.
Mumilih si male kin seserenku, kin kuyu rubu pelongohku, pada kalimat ini terdapat saling berhubungan bahasa dengan kebudayaan. Dimana untuk menyebutkan calon suami si anak tidak langsung disebutkan tetapi disimbolkan kepada benda yaitu tempat sandaran, tepatnya kayu yang besar.
Item….,upuh baju tudung uren pelongohku, dalam kalimat ini seorang ibu biasanya menyebutkan rasa kasih kepada anaknya dan menandakan anaknya sebagai pelindung bagi keluargga dengan menyimbolkan sebagai baju, jadi tampak pada kalimat tersebut ada kesaling berhubungan antara bahasa dan budaya.
Ipak,….anakku, aku temerbang semelah kepek, amamu remalan semelah kidding, pada kalimat ini disimbolkan keadaan ekonomi orang tua dimana seng ibu seperti seekor burung yang terbang dengan sebelah sayap dan dan sang ayah berjalan dengan sebelah kaki.
“ Item anakku, …..nge i betihko, kin nasipku, kanto uten anakku kin gantini pinang, planang belang. Itemmo kin gantini belo menon pitungku, ruwini soyo kin gantini jarum sarangku, one pasir kin ganti ni oros senarengku ipakko….” . kalimat ini dengan jelas menggambarkan kesaling hubungan antara bahasa dan budaya karena kalimat ini menggambarkan kerendahan hati seorang manusia.

3. Kesimpulan
Berdasarkan temuan di atas dapat disimpulkan bahwa bahasa dan budaya tidak dapat dipisahkan. Kalau kebudayaan itu adalah satu sistem yang mengatur interaksi manusia di dalam masyarakat, maka kebahasaan adalah suatu sistem yang berfungsi sebagai sarana berlangsungnya interaksi itu. Dengan kata lain, hubungan yang erat itu berlaku sebagai : kebudayaan merupakan sistem yang mengatur interaksi manusia, sedangkan kebahasaan merupakan sistem yang berfungsi sebagai sarana keberlangsungan sarana itu. Hal ini dapat dibuktikan pada kalimat-kalimat di atas.
DAFTAR PUSTAKA
Ara,LK. 1979. Sebuku Seni Meratap di Gayo.Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah
Chaer, Abdul. 1995. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta
Hakim Aman Pinan, AR. 1998. Daur Hidup Gayo. Aceh Tengah: ICMI
Kuntjaraningrat. 1974. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru
------------------- 1992. Bahasa dan Budaya. Makalah dalam Bulan Bahasa dan Sastra IKIP Jakarta.
Nababan,P.W.J. 1984. Sosiolinguistik. Jakarta: Gramedia



[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Gajah Putih Takengon

Tidak ada komentar: