01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 4

Peningkatan Pemahaman Etnisitas Melalui
Pendidikan Multikultural Dan Komunikasi Antarbudaya
[1]
Oleh: Dr. Junaidi,S.S.,M.Hum[2]
ABSTRAK
Multikulturalisme memberikan peluang bagi kebangkitan etnik dan kebudayaan lokal. Semangat etnisitas dan lokalitas itu tiada kuasa ditolak dalam masyarakat multikultural. Yang terpenting dilakukan adalah bagaimana meningkatkan pemahaman yang benar tentang etnisitas dan menemukan cara yang tepat untuk mengelola keberagaman dan kebangkitan etnik. Kertas kerja ini bertujuan untuk menjelaskan dua pilar utama yang dapat mendukung pemahaman kebangkitan etnik, yaitu pendidikan multikultural dan komunikasi antarbudaya. Pendidikan multikultural berperan penting dalam membangun pemikiran multikultural dalam jagad pikir bangsa Indonesia. Sedangkan komunikasi antarbudaya dapat dijadikan dasar untuk berinteraksi dalam hubungan multietnik di Indonesia. Kertas kerja ini menyimpulkan bahwa pendidikan multikultural dan komunikasi antarbudaya sangat berperanan strategis untuk mewujudkan hubungan damai dalam masyarakat Indonesia yang bersifat multikultural.

Kata kunci: Etnisitas, pendidikan multikultural, komunikasi antarbudaya


1. PENDAHULUAN
Ketika seseorang lahir di dunia ini maka ia akan menjadi bagian dari etnik tertentu. Dilahirkan dalam lingkungan etnik tertentu bukan suatu pilihan tetapi kenyataan harus diterima. Label atau pangilan yang digunakan untuk menyebut bahwa seseorang berasal dari satu etnik atau suku tertentu tidak bisa ditolak dan sesungguhnya tidak perlu ditolak. Kita tidak boleh malu atau mengingkari etnisitas kita. Bahkan sebaliknya, kita harus bangga bahwa kita merupakan bagian dari satu etnik. Etnik itu merupakan identitas atau jati diri kita yang merupakan bagian dari satu kelompok masyarakat yang ditandai oleh kesamaan keturunan, budaya, adat, dan bahasa.
Kenyataan kehidupan ini menunjukkan bahwa kita berhubungan tidak hanya dengan orang yang satu etnik dengan kita tetapi juga dengan orang yang berasal dari etnik lain. Apalagi dalam kondisi masyarakat modern sekarang kita akan selalu berhadapan dengan orang yang berbeda etnis dengan kita. Perbedaan ini tentu saja tidak bisa ditolak sebab Tuhan sendiri telah dengan sengaja menciptakan manusia dalam kondisi yang berbeda-beda. Penolakan terhadap realitas perbedaan sama saja dengan mengingkari keputusan Tuhan. Sekarang yang terpenting adalah bagaimana mengelola keberagaman etnik secara baik agar keberagaman etnik benar-benar menjadi rahmat bagi semua umat manusia. Sebaliknya, keberagaman etnik tidak boleh mendatangkan bencana. Tuhan menciptakan manusia dalam keberagaman pasti mempunyai tujuan tertentu, yaitu agar manusia saling mengenal antara satu dengan yang lainnya. Bila demikian, konflik yang melibatkan etnik yang berbeda merupakan suatu kesalahan besar sebab itu tidak disesuai dengan kehendak Tuhan. Konflik etnik hanya akan menghasilkan bencana dan permusuhan di antara umat manusia.
Perbedaan etnik harus dikelola secara benar untuk menghasilkan kekuatan besar dalam membangun bangsa ini. Bila keberagaman bisa dikelola secara benar, perbedaan akan menjadi kekuatan dasar untuk membangun Indonesia. Sebaliknya bila salah dalam mengelola keberagaman, itu akan menjadi kelemahan sehingga itu akan mendorong terjadinya pertikaian dan bahkan disintegrasi. Bila benih-benih permusuhan antaretnik telah berkembang dalam diri bangsa Indonesia, sulit bagi bangsa ini untuk maju sebab benih-benih permusuhan akan mendorong terjadi konflik yang akan menghambat proses kebangkitan bangsa Indonesia. Ada dua cara yang dapat mendukung pengelolaan keberagaman etnik, yaitu melaksanakan pendidikan multikultural dan membangun komunikasi antarbudaya dalam lingkungan sosial yang beragam di Indonesia.

2. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
Peningkatan pemahaman etnisitas untuk meningkatkan persatuan bangsa dapat dilakukan dengan mendorong terwujudnya pendidikan multikultural. Keinginan untuk mewujudkan pendidikan multikultural dilatarbelakangi oleh perkembangan arus global di dunia sehingga sebagian bangsa yang ada di dunia terlibat dalam komunikasi umat manusia yang berasal dari latar belakang suku, etnis, agama, bangsa atau kelompok yang berbeda. Kemajemukan ini pula menghasilkan prinsip dan kepentingan yang berbeda-beda pula sehingga akan mendorong terjadinya konflik bila tidak dikelola dengan baik. Prinsip dasar dari pendidikan multikultural adalah memberikan persamaan hak kepada setiap orang untuk mendapatkan pendidikan atau education for all. Untuk memaksimalkan peranan pendidikan dalam pembangunan masyarakat multikuktural, beberapa strategi yang perlu diperhatikan sebagai berikut:
Pertama, menampilkan nilai-nilai kebersamaan masyarakat. Setiap bangsa tentu saja mempunyai nilai-nilai kebersamaan yang dapat mencerminkan identitas kita bersama. Salah satu contoh nilai kebersamaan adalah bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa Indonesia dalam komunikasi antara kelompok yang berbeda, kita dapat merasakan bahwa kita mempunyai satu identitas yang dapat mendorong kita untuk bersatu. Sebagai contoh bila orang Minang bertemu dengan orang Jawa di Kalimantan, maka penggunaan bahasa Indonesia adalah cara yang paling efektif untuk berkomunikasi. Ketika orang Minang dan orang Jawa itu berkomunikasi dengan bahasa Indonesia maka akan timbul perasaan di antara mereka bahwa nilai kebersamaan yang terdapat dalam bahasa Indonesia dapat memudahkan mereka untuk berinteraksi. Bahasa Indonesia dapat menyadarkan mereka terhadap pentingnya menghargai dan mengangkat nilai-nilai kebersamaan dalam hubungan antarbudaya. Oleh karena itu, dunia pendidikan Indonesia mesti senantiasa mendorong bangsa Indonesia untuk menyadari penting penggunaan bahasa Indonesia sebagai alat untuk menyatukan berbagai etnis, suku, agama, dan kelompok lainnya di Indonesia. Paradigma pembelajaran bahasa Indonesia pun perlu dilakukan perubahan dengan cara memberikan pengetahuan budaya yang melatarbelakangi bahasa Indonesia itu. Kita harus menyadari bahwa ada aspek budaya dalam pengguanaan bahasa. Dengan kata lain, pengajaran bahasa Indonesia mesti dilengkapi dengan penyampaian konteks kebudayaan yang terkandung dalam bahasa Indonesia itu agar nilai-nilai kebersamaan yang terdapat dalam bahasa Indonesia lebih mudah dikenali dan ditanamkan dalam pemikiran bangsa Indonesia.
Kedua, memperkenalkan bahasa, kebudayaan, dan agama yang berbeda. Institusi pendidikan harus menampilkan realitas keberagaman yang terdapat dalam masyarakat Indonesia. Realitas perbedaan yang terdapat di Indonesia tidak boleh disembunyikan. Sebaliknya realitas perbedaan itu mesti ditampilkan agar peserta didik menyadari bahwa dalam kehidupan ini mereka akan berhadapan dengan orang, kebudayaan, dan agama yang berbeda. Dengan menampilkan kondisi perbedaan itu, peserta didik disiapkan untuk memahami perbedaan sehingga dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat mereka tidak merasa alergi atau merasa tidak nyaman ketika melihat perbedaan. Dengan kata lain, perbedaan harus diterima sebagai suatu realitas yang tidak bisa ditolak sehingga yang dapat dilakukan adalah bagaimana sikap dan prilaku kita dapat menerima dan mengakui perbedaan itu sebagai sesuatu yang indah dan menyenangkan.
Ketiga, memahami nilai-nilai multikultural. Memberikan pemahaman kepada peserta didik untuk menghormati nilai-nilai multikultural sangat penting karena adanya pemahaman dan cara pandang terhadap konsep “perbedaan” akan sangat berpengaruh terhadap sikap dan prilaku mereka ketika berhubungan dengan orang yang berbeda dengan mereka. Prinsip utama multikulturalisme adalah persamaan dan pengakuan terhadap perbedaan. Dengan adanya pemahaman yang benar tentang persamaan akan membuat kita menyadari bahwa semua manusia diciptakan sama oleh Tuhan sehingga satu kelompok tidak akan menghinakan atau menyalahkan kelompok lain. Dalam kehidupan ini setiap kelompok etnis, budaya, dan agama mempunyai nilai-nilai atau standar kebenaran sendiri sehingga mereka akan melakukan sesuatu berdasarkan konsep atau ideologi yang mereka percayai kebenarannya. Satu kelompok boleh mempercayai kebenaran yang terdapat dalam kelompoknya. Yang tidak boleh dalam konteks hubungan masyarakat multikultural adalah satu kelompok memaksakan ideologi yang dianutnya kepada kelompok lain dengan alasan bahwa kelompoknya yang paling benar. Kadang-kadang pemaksaan dilakukan pula dengan tindakan-tindakan anarkis dan brutal. Memaksakan satu ideologi kepada kelompok lain tentu saja merupakan satu bentuk pengingkaran terhadap realitas perbedaan yang telah diciptakan Tuhan. Oleh karena itu, menganjurkan nilai-nilai pengakuan dan penghormatan yang terdapat dalam multikulturalisme sangat penting untuk membentuk pola pikir bangsa Indonesia yang bersifat multikultural. Dengan adanya cara pandang multikultural ini, kita berharap tidak ada lagi kekerasan yang mengatasnamakan kelompok etnik atau agama tertentu untuk memaksakan satu ideologi kepada kelompok lain. Tindakan pemaksaan secara anarkis hanya menghasilkan konflik berkepanjangan dan merugikan semua pihak. Bukankah sekarang ini negara kita berada dalam kondisi “sakit”? Terjadinya konflik yang melipatkan etnis dan agama justru menambah buruknya kondisi bangsa ini. Aksi pembakaran dan pelemparan secara brutal fasilitas tertentu hanya akan menambah miskin bangsa ini.
Keempat, menganjurkan dialog untuk menyelesaikan konflik. Dunia pendidikan mesti bertanggung jawab terhadap terjadinya konflik sara (suku, ras, dan agama) di Indonesia. Terjadinya konflik sara ini akibat tidak berhasilnya dunia pendidikan untuk menanamkan pendekatan diologis dalam menyelesaikan masalah atau konflik. Kegagalan menyampaikan pendekatan dialogis diakibatkan kurangnya penerapan nilai-nilai demokratis dalam pendidikan kita. Pendidikan kita cenderung menggunakan pendekatan indokrinisasi dari pada demokratis. Kita cenderung untuk menganggap peserta didik sebagai objek sehingga mereka tidak terbiasa untuk berinisiatif untuk melaksanakan dialog. Sesungguhnya peserta didik adalah subjek dalam proses pembelajaran itu sendiri. Menempatkan peserta didik sebagai subjek pembelajaran akan mendorong peserta didik untuk mempunyai kemampuan dialogis dalam menyelesaikan masalah. Peserta didik harus disiapkan untuk mempunyai kemampuan dialogis dalam merespon konflik atau masalah sosial yang mereka hadapi dalam masyarakat. Bahkan mata ajar atau mata kuliah pendidikan agama pun sebaiknya diarahkan pada pengakuan terhadap multikulturalisme agar kepercayaan agama yang dianut oleh satu kelompok atau agama tertentu tidak mendorong orang untuk menyalahkan atau menghinakan agama lain. Penanaman nilai-nilai pengakuan terhadap perbedaan agama sangat penting dalam membentuk cara pandang peserta didik terhadap perbedaan agama. Bila nilai demokratis terus dikembangkan dalam sistem pembelajaran, peserta didik akan mempunyai kemampuan dialogis untuk menyelesaikan konflik atau masalah, khususnya masalah sara.
Selanjutnya, sebagai salah satu upaya untuk mewujudkan pendidikan multikultural di Indonesia, Tilaar telah menyusun beberapa konsep yang dapat dikembangkan untuk pendidikan multikultural[3]:
Hak akan kebudayaan dan identitas kebudayaan lokal. Konsep ini menunjukkan bahwa kebudayaan itu merupakan hak setiap orang sehingga setiap orang dapat mengangkat dan mengembangkan kebudayaan mereka sendiri. Karena kebudayaan itu merupakan suatu hak, maka setiap harus mengakui kebudayaan yang dimiliki orang lain. Dengan adanya pengakuan terhadap hak kebudayaan identitas-identitas yang terdapat di seluruh Indonesia mendapat tempat yang layak. Pendidikan multikultural akan mengajarkan kepada kita betapa penting mengangkat kebudayaan lokal dan pengangkatan kebudayaan lokal tidak akan menyebabkan disintegrasi. Malahan pengangkatan kebudayaan lokal akan meningkatkan kesadaran orang terhadap budayanya sendiri dan menghargai keberadaan kebudayaan orang lain.
Kebudayaan Indonesia-yang-menjadi. Kebudayaan Indonesia dijadikan dasar atau pegangan dari setiap individu dan setiap identitas budaya lokal yang terdapat di Indonesia. Dengan demikian, terdapat sistem nilai keindonesian yang menjadi dasar bagaimana hubungan identitas lokal berperan dalam masyarakat. Pendidikan multikultural diharapkan memberikan pemahaman yang benar tentang paradigma pengangkatan kearifan lokal menuju persatuan sehingga keutuhan bangsa ini dapat tetap terpelihara. Bila ini dapat diwujudkan keberagaman tidak menjadi kelemahan, tetapi keberagaman justru menjadi kekuatan untuk membangun bangsa ini secara bersama-sama.
Pendidikan multikultural normatif. Pendidikan multikultural diarahkan bersifat normatif sehingga dapat memberikan pandangan-pandangan kepada bangsa Indonesia untuk terus memperkuat identitas kebudayaan lokal untuk mendukung kebudayaan Indonesia sehingga pengangkatan kearifan lokal tidak mengancam integrasi nasional. Pengangkatan kearifan lokal akan semakin memperkokoh semangat kebangsaan sebab pengakuan terhadap kearifan lokal tetap bersandar kepada kepentingan bersama sebagai bangsa Indonesia.
Pendidikan multikultural sebagai rekonstruksi sosial. Pendidikan multikultural digunakan untuk melihat kembali bagaimana pemahaman masyarakat terhadap identitas kesukuan mereka. Pengangkatan rasa kedaerahan atau kesukuan secara berlebihan justru akan menyebabkan konflik horizontal di antara kelompok-kelompok masyarakat. Kenyataan sekarang ini menunjukkan bahwa banyak orang yang terlalu mengagung-mengagungkan kelompok etnik mereka sehingga mereka lupa untuk mengahargai kelompok lain. Mereka bersifat egosentrik sehingga tidak mau menerima kebenaran yang berasal dari kelompok lain. Bila ini terjadi, maka konflik antaretnik akan terjadi dan pada akhirnya akan menyebabkan disintegrasi. Pendidikan multikutural diharapkan dapat membantu merajut kembali benih-benih permusuhan yang sudah masuk ke dalam jiwa bangsa Indonesia agar keragaman yang terdapat di Indonesia tetap terpelihara.
Pendidikan multikultural memerlukan pedagogik baru. Pendidikan multikultural tentu saja memerlukan pedagogik baru yang mengarah kepada rasa persatuan dari bangsa Indonesia yang bersifat pluralistk. Tilaar[4] mengajukan dua bentuk pedagogik baru yaitu pedagogik pemberdayaan (pedagogy of empowerment) dan pedagogik kesetaraan sesama manusia dalam kebudayaan yang beragama (pedagogy of equity). Dengan pedagogik pemberdayaan, seseorang akan dapat mengembangkan kebudayaan sendiri untuk selanjutnya mengembangkan kebudayaannya dalam konteks bangsa Indonesia. Selanjutnya pedagogik kesetaraan akan mendorong orang untuk menghargai kesetaraan sehingga pergaulan yang dibangun tidak membeda-bedakan suku, agama atau latar belakang lainnya.
Pendidikan multikultural bertujuan untuk mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika berbangsa. Visi masa depan bangsa Indonesia itu disampaikan dalam TAP/MPR/ RI Tahun 2001 No. VI dan VII tentang visi Indonesia masa depan dan etika kehidupan berbangsa. Pedoman ini harus dijadikan dasar untuk melaksanakan pendidikan multikultural agar pendidikan multikultural dapat memberikan pemahaman yang benar tentang makna etnisitas dan bagaimana mengangkat kearifan lokal secara proporsional sehingga tidak mengancam integrasi bangsa Indonesia.

3. KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Komunikasi menjadi faktor yang sangat penting untuk membangun kesepahaman dalam hubungan masyarakat multietnik. Keberhasilan berkomunikasi dalam masyarakat multietnik akan memberikan pengaruh yang besar dalam membentuk pandangan suatu kelompok etnik terhadap kelompok etnik lainnya. Sebaliknya, komunikasi yang tidak baik akan mendorong timbul kecurigaan dan kesalahpahaman yang akan menjadi benih-benih konflik yang melibatkan berbagai etnik. Pertikaian antaretnik sering terjadi karena kesalahan pemahaman pesan yang disampaikan dalam proses komunikasi. Kesalahan penafsiran dalam proses komunikasi multietnik menjadi faktor yang sangat krusial untuk terjadinya konflik etnik. Oleh karena itu, kita perlu memberikan perhatian yang serius terhadap bentuk komunikasi yang melibatkan kepentingan berbagai etnik agar komunikasi di antara masyarakat yang berasal dari etnik yang berbeda-beda dapat menghasilkan kedamaian di antara mereka.
Sesungguhnya dalam bidang ilmu komunikasi terdapat bentuk komunikasi yang memberikan perhatian kepada komunikasi yang melibatkan hubungan multietnik, yaitu komunikasi antarbudaya (intercultural communication). Komunikasi antarbudaya memberikatan perhatian bagaimana orang-orang yang berasal dari budaya yang berbeda saling menginterpretasikan dan berbagi makna.[5] Dengan kata lain, komunikasi antarbudaya terjadi bila penyampai pesan dan penerima pesan berasal dari budaya yang berbeda. Komunikasi antarbudaya sangat diperlukan untuk membangun hubungan damai dalam masyarakat multietnik sebab setiap etnik mempunyai pandangan, budaya dan bahasa yang berbeda. Sehingga ketika komunikasi melibatkan banyak etnik, perbedaan-perbedaan itu akan mempengaruhi makna pesan yang akan disampaikan. Perbedaan pandangan, budaya, dan bahasa tentu saja tidak bisa kita tolak dan kita pasti tidak bisa menyeragamkan perbedaan itu. Yang terpenting adalah perbedaan itu harus bisa dipahami secara bersama-sama dan kita berusaha meminimalkan terjadinya kesalahan pemahaman akibat pandangan, budaya dan bahasa yang berbeda dengan cara menerapkan prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya dalam masyarakat multietnik.

Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya
Secara umum komunikasi antarbudaya terdiri dari atas empat variasi, yaitu (i) interracial communication: interpretasi dan berbagi makna antara orang-orang yang berasal dari ras yang berbeda, (ii) interethnic communication: interaksi antara orang-orang yang berasal dari etnis yang berbeda, (iii) international communication: komunikasi antara orang-orang yang mewakili negara yang berbeda, dan (iv) intracultural communication: interaksi antara anggota dari kelompok ras dan etnis yang berbeda (sub-culture) tetapi berasal dari induk budaya yang sama.[6] Komunikasi antarbudaya juga bermakna ”communication between people who live in the same country but come from different cultural background.” Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarbudaya merupakan bentuk komunikasi multidemensi dari interaksi antara orang-orang yang berasal dari negara, etnis, ras, dan kelompok budaya lainnya yang berbeda.
Elemen komunikasi antarbudaya berasal dari elemen dasar komunikasi secara umum. Proses komunikasi yang dijalankan manusia terdiri atas tujuh elemen dasar, yaitu komunikator, pesan, komunikan, umpan balik, media, konteks, dan gangguan. Hubungan elemen-elemen komunikasi dapat dilihat dalam Bagan 1.[7]
Bagan 1: Model komunikasi

KOMUNIKATOR
Konsep diri
Keluarga
Budaya
Keahlian
Perasaan
Sikap
Nikai-nilai
PESAN
UMPAN BALIK
GANGGUAN
MEDIA
TV, telepon, percakapan, tulisan, komputer
KONTEKS
Lingkungan, status, waktu
KOMUNIKAN
Konsep diri
Keluarga
Budaya
Keahlian
Perasaan
Sikap
Nilai-nilai
a. Komunikator
Komunikator adalah pihak yang pertama kali berperan untuk menyampaikan pesan kepada pihak tertentu. Komunikator ini tentu saja mempunyai latar belakang etnis, ras, agama, atau kebudayaan tertentu. Latar belakang ini akan mempengaruhi prilaku berkomunikasi seseorang sehingga ketika proses komunikasi melibatkan komunikator dan komunikan yang berasal daru etnik yang berbeda, maka akan terjadi persepsi yang berbeda pula. Persepsi seseorang dalam berkomunikasi secara makro dipengaruhi oleh karateristik antarbudaya yang ditentukan oleh nilai dan norma yang menujuk ke arah mikro yang kemudian diwujudkan dalam bentuk kepercayaan, minat dan kebiasaan.[8] Faktor lain yang dapat yang juga berperan penting dalam keberhasilan proses komunikasi antarabudaya adalah kemampuan berbahasa, baik itu bahasa verbal maupun bahasa nonverbal. Seorang komunikator perlu memahami bagaimana memilih kosa kata tertentu yang tidak menyinggung perasaan komunikan yang berbeda etnis dengan komunikator. Pemahaman aksen dan bahasa tubuh juga akan berperan penting untuk membangun makna dalam komunikasi antarbudaya.

b. Pesan
Pesan adalah ide, gagasan atau perasaan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan untuk mencapai pemahaman.[9] Dalam proses komunikasi antarbudaya, pesan berperan dalam membangun hubungan antara komunikator dan komunikan. Dengan kata lain, pesan mempertemukan garis persinggungan antara penyampai pesan dan penerima pesan yang berasal dari budaya yang berbeda. Pesan yang disampaikan oleh komunikan diwujudkan dalam bentuk simbol-simbol tertentu yang bisa dalam bentuk simbol verbal maupun nonverbal. Jika pesan yang disampaikan oleh komunikator telah mempertimbangakan kepentingan komunikan, maka pesan itu akan dapat diterima secara baik sehingga komunikasi antarbudaya yang dilakukan akan mencapai pemahaman. Sebaliknya, jika pesan yang disampaikan tidak memperhatikan aspek perbedaan etnik, maka komunikasi yang dijalankan itu justru akan menghasilkan konflik atau permusuhan. Dalam komunikasi antarbudaya, pencapaian persepahaman antara etnik berbeda yang terlibat dalam komunikasi merupakan tujuan utama. Kegagalan membangun persepahaman akan mengakibatkan hubungan multietnik yang tidak harmonis dan bahkan dapat menimbulkan perpecahan.

c.Komunikan
Dalam komunikasi antarbudaya, komunikan adalah pihak yang mencari makna atau menginterpretasikan pesan yang disampaikan untuk mencapai pemahaman. Dalam melakukan proses pemaknaan ini, komunikan sebagai seorang individu maupun kelompok akan ditentukan oleh persepsi mereka terhadap pesan yang disampaikan. Persepsi akan ditentukan pula oleh kondisi khas yang dimiliki oleh komunikan seperti pengalaman, kepercayaan dan faktor lainnya.[10] Dalam komunikasi antarbudaya persepsi merupakan cara yang digunakan orang yang berasal dari etnik tertentu untuk memahami atau memberikan makna terhadap sesuatu hal yang berkaitan dengan dirinya dan hubungannya dengan etnik lain. Proses persepsi dan interpretasi bisa berbeda antara satu orang dengan lainnya sebab proses ini dipengaruhi oleh kondisi atau kualitas diri yang dimiliki oleh orang yang melakukan persepsi dan interpretasi terhadap suatu pesan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi persepsi dan interpretasi adalah pengalaman, sikap dan prilaku, kemampuan berkomunikasi, konsep diri, kebudayaan, harapan, perasaan, dan keluarga.[11]

Bagan 2: Faktor yang mempengaruhi persepsi
PERSEPSI
Konsep diri
Pengalaman
Sikap&prilaku
Kemampuan
Komunikasi
kebudayaan
harapan
perasaan
keluarga

d. Umpan balik
Umpan balik merupakan respons yang diberikan oleh penerima pesan setelah ia melakukan proses pemaknaan terhadap pesan yang disampaikan. Tahapan memberikan umpan balik sangat penting untuk membangun komunikasi yang efektif sebab umpan balik akan menunjukan bahwa komunikasi itu akan berlanjut dan komunikasi menghasilkan pemahaman atau kesalahpahaman dari pesan yang disampaikan. Komunikator dan komunikan sama-sama memerlukan umpan balik untuk mengetahui apakah pesan yang disampaikan telah disampaikan dan diterima secara benar oleh kedua belah pihak. Jika ternyata pesan yang disampaikan itu belum mencapai kebenaran yang dinginkan, maka kedua belah pihak dapat mengambil langkah-langkah selanjutnya untuk mengupayakan adanya persepsi yang sama dalam pemaknaan pesan yang disampaikan.



e. Media
Media adalah alat atau teknik yang digunakan untuk penyampaian pesan. Dalam penyampaian sebuah pesan, media akan menghimpun simbol-simbol tertentu. Beberapa media komunikasi yang sering digunakan adalah percakapan, surat, telepon, TV, radio, surat kabar, video, dan film. Kemajuan teknologi informasi saat ini memungkin media komunikasi menyampaikan, mengirim, dan menerima informasi secara cepat.

f. Konteks
Dalam komunikasi antarbudaya, unsur konteks berperanan penting dalam proses penyampaian dan pemaknaan pesan oleh pihak yang terlibat. Konteks meliputi situasi, keadaan dan tempat terjadinya komunikasi. Proses penyampaian dan pemaknaan pesan mesti disesuaikan dengan konteks komunikasi yang terjadi. Hal terpenting yang perlu disadari dalam konteks komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antarbudaya melibatkan orang yang memiliki perbedaan latar belakang etnik sehingga proses penyampaian dan pemaknaan pesan mesti mempertimbangkan kondisi psikologis dan sosial masyarakat multietnik. Kegagalan memahami konteks multietnik akan memberikan dampak terhadap keberhasilan penyampaian pesan dalam komunikasi antarbudaya.

g. Gangguan
Dalam komunikasi antarbudaya, gangguan dapat menimbulkan kesalahpahaman dan permusuhan antaretnik. Oleh karena itu, pihak yang terlibat dalam komunikasi antarbudaya perlu mengidentifikasi kemungkinan gangguan yang akan menghambat keberhasilan komunikasi. Gangguan bermakna hambatan yang dapat menganggu proses komunikasi seperti kesalahpahaman, kebingungan, ambigu dan distorsi makna pesan yang disampaikan. Gangguang dapat disebabkan oleh faktor perbedaan kemampuan antara komunikator dan komunikan, misalnya status sosial, jenis pekerjaan, tingkat pendidikan, perbedaan usia, dan pengalaman. Selain itu, faktor pesan juga dapat menganggu proses komunikasi antarbudaya, seperti perbedaan kosa kata, intonasi, dan mimik/bahasa tubuh yang berbeda. Selanjutnya, Dwyer[12] menyimpulkan gangguang yang dapat menghambat keefektifan komunikasi antarbudaya:
linguistik: perbedaan dalam bahasa percakapan atau penggunaan kosa kata, intonasi, dan ekspresi
kultural: etnik, agama, dan perbedaan sosial
fisikal: perbedaan dalam memandang waktu, ruang, lingkungan, kesenangan, kebutuhan
persepsi: pandangan terhadap situasi dan komunikasi dari perspektif budaya sendiri dan tendensi untuk membuat keputusan dan streotip
pengalaman: kekurangan pengalaman hidup yang sama dan keenganan untuk mengakomodasi perubahan atau pengalaman kebudayaan baru.
noverbal: perbedaan dalam bahasa tubuh, gerakan, dan kode-kode non verbal serta interpretasinya
emosional: perasaan personal (tendensi menjadi negatif) dan motivasi.

Model Komunikasi Antarbudaya
Sebagai bagian dari komunikasi, komunikasi antarbudaya mempunyai model tersendiri[13] (lihat Bagan 3). Dalam Bagan 3 terdapat A dan B yang bermakna dua orang berasal dari dua kebudayaan yang berbeda sehingga mereka mempunyai persepsi yang berbeda tentang hubungan antarpribadi. Proses komunikasi antarbudaya terjadi ketika A dan B saling berhubungan antara satu dengan lainnya. Perbedaan di antara mereka memungkinkan terjadinya kondisi ketidakpastian kecemasan dan kondisi ini mendorong terjadinya komunikasi yang bersifat akomodatif. Sehingga selanjutnya kondisi ini menghasilkan kebudayaan baru (C) yang bertujuan untuk menyenangkan kedua belah pihak yang terlibat dalam komunikasi. Model komunikasi ini menghasilkan komunikasi yang adaptif karena A dan B saling menyesuaikan diri sehingga komunikasi itu bersifat efektif.

Bagan 3: Model Komunikasi Antarbudaya
A
B
C
Kebudayaan
Kepribadian
Ketidakpastian
Kecemasan
Persepsi terhadap relasi antarpribadi
Percakapan
Menerima
Perbedaan
Kebudayaan
Persepsi terhadap relasi antarpribadi
Strategi komunikasi yang akomodatif
Adaptif
Efektif
Kepribadian
Komunikasi antarbudaya melibatkan unsur komunikasi dan budaya. Kata budaya dalam komunikasi antarbudaya bermakna perbedaan cara hidup dari kelompok orang-orang dalam menghadapi kehidupan. Hubungan komunikasi dan budaya sangat erat karena dasar dari komunikasi itu adalah budaya itu sendiri. Oleh karena itu, dalam komunikasi antarbudaya unsur budaya sangat berpengarauh dalam proses komunikasi yang melibatkan budaya yang berbeda. Unsur-unsur budaya yang mempengaruhi komunikasi antarbudaya adalah:[14]
1. Persepsi: (a) kepercayaan, nilai, sistem sikap, (b) pandangan dunia, dan (c) organisasi sosial
2. Proses verbal: (a) bahasa verbal (b) pola pikir
3. Proses non-verbal: (a) perilaku non-verbal, (b) konsep waktu, dan (c) penggunaan ruang

Strategi Komunikasi Antarbudaya
Komunikasi yang melibatkan multietnik tentu saja memerlukan strategi yang khusus agar komunikasi yang dijalankan benar-benar memberikan pemahaman bagi pihak yang terlibat dalam komunikasi. Berikut ini disampaikan beberapa strategi untuk menghasilkan komunikasi antarbudaya yang efektif.[15]

Tabel 1: Strategi Komunikasi Antarbudaya
Teknik Komunikasi Diskriminatif
Tujuan
Teknik Komunikasi Inklusif
Penyebuatan penghinaan terhadap budaya atau kelompok lain
Menghina atau merendahkan orang dari budaya atau kelompok lain
Menolak penggunaan penyebuatan penghinaan
Membuat streotip terhadap orang-orang yang berasal dari kelompok tertentu
Mengisolasi atau melebih-lebihkan faktor tertentu dan menerapkannya kepada semua orang dalam kelompok itu.
Mengakui dan menghindari penggunaan bahasa yang bersifat stereotif.
Pengabaian
Menempatkan satu kelompok ke dalam kelompok lain dengan penyebutan (label), nama atau istilah tertentu
Menggunakan bahasa yang inklusif dan bahasa yang lebih disukai oleh kelompok minoritas
Pemaksaan penyebutan (labelling)
Memaksa pandangan kelompok mayoritas karena minoritas kurang memiliki kekuatan untuk mendefinisikan diri mereka sendiri
Menghindari penggunaan satu sebuatan umun untuk sejumlah orang yang berasal dari kelompok yang berbeda
Penglihatan yang berlebihan
Menekankan pada perbedaan seperti latarbelakang gender, ras, atau etnik
Menghindari penekanan pada perbedaan seperti latarbelakang gender, ras, atau etnik

Teknik komunikasi inklusif di atas dapat mendukung terjadinya komunikasi antarbudaya yang efektif agar pesan komunikasi yang disampaikan benar memberikan makna yang positif bagi masyarakat multietnik. Perbandingan teknik komunikasi diskriminatif dan teknik komunikasi inklusif menunjukkan bahwa komunikasi diskriminatif cenderung menghasilkan kondisi permusuhan dan konflik sebab tidak mempertimbangkan perasaan dan sensitifitas kelompok lain. Sedangkan teknik komunikasi inklusif cenderung mendorong tercipta kondisi damai sebab pihak yang terlibat dalam komunikasi saling memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap kelompok lain yang berbeda dengannya.
Untuk membangun komunikasi antarbudaya yang efektif perlu pula dipahami beberapa konsep dasar yang berkaitan dengan hubungan antara kelompok yang berbeda:[16]
1. Enkulturasi (enkulturation): proses mempelajari dan menyerap kebudayaan yang berasal dari satu masyarakat.
2. Akulturasi (acculturation): proses penyesuaian kebudayaan dengan kebudayaan tempatan dengan mengadopsi nilai, simbol dan/atau perilaku.
3. Etnosentris (ethnocentrism): suatu pandangan yang menganggap bahwa suatu kebudayaan lebih unggul dari pada kebudayaan lainnya.
4. Relativisme kebudayaan (cultural relativism): pengakuan terhadap perbedaan budaya dan menerima bahwa setiap kelompok masyarakat mempunyai norma-norma sendiri.
Keempat konsep di atas berkaitan dengan pandangan seseorang terhadap kebudayaannya sendiri, kebudayaan orang lain, dan bagaimana menjalin hubungan dengan orang yang berbeda kebudayaan dengannya. Konsep enkulturasi dan akulturasi menujukkan pandangan kebudayaan yang bersifat dinamik dan adaptif karena terjadinya proses penyerapan dan penyesuaian antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Konsep etnosentris adalah satu cara pandang yang bersifat sempit dan kaku karena hanya menganggap kebudayaan mereka yang paling tinggi dibandingkan kebudayaan lain. Pandangan seperti ini tentu saja akan menghambat terjadi komunikasi antarbudaya yang efektif. Sebaliknya, konsep relativisme kebudayaan memberikan pandangan bersifat mengakui dan menghargai perbedaan kebudayaan sebab setiap kebudayaan mempunyai keunggulan sendiri sehingga tidak perlu dipertentangkan keunggulan suatu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Ini bermakna kearifan lokal yang dimiliki setiap ini itu perlu diangkat dan penganggatan kearifan lokal itu tidak akan menghasilkan pertentangan atau permusuhan sebab relativisme kebudayaan telah mengajarkan kepada kita bahwa setiap kebudayaan memiliku keunggulan masing-masing.

4. PENUTUP
Tidak ada yang salah ketika kita menunjukkan kebanggaan terhadap etnik kita sendiri sebab kita mempunyai hak untuk mengangkat itu. Yang salah adalah ketika kita tidak mampu mengakui dan menghargai kearifan lokal yang dimiliki oleh kelompok lain. Keinginan dan cita-cita untuk membangkitkan suatu etnik perlu didasarkan kepada pemahaman yang benar tentang etnitas agar kebangkitan kearifan lokal tidak mendorong terciptanya disintegrasi dalam masyarakat. Kegagalan memahami makna etnisitas akan mendorong terjadi permusuhan antaretnik dan bahkan dapat menyebabkan kehancuran serta pertumpahan darah.
Pembahasan etnisitas, pendidikan multikultural, dan komunikasi antarbudaya menghasilkan model seperti yang terdapat dalam Bagan 4. Bagan ini menjelaskan bahwa kebangkitan etnik dilandaskan pada dua pilar utama yaitu pendidikan multikultural dan komunikasi antarbudaya. Kebangkitan etnik mengarah kepada pengakuan dan penghormatan kepada kondisi multikultural. Selanjutnya pengakuan dan penghormatan itu bertujuan untuk membangunan masyarakat multikultural yang damai.
Pendidikan multikultural digunakan untuk menanamkan dan menganjurkan prinsip-prinsip pengakuaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai multikultural. Pendidikan yang memberi perhatian kepada potensi pemikiran, sangat efektif digunakan untuk membentuk pola pikir bangsa Indonesia untuk mengakui dan menghargai realitas kemajemukan di Indonesia. Pendidikan multikultural lebih diarahkan untuk membangun pandangan yang bersifat multikultural di dalam pemikiran manusia, sedangkan komunikasi antarbudaya diwujudkan dalam pola prilaku seseorang ketika berkomunikasi dengan orang yang berbeda etnik dengan dirinya. Penggangkatan prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya akan mendorong interaksi yang harmonis dalam hubungan multietnik. Memberikan perhatian secara serius kepada pendidikan multikultural dan komunikasi antarbudaya tentu saja sangat bermanfaat untuk membangun kearifan lokal dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kebangkitan etnik tidak diarahkan untuk menimbulkan disintegrasi, tetapi sebaliknya ia bertujuan untuk mengakui dan menghormati hakekat keberagaman kebudayaan. Jika demikian, tidak ada alasan untuk saling membenci dan menebar benih kebencian dalam hubungan antaretnik sebab semua kita diciptakan sama oleh Tuhan. Prinsip dan strategi komunikasi antarbudaya dapat dijadikan dasar untuk merajut persepahaman hubungan antaretnik sehingga interaksi yang dilakukan oleh individu yang berasal dari pelbaga etnik dapat membangun hubungan damai. Gangguan yang menghambat komunikasi antaretnik dapat diminimalkan jika pihak yang terlibat dalam komunikasi antarbudaya dapat menerapkan strategi komunikasi antarbudaya yang inklusif.
Bagan 4: Model kebangkitan etnik yang berlandaskan
pendidikan multikultural dan komunikasi antarbudaya
Kebangkitan etnik
Pengakuan dan penghormatan terhadap kondisi multikultural
Pendidikan multikultural
Komunikasi
antarbudaya
PR
I
LAKU
P
I
K
I
R
A
N
Masyarakat mulrikultural yang damai

REFERENSI
Dwyer, J. 2002. Communication in Business. New York: McGraw-Hill
Dwyer, J. 2006. The Business Communication Handbook, seventh edition. Australia: Pearson Education Australia.
Gamble, TK dan Gamble, M. 2002. Communication Work, seventh edition. New York: The McGraw-Hill.
Gudykunst, W.B dan Kim, Y.Y. 1992. Communication with Strangers: An Approach to Intercultural Communication, second edition. New York: McGraw Hill.
Liliwere, A. 2003. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Samovor, L.A, dkk. 1981. Understanding Intercultural Communication. California: Wadsworth Publishing.
Tilaar, H.A.R. 2004. Multikulturalisme Tantangan –tantangan Global Masa depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo
[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning Pekanbaru-Riau. email: drjunaidi@yahoo.com
[3] Tilaar. Multikulturalisme Tantangan –tantangan Global Masa depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. (Jakarta: Grasindo, 2004. hal 185)
[4] Ibid, hal 189
[5] Gamble, TK dan Gamble, M. Communication Works, seventh edition. (New York: The McGraw-Hill, 2002. hal 38)
[6] Gamble, T.K dan Gamble, M. Communication Works. McGrawHill. (New York. 2002, hal 3)
[7] Dwyer, J. The Business Communication Handbook, seventh edition. (Australia. Pearson Education Australia, 2006.hal 7)
[8] Gudykunst, W.B dan Kim, Y.Y. Communication with Strangers: An Approach to Intercultural communication, second edition. (New York, McGraw Hill, 1992)
[9] Dwyer, J. The Business Communication Handbook, seventh edition. (Australia. Pearson Education Australia, 2006. hal 5)
[10] Ibid, hal 5
[11] Ibid, hal 6
[12] Dwyer, J. Comminication in Business. (New York, McGraw-Hill, 2002. hal 37)
[13] Liliwere, A. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003. hal 32)
[14] Samovor, L.A, dkk Understanding Intercultural Communication. (California, Wadsworth Publishing, 1981, hal 36-53)
[15] Dwyer, J. The Business Communication Handbook Seventh Edition. (Australia. Pearson Education Australia, 2006. hal 23)

[16] Ibid, hal 33

Tidak ada komentar: