01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 9

BAHASA DAN IDEOLOGI MATRIARKHI APLIKASI
Dalam Masyarakat Dan Budaya Minangkabau
[1]
Oleh
Rozanna Mulyani
[2]

1. Pendahuluan
Wacana ini pada dasarnya membahas tentang “bahasa dan ideologi matriarkhi aplikasi dalam masyarakat dan budaya Minangkabau”. Berbicara tentang bahasa tentu sudah sangat biasa kita lakukan akan tetapi berbicara bahasa yang dikaitkan dengan ideologi matriarki dan aplikasinya dalam masyarakat Minangkabau masih jarang atau mungkin juga belum pernah dilakukan.
Bahasa menunjukkan bangsa. Ungkapan ini sampai sekarang masih dan akan terus hidup ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia. Maksudnya kalau kita ingin mengenal suatu suku bangsa kita harus mengenal bahasanya. Dengan mempelajari bahasanya, secara tidak langsung akan terbukalah kesempatan bagi kita untuk mengetahui sistem kemasyarakatan dan kebudayaan bahasa tersebut.
Bahasa Minangkabau sebagai salah satu bahasa daerah, berfungsi sebagai alat komunikasi, lambang identitas masyarakat Minangkabau dan pendukung kebudayaan. Seperti yang dikatakan Isman (1978) bahwa (a) bahasa Minangkabau berfungsi sebagai alat komunikasi, (b) bahasa Minangkabau berfungsi sebagai alat intraetnik, lisan, formal dan informal, (c) bahasa Minangkabau sebagai media pendukung kebudayaan, melalui karya – karya sastra, kesenian dan upacara – upacara adat daerah, (d) bahasa Minangkabau berfungsi sebagai lambang identitas daerah.
Menstereotipkan suatu kelompok tertentu adalah hal yang sering dilakukan oleh banyak orang. Batak misalnya sering distereotipkan sebagai orang yang kasar, bicara apa adanya dan suka berterus terang, sedangkan orang jawa sering distereotipkan sebagai orang yang berbahasnya halus, jalannya pelan, tindak tanduknya sopan dan seterusnya. Orang Minangkabau juga sering distereotipkan dengan orang kasar, dan suka berterus terang. Tampaknya menstereotipkan sekelompok orang tertentu juga dilakukan orang terhadap laki – laki dan perempuan. Walaupun tiap budaya mungkin memiliki stereotipnya sendiri - sendiri seperti di Minangkabau yang memiliki ideologi yang unik, yaitu ideologi matrilinial.
Kajian ideologi membicarakan hubungan bahasa dengan masyarakat dan kebudayaan, karena adanya pengaruh tuntutan sosial politik. Pengaruh kekuasaan terhadap sejarah, politik, sistem masyarakat, nilai, sastra dan budaya membentuk pandangan masyarakat sehingga menyakini suatu konsep sebagai kebenaran yang wajar ini dinamakan ideologi. Contohnya pandangan yang sudah menjadi ilmu atau teori yang dipercayai seperti orang Melayu malas, orang Minangkabau suka kawin. Konsep ini dilahirkan oleh penguasa yang dominan yang dapat membentuk pandangan masyarakat terhadap suatu objek sehingga masyarakat tersebut secara wajar mempunyai pandangan atau ilmu tadi. Kewajaran ini selanjutnya merepresentasikan gambaran tersebut menjadi yang absah dan diyakini.
Para ahli antropologi pada abad 19, seperti J. Lublock, G. A Wilken dan sebagaimana berpendapat bahwa pada mulanya manusia hidup berkelompok, kumpul kebo dan melahirkan keturunan tanpa ikatan. Kelompok keluarga batin (nuclear family) yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak seperti sekarang belum ada. Anak-anak hanya mengenal ibunya, dan tidak tahu siapa, dan dimana ayahnya, maka hubungan ibu dan anak-anaknya disebut satu kelompok keluarga. Dalam kelompok keluarga ”ibu dan anak-anaknya ”ini menjadi kepala keluarga adalah ”ibu”. Dalam kelompok ini mulailah berlaku aturan bahwa persenggamaan (persetubuhan) antara ibu dan anak lelakinya dihindari dan dipantangkan (tabu). Inilah asal mula perkawinan di luar batas kelompok sendiri yang disebut ”adat eksogami”. Artinya adalah perkawinan hanya boleh dilakukan oleh pihak luar dan sebaliknya perkawinan dalam kelompok setrumpun tidak dibenarkan sepanjang adat.
Kelompok keluarga tadi makin lama makin bertambah besar anggotanya. Karena garis keturunan selalu diperhitungkan menurut ”garis ibu”, maka dengan demikian terbentuk suatu masyarakat yang oleh para sarjana, seperti Wilken disebut masyarakat matriarchat. Istilah matriarchat yang berarti ibu yang berkuasa sudah ditinggalkan.
Para ahli sudah tahu bahwa sistem ”ibu yang berkuasa” tidak ada. Yang ada ialah kelompok keluarga yang mengetahui prinsip silsilah keturunan yang diperhitungkan melalui garis ibu atau dalam bahasa asing disebut garis ”matrilinial”.
Gerakan feminisme yang mengusung kesetaraan gender yang ramai dibicarakan saat ini sejatinya tidak diperlukan di Sumatera Barat yang berazaskan falsafah adat Minangkabau. Perempuan mempunyai kedudukan yang tinggi dalam pandangan adat Minangkabau. Dalam ajaran adat Minangkabau ditanamkan rasa hormat dan memuliakan perempuan sebagai keagungan di dalam hidup berkaum dan berkeluarga yang menjadi lambang keturunan di Minangkabau atau disebut juga dengan matrilinial.
Di Minangkabau keturunan ditarik dari garis ibu. Seorang anak yang dilahirkan ,baik laki-laki maupun perempuan akan mempunyai suku yang sama denga ibunya. Bukan menurut suku bapak seperti kebanyakanan di daerah lain di Indonesia, bahkan di dunia yang pada umumnya menganut patrinial. Kaum ibu disebut dengan “Bundo kanduang”, bundo adalah ibu, kanduang adalah sejati. Jadi bundo kanduang adalah ibu sejati yang memiliki sifat-sifat keibuan dan kepemimpinan.
Menurut adat Minangkabau rumah tempat kediaman diutamakan untuk perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari di Minangkabau orang akan mengatakan ”pulang ke rumah ibu”, bukan pulang ke rumah bapak. Demikian juga dikatakan pulang ke rumah istri”. Bukan pulang ke rumah suami. Seorang bapak belumlah puas kalau belum dapat membuatkan rumah untuk anak perempuannya. Setiap terjadi perkawinan, maka pihak laki-lakilah yang datang ke rumah perempuan, apabila terjadi perceraian, maka laki-laki akan keluar dari rumah, kembali ke rumah ibunya, sdangkan perempuan tetap tinggal di rumahnya.
Dalam bidang perekonomian di Minangkabau perempuan memegang peranan penting, karena dianggap perempuan bersifat ekonomis dan lebih teliti, maka padanya di percayakan untuk mengatur penggunaan hasil sawah dan ladang. Seperti yang diungkapkan pepatah adat : ”umbun puruik pegangan kunci, umbun puruik aluang bunian”, yang artinya bahwa hasil ekonomi sebagai pegangan kuncinya adalah bundo kanduang rangkiang yang berfungsi untuk menyimpan hasil sawah ladang terletak di halaman rumah Gadang yang ditempati di halaman rumah Gadang yang ditempati oleh bundo kanduang.
Dalam musyawarah dan mufakat di Minangkabau perempuan mempunyai hak yang sama dengan kaum laki-laki. Ketika akan menentukan kegiatan ataupun mendirikan gelar pusaka harus melalui persetujuan bundo kanduang. Demikian juga halnya dengan harta pusaka untuk kepentingan bersama, apabila menggadai dan menghibah harta harus dengan kesepakatan bersama termasuk kaum perempuan.
Dalam sistem kekerabatan matrilinial ini, suku memiliki arti yang sangat penting bagi siapa saja yang menjadi anggota kekerabatan Minangkabau, karena suku adalah unit utama penopang struktur sosial Minangkabau. Menurut Sukmawati (2006) seseorang tidak dapat dipandang sebagai orang Minangkabau kalau dia tidak memiliki suku. Suku bersifat eksogamis, kecuali bila tidak lagi dapat ditelusuri hubungan keluarga antara dua buah suku yang senama, tetapi terdapat di kampung yang berlainan. Oleh karena orang yang mempunyai suku yang sama biasanya menempati lokasi yang sama, karena itu suku bisa berarti geneologis tetapi bisa juga diartikan teritorial, sedangkan kampung tanpa dikaitkan dengan salah satu suku tertentu hanya mengandung teritorial.
Tiap suku pada masyarakat Minangkabau biasanya terdiri dari beberapa paruik, dan dikepalai oleh kepala paruik atau tungganai. Paruik terbagi kealam jurai, dan jurai terbagi pula ke dalam saMande (artinya : satu ibu). Jadi pada struktur sosial masyarakat Minangkabau ini, terutam pada sebuah nagari akan ada beberapa suku, minimal ada empat suku. Empat suku yang dianggap sebagai suku asal adalah suku Koto, Piliang, Bodi dan chaniago. Dari empat suku pokok ini, menurut Sukmawati (2006) teah berkembang sebagai cabang-cabangnya menjadi kira-kira 96 suku yang berbeda-beda yang tersebut di seluruh Minangkabau.
Setiap suku terdiri dari pariuk dan pariuk terdiri dari jurai, di dalam jurai terdapat unit keluarga yang terkecil yang disebut saMande. Paruik atau sering juga disebut saparuik adalah kumpulan suatu keluarga besar yang tinggal dalam sebuah rumah Gadang dan dikepalai oleh seorang tungganai (Mamak rumah) yakni saudara laki-laki tertua dari sebuah keluarga, dan dalam bentuk yang lebih besar disebut sapayuang, yakni kumpulan dari beberapa rumah yang berada di bawah kepemimpinan seorang penghulu, sedangkan yang dimaksud dengan suku atau sasuku adalah gabungan dari beberapa kelompok di bawah pimpinan penghulu yang memiliki pertalian daerah dan diyakini sama-sama berasal dari satu nenek moyang yang tidak mereka kenali.
Dalam masyarakat Minangkabau tradisional ayah bukanlah anggota dari keturunan anak-anaknya. Dia dianggap tamu dan diperilakukan sebagai tamu dalam keluarganya, dan tujuannya hanya memberi keturunan. Dalam keluarga istrinya dia disebut sumando atau urang sumando. Seorang lelaki walau dianggap tamu di rumah istrinya, namun di rumah keluarga ibunya dia mempunyai fungsi yang besar, yaitu menurut garis keturunan ibunya dia berfungsi sebagai anggota keluarga laki-laki. Dia memiliki tugas sebagai wali dari garis keturunanya dan pelindung atas harta benda garis keturunannya tersebut, tetapi ia harus mampu menahan diri menikmati hasil tanah kaumnya oleh karena dia tidak dapat menikmati hasil tanah kaumnya karena dia tidak punya hak apa-apa.
Posisi seorang laki-laki dalam masyarakat Minangkabau, walaupun dia memiliki wewenang untuk mengatur, memelihara dan bertanggung jawab untuk melindungi keberlanjutan sistem pemilikan dalam garis keturunannya, namun pada hakikatnya dia adalah marginal dalam lingkungan keluarganya sendiri. Seorang lelaki di dalam rumah Gadangnya, dia tidak diberi tempat di rumah ibunya (orangtuanya), oleh karena semua bilik ibunya diperuntukkan untuk keluarga yang perempuan yakni untuk menerima suami-suami mereka dimalam hari. Posisi kaum laki-laki yang goyah ini bersifat sangat krusial.
Secara tradisional sebenarnya seorang laki-laki mempunyai peran ganda, yakni di dalam keluarga nan saparuik dan di rumah istrinya. Dalam keluarga ibunya dia bersifat sebagai pemimpin terhadap kemenakannya (anak saudara perempuannya), tetapi sekarang karena pengaruh agama islam, seorang lelaki juga harus bertanggungjawab kepada anak-anaknya. Menurut Herman Sihombing (Sukmawati, 2006) sistem matrilinial Minangkabau telah memeberikan kekuasaan yang besar pada kaum ibu, padahal kekuasaan dan kepemimpinan berada ditangan lelaki, seperti kepala adat, penghulu Mamak kepala waris, tungganai Mamak rumah.
Dalam konteks kepemimpinan ini atau kekuasaan ini ada sebuah kemenakan seperintah Mamak. Ungkapan adat lainnya juga menjelaskan, kamanakan barajo ka Mamak, Mamak barajo ka panghulu, panghulu barajo ka, mufakek, mufakek barajo ka nan bana, nan bana badiri sandirinyo.
Ungkapan adat ini memperlihatkan bagaimana struktur kekuasaan dalam masyarakat Minangkabau tradisional berlaku, sehingga seorang laki-laki yang dipanggil Mamak oleh kemenakannya, memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting dalam keluarga matrilinial. Hal seperti yang dikonsepkan oleh Geertz yaitu konsep model for, dimana Mamak dan kemenakan adalah hubungn yang saling mengikat. Mamak berkewajiban membimbing kemenakannya harus mematuhi sampai dia menjadi ”orang”, dan kemenakan harus mematuhi segala nasihat dan arahan yang dilakukan oleh Mamaknya. Dalam sebuah rumah Gadang, segala yang behubungn dengn rumah Gadang umumnya berada di bawah kontrol Mamak.
Namun pada masa sekarang ini struktur hubungan dalam keluarga Minangkabau tradisional sudah mengalami perubahan dan pergeseran. Hal ini seperti yang dikemukakan Sairin (Sukamawati,2006), bahwa secara evolutif telah mengalami berbagai perubahan. Hubungan Mamak dan kemenakan semakin melonggar, sedangkan hubungan ayah dan anak semakin kuat. Perubahan ini diikuti pula dengan semakin berkurangnya peranan extended family dalam rumah tangga Minangkabau, lalu kecendrungan untuk hidup dalam bentuk nuclear family semakin meningkat.

2. Masalah
Berdasarkan perbincangan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam masalah ini adalah bagaimanakah bahasa yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau yang menganut ideologi matrilinial ?

3. Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk melihat bagaimana bahasa yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau yang menganut ideologi matrilinial.

4. Kerangka Teori
Bahasa adalah isyarat-isyarat vokalik yang arbitrer yang digunakana oleh anggota masyarakat (kumpulan sosial) untuk kegunaan bagi kerjasama, pengertian bersama demikian pula mengidentifikasikan orang lain, maupun keperluan harapan dan hasrat keinginan (Ridwan, 2003).
Linguis femina cendrung berbicara tentang pendekatan peran sosial perempuan dan laki-laki, walaupun fokus utama penelitian gender ini kepada perempuan. Seperti dikatakan Lakoff (1975), bahwa bahasa perempuan sebenarnya produk sosialisasi sejak masa kanak-kanak yang diciptakan orang tua figur otoritas kepada anak-anak perempuan memerankan bahasa dan perilaku yang feminim. Seperti cara berbicara, cara berpakaian, bermain dengan boneka, menghindari kekerasan yang ke semua dominasi ini telah memainkan norma-norma kultural perempuan secara fisik.
Tannen (1990;1993;1994) mengatakan bahwa baik perempuan maupun laki-laki berorientasi pada seperangkat ideologi bahwa laki-laki mementingkan status dan perempuan berorientasi pada afiliasi bergabungan. Tannen juga mengatakan bahasa perempuan adalah karakteristik bahasa yang digunakan perempuan dan perempuan wujud sebelum bahasa.
Sistem bahasa ditelaah denganperilaku wanita dewasa, dan bahasa ditonjolkan sebagai alat yang mengabsahkan struktur perilaku dengan memasukkannya di atas kategori umum dan laki-laki. Bersama-sama dengan sistem bahasa, perilaku kebahasaan dibuat sebagai objek telaah disiplin penelitian baru dan isu perbedaan jender diteliti dalam gaya komunikasi (Gubert and Kotthoff, 1991). Selain itu adanya asumsi bahwa seksis sistem individu mempunyai unsur leksikal, morfologi dan gramatikal didasarkan pada premis bahwa sejarah panjang dibuat atas dasar pembuat kebijakan publik bahwa laki-laki tidak hanya menentukan ekonomi, politik dan orientasi sosial dalam kehidupan sosial tetapi juga mempengaruhi pemungsian dan pensubstansian semanik bahasa individu (Postle, 1991).
Gender digunakan secara sosiolinguis atau sebagai sebuah kategori konseptual, dan ia telah diberikan sebuah makna yang sangat khusus. Dalam perwuudan barunya, gender merujuk kepada defenisi sosial budaya dari laki-laki dan perempuan, cara masyarakat membedakan laki-laki dan perempuan serta memberikan peran-peran sosial kepada mereka.

5. Metode
Kajian ini menggunakan metode kepustakaan, yaitu dengan membaca buku-buku yang berhubungan dengan kajian. Data diambil dari buku-buku yang ada hubungannya dengan masalah ideologi matrilinial.
6. Analisis
Kajian ini menganalisis tentang gender kebahasaan Minangkabau dilihat dari sudut leksikon. Bagi orang Minang nama itu penting. Ketek Benamo-Gadang Bagala. Katiko Ketek Disabuik Namo Alah Gadang Disabuik Gala. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa yang dikatakan sepesukuan sebagai unit terkecil dalam sistem kekerabatan Minang, terdiri dari 5 lapis generasi atau keturunan. Mungkin dalam satu masa tidak terdapat kelima tingkat keturunan itu, karena hal itu sangat tergantung dari usia rata-rata anggota suku dari tiap generasi.

Panggilan Sesama Anak
Adik memanggil kakaknya yang perempuan dengan ”uni” dan ”uda” untuk kakak lelaki. Antara mereka yang seusia, memanggil nama masing-masing. Si ana memanggil si ani dengan menyebut ani. Si husin memanggil si hasan dengan sebutan hasan. Mande dan Mamak satu generasi yang lebih tua memanggil anak-anak dengan panggilan kesayangan ”Upiak”, pada anak perempuan dan ” Buyuang” untuk anak laki-laki.
Panggilan Untuk Ibu Dan Paman
Anak sebagai generasi terbawah dalam sususnan pesukuan Minang mempunyai panggilan kehormatan terhadap ibu dan saudara ibunya, serta generasi yang berada di atasnya. Anak memanggil ibunya dengan Mande-Amai-Ayai-Biyai-Bundo-Audeh dan di zaman modern ini dengan sebutan Mama-Mami-Amak-Ummi dan ibu.
Jika ibu kita mempunyai saudara perempuan yang lebih tua dari ibu kita (kakak ibu), maka sebagai anak kita memanggilnya dengan istilah mak adang yang berasal dari kata Mande dan Gadang. Bila ibu mempunyai adik perempuan, maka kita memanggilnya dengan mak etek atau etek ysng berasal dari kata Mande dan ketek. Bila ibu kita mempunyai saudara laki-laki, kita panggil beliau dengan Mamak. Semua lelaki dalam persukuan itu, dan dalam suku yang serumpun yang menjadi kakak atau adik dari ibu kita disebut Mamak. Jadi Mamak tidak hanya sebatas saudara kandung ibu, tapi semua lelaki yang segenerasi dengan ibu kita dalam suku yang serumpun. Dengan demikian kita punya Mamak kanduang, Mamak sejengkal, Mamak sekasta, Mamak sedepa sesuai dengan jarak hubungan kekeluargaaan. Mamak kanduang adalah Mamak dalam lingkungan Semande. Mamak tertua yang lebih tua dari ibu kita, kita panggil dengan istilah mak adang dari singkatan Mamak nan Gadang, sedangkan yang lebih muda dari ibu kita, kita sebut dengan mak etek atau Mamak nan ketek. Mamak yang berusia antara yang tertua dan yang termuda dipanggil dengan mak angah atau Mamak nan tangah.
Selanjutnya kajian ini mengambil tata cara maresek dan maminang adat Minangkabau. Perkawinan adat Minangkabau dimulai dengan cara maresek. Maresek ini dilakukan untuk penjajakan pertama. Sesuai dengan sistem kekerabatan matrilinial yang berlaku di Minangkabau, maka yang melakukan penjajakan adalah pihak perempuan. Untuk melakukan perisikan ini tidak perlu ayah-ibu atau Mamak-Mamak langsung dari si gadis yang datang. Biasanya perempuan perempuan yang sudah berpengalaman untuk urusan-urusan semacam itu yang diutus terlebih dahulu. Tujuannya untuk mengajuk-ajuk pemuda yang dituju, apakah sudah ada niat untuk dikawinkan dengan anak gadis si anu yang juga sudah berniat untuk berumah tangga.
Jika Mamak atau ayah bundanya nampak memberikan respon yang baik, maka angin baik ini segera disampaikan kembali oleh si telangkah tadi kepada Mamak dan ayah bunda si gadis.
Urusan resek meresek ini tidak hanya berlaku dalam tradisi lama, tetapi juga berlaku sampai sekarang bagi keluarga yang masih berada di Sumatera Barat, maupun bagi mereka yang sudah bermukin di rantau-rantau. Terutama tentu saja bagi keluarga-keluarga yang keputusan-keputusan penting mengenai hidup dan masa depan anak-anaknya masih tergantung kepada orang tua mereka. Untuk kasus-kasus semacam ini siapa saja boleh melakukan penjajakan terlebih dahulu. Seperti petatah petitih di bawah ini ;
Sia marundak sia bungkuak
Sia malompek sia patah
Artinya,
Siapa yang lebih berkehendak
Tentulah dia yang harus mengalah
Kemudian masuk kepada acara maminang,
Pada hari yang telah ditentukan, pihak keluarga anak gads yang akan dijodohkan datang ke rumah keluarga clon pemud yang dituju dipimpin oleh Mamak-Mamaknya. Pertemuan resmi ini diikuti oleh ayah-ibu si gadis diikuti oleh beberapa orang wanita yang patut-patut dari keluarganya. Rombongan biasanya juga membawa seorang juru bicara yang pandai berkata-kata, jika si Mamak sendiri bukan orang yang ahli untuk itu. Pertemuan ini diikuti dengan bertukar tando antara pihak laki-laki dan perempuan sebagai tanda ikatan sesuai dengan perjanjian di bawah ini ;
Batampuk lah buliah dijinjiang
Batali bah buliah diirik
Artinya,
Kalau tanda telah dipertukarkan dalam satu acara resmi oleh keluarga kedua belah pihak, maka bukan saja antar kedua anak muda tersebut telah ada keterikatan dan pengesahan masyarakat sebagai dua orang yang telah bertunangan, tetapi juga antar kedua belah keluarga pun telah terikat untuk saling mengisi adat dan terikat untuk tidak memutuskan secara sepihak perjanjian yang telah disepakati itu.
Barang-barang yang dibawa waktu maminang yang utama adalah sirih pinang lengkap. Apakah disusun dalam carano atau dibawa dengan kampia, tidak menjadi sosial yang penting sirih lengkap harus ada. Tidak disebut beradat sebuah acara, kalau tidak ada sirih diketengahkan.
Pada daun sirih ada dua rasa di lidah yaitu pahit dan manis, terkandung simbol-simbol tentang harapan dan kearifan manusia akan kekurangan-kekurangan mereka. Lazim dalam pertemuan itu terjadi kekhilafan-kekhilafan, baik dalam tindak-tanduk maupun dalam perkataan, maka dengan menyuguhkan sirih diawal pertemun, maka segala yang janggal tidak akan jadi gunjingan. Sebagaimana dalam pasambahan siriah disebutkan ;
Kok siriah lah kami makan
Manih lah lakek diujung lidah
Pahi lah luluah karangkuangan

Artinya,
Jika sirih sudah kami makan
Yang manis lekat diuung lidah
Yang pahit lolos di kerongkongan
Artinya orang tidak lagi mengingat-ingat segala yang jelek, haknya yang manis saja pada pertemuan itu, yang akan melekat dalam kenang-kenangannya.
Kalau disepakati sebelumnya bahwa pada acara maminang tersebut sekaligus juga akan dilangsungkan acara batuka tando atau batimbang tando, maka benda yang akan dipertukarkan sebagai tanda itu juga dibawa, yang tentu saja diletakkan pada satu wadah yang sudah dihiasi dengan bagus (dulung atau nampan). Yang dijadikan sebagai tanda untuk dipertukarkan lazimnya adalah benda-benda pusaka, seperti keris atau kain adat yang mengandung nilai sejarah bagi keluarga. Jadi bukan dinilai dari kebaruan dan kemahalan harganya, tetapi justru karena sejarahnya itu sangat berarti dan tidak dapat dinilai dengan uang. Umpamanya sebuah kain balapak yang pernah diwariskan oleh nenek si gadis sebelum meninggal, atau kain adat yang pernah dipakai oleh ibu si gadis pada perkawinannya puluhan tahun yang lalu.
Karena nilai-nilai sejarahnya inilah, maka barang-barang yang dijadikan tanda itu menjadi sangat berharga bagi keluarga yang bersangkutan dan karena itu pula, maka setelah nanti akad nikah dilangsungkan, masing-masing tanda ini harus dikembalikan lagi dalam suatu acara resmi oleh kedua belak pihak.
Sesuai dengan etika pergaulan,bertandang biasapun buah tangan, maka dalam acara resmi beradat seyogyanya pihak rombongan yang datang juga membawa kue-kue atau buah-buahan sebagai oleh-oleh.
Urutan Acara
Pembicaraan dalam acara maminang dan batuka tando berlangsung antara Mamak atau wakil dari pihak si gadis dengan Mamak atau wakil dari pihak keluarga pemuda. Bertolak dari penjajakan. Penjajakan yang telah dilakukan sebelumnyanya ada empat hal secara simultan yang dapat dibicarakan, dimufakati dan diputuskan oleh kedua belah pihak saat ini.
· Melamar : Menyampaikan secara resmi lamaran dari pihak keluarga si gadis kepada pihak si pemuda
· Batuka tando : Memperembukkan tata cara yang akan dilaksanakan nanti dalam penjemputan calon pengantin pria waktu akan dinikahkan
· Manakuak hari : Menentukan waktu kapan niat itu akan dilaksanakan

7. Kesimpulan
Dari uraian di atas, maka diambil kesimpulan bahwa bahasa yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau sama seperti masyarakat yang Patrilinal. Di mana bahasa wanita tetap harus lemah lembut dan santun. Dari sudut budaya memang wanita kedudukannya di atas lelaki. Dan wanita sebagai penurun suku bagi anak-anaknya. Namun dari sudut bahasa tetap lelaki lebih dominan.


Daftar Pustaka
Hamka. 1984. Islam dan Adat Minangkabau. Pustaka Panjimas. Jakarta.
Navis. 1984. Alam Terkandung Jadi Guru. PT. Grafiti Pers. Jakarta.
Sukmawati, Noni. 2006. Ratapan Perempuan Minangkabau Dalam Pertunjukan Baguran. Andalas University Press. Padang.
Lakoff, Robin. 1975. Language Anal Women’s Place. New York : Harper &Row.
Tannen, Deborah. 1990. You Just Don’t Understand. New Yorh : Morrow.
. 1993. Gender and Convensational Interaction. Oxford : Oxford University Press.
. 1994. Gender and Discourse : Oxford : Oxford University press.
Ridwan, A. 2003. Bahasa dan Linguistik : Universitas Sumatera Utara.





[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Staf Pengajar Departemen Sastra Daerah Fakultas Sastra USU, dan sedang mengikuti program Doktor di Linguistik USU Medan

Tidak ada komentar: