01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 12

MAKNA SIMBOLIK
Benda-Benda Dalam Upacara Jamuan Laut
[1]
Oleh: Umar Mono[2]

Abstrak
Makalah ini membahas tentang makna simbolik benda-benda yang dipersembahkan dalam upacara jamuan laut , bentuk bahasa dan kata-kata budaya yang terdapat di dalam mantera yang diucapkan oleh pawang.

1. Pendahuluan
Banyak definisi kebudayaan yang diberikan oleh pakar kebudayaan.
Salah satu definisi kebudayaaan adalah perbuatan yang mempunyai seperangkat ciri-ciri dalam masyarakat yang terwujud dalam berbagai interaksi sosial yang melibatkan sebagian atau keseluruhan anggota masyarakat (Suparlan,1980). Dengan adanya wujud berbagai interaksi sosial itu akan menimbulkan berbagai tindakan yang dilakukan oleh masyarakat secara kolektif untuk tujuan-tujuan tertentu. Salah satu dari tindakan itu adalah kegiatan ritual yang dilakukan oleh masyarakat di Jaring Halus, Kabupaten Langkat. Masyarakat di Jaring Halus pada umumnya adalah nelayan yang banyak bergantung pada keadaan laut. Ketika mereka menghadapi tantangan laut yang dapat menimbulkan masalah bagi kehidupan mereka, mereka akan mengadakan ritual (jamuan laut) agar mereka dapat terhindar dari malapetaka ketika melaut sehingga hasil tangkapan tetap memadai. Upacara ini dipimpin oleh seorang pawang yang dipercayai mempunyai kemampuan khusus yang berhubungan alam supranatural. Dengan kemampuan ini melalui mantera-mantera yang diucapkannya, dia mampu berinteraksi dengan penguasa laut yang tidak kasat mata. Upacara ini dilakukan dengan memberikan sesajian persembahan kepada penguasa laut yang dipercayai oleh masyarakat tersebut sebagai suatu kekuasan yang dapat memberikan keuntungan atau kebahagiaan, dan kemarahan yang dapat mengurangi rezeki bagi kehidupan mereka.
Makalah ini akan membahas: (1) tentang benda-benda apa saja yang dipersembahkan dan apa makna simbolik dari benda-benda tersebut, (2) bagaimana bentuk bahasa dan apa kata-kata yang berciri khas budaya dalam mantera yang diucapkan oleh pawang ketika dia melaksanakan upacara ini.
Sejalan dengan masalah di atas, maka tujuan dari makalah ini adalah (1) untuk mengetahui benda-benda apa saja yang dipersembahkan dan apa makna simbolik dari benda-benda itu, (2) untuk mengetahui bagaimana bentuk bahasa mantera dan apa kata-kata yang berciri khas budaya dalam mantera yang diucapkan oleh pawang ketika dia melaksanakan upacara ini.
Kedua masalah di atas dibahas dengan sistematis berdasarkan urutan-urutannya.

2. Temuan Awal dan Pembahasan
a. Temuan Awal
Temuan awal benda-benda yang dipersembahkan dalam upacara jamuan laut ini mencakupi makanan dan jenis tumbuhan, hewan, dan benda keras. Sementara bentuk bahasa mantera berbentuk syair yang berulang-ulang .
b. Pembahasan
1. Benda-benda yang Dipersembahkan
· Persembahan Berupa Makanan dan Jenis Tumbuhan
Jenis makanan yang dipersembahkan mencakupi cucur, buah melaka, lepat manis, apam, kue rubiah dan kue keras yang diletakkan dalam satu talam. Kue-kue ini melambangkan keragaman suku bangsa yang ada. Kue cucur melambangkan suku bangsa Keling, buah melaka melambangkan suku bangsa Cina yang berasal dari Melaka, lepat manis melambangkan suku Batak dan Mandailing , dan kue rubiah melambangkan suku bangsa Arab. Semua jenis kue ini dibuat dari bahan yang sama yang melambangkan semua suku bangsa itu pada dasarnya berasal dari satu zat.


· Beras Putih
Beras putih melambangkan rasa ikhlas dan kesungguhan dalam bermasyarakat. Di samping itu, beras putih juga melambangkan pengukuhan adat yang berlaku dan sebagai tali penghubung antara manusia dan mahluk-mahluk halus di laut dan penghargaan kepada mahluk-mahluk halus ini.
· Beras Kuning
Beras melambangkan kebutuhan pokok manusia dan kuning melambangkan penghormatan kepada mahluk-mahluk penguasa laut. Beras putih dan kuning ini dibuat dalam satu piring yang melambangkan kesatuan dalam keragaman masyarakat dan pengharapan kepada mahluk-mahluk halus agar diberikan kesejateraan dan keamanan dalam mencari nafkah di laut.
· Bertih
Bertih adalah padi yang disangrai, digongseng atau digoreng tanpa menggunakan minyak makan. Padi tersebut disangrai sampai terpisah antara lapung padi dengan beras yang sudah mengembang dan berwarna putih. Bertih juga melambangkan keikhlasan dan kesungguhan dalam bermasyarakat, dan penghargaan kepada mahluk halus penunggu laut.
· Sembilan Pohon Bakau
Sembilan pohon bakau melambangkan penangkal gangguan mahluk halus di laut agar tidak merusak pohon (hutan) bakau yang menjadi tempat sumber mencari nafkah dan masyarakat agar tetap menjaga kelestarian hutan.
· Limau Purut
Limau purut sejenis limau (jeruk) yang harum dan sering digunakan untuk mencuci rambut dan airnya selalu digunakan sebagai pewangi dalam acara tepung tawar. Limau purut ini melambangkan adat yang mempunyai marwah, pembersih bagi siapa saja, terutama pelaksana adat dan mahluk halus penunggu laut.



· Persembahan Berupa Hewan
Kambing hitam jantan disembelih. Bagian kepala dan darahnya diambil sebagai pelengkap upacara, sedangkan dagingnya dimasak dan dimakan bersama sebagai hidangan. Bagian kepala dan darah melambangkan ketegaran, kesatuan antar masyarakat, dan masyarakat dengan alam dan kepatuhan pada kearifan leluhur.
· Dua Ekor Ayam Putih
Ayam putih disembelih dan darahnya diambil sebagai persembahan dalam upacara. Ayam putih melambangkan penghargaan terhadap panglima tertinggi mahluk halus laut agar masyarakat nelayan terhindar dari bahaya laut.
· Logam, Cawan dan Pakaian Putih
Logam, cawan dan pakaian putih dibungkus menjadi satu untuk kelengkapan persembahan dalam upacara. Semua ini melambangkan perpaduan dan kebersamaan jiwa yang bersih dan ikhlas antara sesama anggota masyarakat dan mahluk-mahluk halus di laut.
· Pawang Berpakaian Serba Putih
Pawang berpakaian putih, celana putih, ikat kepala putih melambangkan kebersihan tidak hanya raga tetapi juga jiwa dan keteladan pawang dalam masyarakat.
· Darah, Tulang dan Air
Darah dan tulang melambangkan keragaman, sifat dari mahluk Tuhan yang diciptanyakanNya. Air melambangkan kebutuhan utama dan kehidupan.
· Gambar Ikan
Gambar beragam ikan melambangkan keragaman biota laut yang menjadi sumber pengharapan mencari nafkah masyarakat. Masyarakat berharap hasil tangkapan mereka memadai.




· Kemenyan
Asap kemenyan yang dibakar pawang ketika memulai upacara melambangkan komunikasi antara pawang dengan mahluk-mahluk halus dengan harapan agar mahluk halus tidak mengganggu masyarakat ketika melaut.

2. Bentuk Bahasa Mantera dan Kata-kata Khas Budaya
· Bahasa mantera berbentuk syair yang beberapa kata, baris atau larik yang diucapkan berulang-ulang pada awal (anapora/kata-kata yang ditulis tebal) , akhir (epifora/kata-kata yang ditulis miring), awal dan akhir (simplok/kata-kata yang digarisbawahi), dan tengah (responsi/kata-kata yang ditulis tebal dan bergaris) dalam kedudukan sejajar dan perulangan hampir menyeluruh melibatkan ulangan ke atas hampir semua perkataan dalam satu larik seperti yang tergambar dalam mantera-mantera di bawah ini:

Assalamu’alaikum ‘alaikummussalam
hai, Syaidina Alam
marilah bersama aku
akulah bomoh yang asal
bomoh yang usul
bomoh yang tidak tiru
bomoh yang turun temurun
marilah mu bersama-sama aku
aku nak buat kenduri khidmat
Assalamualaikum
aku kirim salam pada jin tanah
aku tahu asalmu
mu keluar dari air ketuban
bukan aku melepas bala mustaka
Sang Kaka Sang Kipat melepas bala mustaka
bukan aku melepas bala mustaka
Jin Taru melepas bala mustaka
bukan aku melepas bala mustaka
jin yang Tua melepas bala mustaka
aku melepas kweng keneng
lara hati bala mustaka
aku lepas pada tahun ini
aku lepas hari ini
aku lepas sekali dengan periuk belanga
aku lepas sekali dengan lekar, sudip, sendok
aku lepas sekali dengan lontoh tabib
terimalah persembahan ini
dengan sa tiga lima tujuh
lepas
Assalamualaikum (Mahzim, 2005:408-409)

Assalamu’alaikum alaikumussalam
ampun beribu ampun
maaf beribu maaf
nenek air jembalang air
yang duduk di atas air di tepi air
nenek yang alus bahasa alus
anak cucu yang kasar bahasa kasar
maaf beribu maaf
ampun beribu ampun
nenek air jembalang air
yang duduk di atas air
jangan diulah-ulahi anak cucu
wahai nenek, nenek air jembalang air
yang duduk di atas air di tepi air
ampun beribu ampun
maaf beribu maaf
terimalah persembahan anak cucu
wahai nenek air jembalang air
yang duduk di atas tepi air
banyak bertanda ada
sikit tanda terkenang
inilah persembahan anak cucu
hendaklah diterima
wahai nenek air jembalang air
yang duduk di atas tepi air
maaf beribu maaf
ampun beribu ampun (Mahzim,2005:409-410)

Assalamu’alaikum ‘alaikumussalam
nenek puteri hijau
yang diam di galah jambu air
tempat jin turun berkecimpung
ampai pusat tasek pauh jenggi
galah jambu air
yang maha kuasa tanggungjawab
sampai pusat tasik pauh jenggi
mohon beta minta ampun minta maaf
terimalah persembahan anak cucu
nenek puteri hijau
banyak tanda ada
sikit tanda terkenang (Mahzim,2005:411)

Assalamu’alaikum ‘alaikumussalam
ampum beribu ampun
maaf beribu maaf sahabat Mat Kuis
jangan petik kelobu
nenek orang datu orang yang alus bahasa alus
anak cucu tubuh kasar bahasa kasar
maaf beribu maaf
ampun beribu ampun
datu Mat Kuis
jangan dihalangi anak cucu
jangan diulang lagi
harap beribu harap Datu Mat Kuis
beraklah ia di batang yang besar
janganlah diulah-ulahi lagi anak cucu
maaf beribu maaf
ampun beribu ampun Datu Mat Kuis
barkat la illaha illa’llah Muhammad Rasullullah (Mahzim,2005:411-412)


Adapun kata-kata yang mengandung nilai budaya adalah:
Assalamu’alaikum ‘alaikumussalam : ucapan salam umat Islam
Belanga : alat untuk memasak/menggoreng
Berkecimpung : mandi sambil memukul-mukul air
Berak : buang air besar
Bomoh : datu/pawang
Bomoh tidak tiru : datu/pawang sebenarnya
Bomoh turun temurun : datu/pawang satu rumpun
Bala : bahaya
Bala mustaka : pangkal bahaya
Jembalang : mahluk halus/hantu
Jembalang air : mahluk halus/hantu tinggal di air
Kenduri : upacara memberi makan
Kelabo : hati/kalbu
Kweng keneng : hubungan dengan yang mempunyai kekuatan luar biasa
la illaha illa’llah Muhammad Rasullullah
: pengakuan kebesaran Allah dan RasulNya Muhamad
Lara hati : kesedihan yang berkepanjangan
Lekar : alat untuk mengorek nasi
Lontoh tabib : kesaktian/kekuatan obat
Mat Kuis : penguasa/penunggu laut
Nak : mau/hendak
Nenek Puteri Hijau : penguasa/peneunggu laut
Pusat Tasek Pauh Jenggi : daerah laut tempat bermukim penunggu/penguasa laut
Periuk : alat untuk memasak nasi
Sudip : alat untuk menggoreng
Sikit : sedikit
Ulahi : diganggu

3. Simpulan
Upacara Jamuan Laut yang diselenggarakan oleh masyarakat Jaring Halus yang dipimpin oleh pawang diselenggarakan dalam rangka untuk menolak bala karena hasil melaut tidak memadai. Ketidakmadaian ini diyakini karena penguasa atau penunggu laut marah.
Dalam pelaksanaannya dialakukan persembahan yeng mencakupi peneyembelihan hewan, pembuatan beragam makanan yang melambangkan keikhlasan, kesatuan dan persatuan, dan kesucian,
Mantera yang diucapkan oleh pawang berupa syair merupakan media komunikasi antara pawang dengan penguasa laut atau penunggu laut yang bagian-bagiannya sering diulang-ulang dengan anapora, epifora, simplok, dan responsi yang tidak saja menggambarkan keindahan berbahasa, tetapi juga diyaini mengandung kekuatan supranatural.
Mantera yang diucapkan sebagian besar menggunakan bahasa Indonesia tetapi ada beberapa kata-kata yang mempertahankan unsur bahasa lokal, yakni bahasa Melayu,
Sekalipun masyarakat mempercayai adanya makhluk halus penguasa dan penunggu laut, tetapi bukan berarti mereka menyembahnya. Agama (Islam) tetap menjadi keyakinan hakiki yang dapat digambarkan melalui kata pembukaan assalamu’alaikum ‘allaikumussalam.
Daftar Bacaan
Eco, Umberto. 1979. A Theory of Semiotics. Bloomingon: Indiana University Press
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Mahzim, Syaifuddin Hj. Wan. 2005. Mantera dan Upacara Ritual Masyarakat Melayu Pesisir Di Sumatera Utara Kajian Tentang Fungsi dan Nilai-Nilai Budaya (Disertasi). University Sains Malaysia
Rizal, Yos dan Fadilla. 1995. Nilai-Nilai Religius dalam Mantera Jamuan Laut di Desa Kelambir Kecamatan Pantai Labu Kabupaten Deli Serdang (Laporan Penelitian). Medan: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Rizal, Yos. 2002. Unsur-Unsur Religius Dalam Mantera Jamuan Laut Masyarakat Melayu Pantai Labu Deli Serdang dalam Historisme No.14 tahun VII, Februari. Medan: Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Suparlan, Persudi. 1980. Kebudayaan, Masyarakat dan Agama di Indonesia. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Staf Pengajar Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan

Tidak ada komentar: