01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 17

HUBUNGAN ANTARA BAHASA DAN BUDAYA[1]
Suriyadi[2]

Abstrak

Bahasa merupakan suatu pesan yang diucapkan penutur kepada pendengar untuk menyatakan maksud. Bahasa itu sendiri merupakan produk budaya pemakai bahasa. Budaya selalu dilekatkan pada adat istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang tidak mudah diubah. Oleh karena itu, Budaya memiliki andil dalam pembentukan bahasa yang digunakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu sendiri. Makalah ini mencoba membahas hubungan bahasa dan budaya.


Pendahuluan

Bahasa dalam penggunaan (language in use) bukanlah sekedar alat komunikasi, tetapi lebih dari itu bahasa dalam penggunaan merupakan bagian dari pesan dalam komunikasi. Brown dan Yule (1983: 1) mengindikasikan hal di atas dengan istilah ‘transaksional’ dan ‘interpersonal’, sementara Halliday (1994: xiii) mengetengahkan istilah ‘ideasional’ dan ‘interpersonal’ dan menambahkan satu fungsi lagi, yaitu fungsi ‘tekstual’. Istilah transaksional atau ideasional mengacu pada fungsi bahasa untuk mengirim ‘isi pesan’ komunikasi, istilah interpesonal mengacu pada fungsi bahasa untuk membentuk ‘hubungan sosial’ dalam komunikasi tersebut, dan istilah tekstual mengacu pada fungsi ‘pengorganisasian’ gabungan kedua fungsi tersebut.
Sebagai bagian dari pesan, bahasa merupakan media untuk saling berhubungan antara penutur dan petutur. Dalam konteks tansaksional ini, manusia berinteraksi untuk membangun hubungan sosial dan memelihara hubungan sosial itu dengan menggunakan bahasa pula. Dalam berinteraksi, penutur di Kota Medan misalnya akan mengunakan beragam dialek dalam berkomunikasi karena masyarakat di Medan terdiri dari delapan etnis. Masing-masing penutur akan berkomukasi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara sadar atau tidak sadar menggunakan dialek bahasa daerahnya yang menyertai dalam berinteraksi dengan orang lain. Penggunaan dialek bahasa ini kelihatannya terkait dengan budaya.
Makalah ini akan mengkaji hubungan bahasa dengan budaya yang ada di Kota Medan. Kajian ini dianggap menarik karena masyarakatnya yang multietnis yang tersebar di Kota Medan menggunakan bahasa Indonsia sebagai bahasa sehari-hari. Selain itu, makalah ini juga mengkaji hubungan bahasa dan budaya dengan bahasa lainnya, dalam hal ini, bahasa Inggris
Berdasarkan uraian di atas, rumusan masalah yang akan dijawab dalam kajian ini adalah: “Apakah hubungan antara bahasa dan budaya?”
Tujuan penulisan makalah adalah untuk menjelaskan hubungan antara bahasa dan budaya.
Secara umum, manfaat kajian makalah ini adalah agar masyarakat pengguna bahasa memahami pentingnya hubungan antara bahasa dan budaya yang terjadi dalam interaksi sosial. Secara khusus, sebagai masukan bagi para pemerhati bahasa dan pengajar bahasa dalam upaya pembelajaran bagi para mahasiswanya.
Data penelitian ini bersumber dari observasi lapangan yang dilaksanakan di Kota Medan dan juga telaah kepustakaan. Data dikumpulkan kemudian diklasifikasi berdasarkan kelompok. Setelah itu, data dianalisis untuk menjawab pertanyaan yang diajukan.

Bahasa dan Budaya
Dalam interaksi sosial, kita tidak jarang menemukan bahwa apa yang kita ucapkan atau kita sampaikan kepada lawan bicara kita tidak bisa dipahami dengan baik. Kegagalan memahami pesan ini disebabkan beberapa faktor antara lain: beda usia, beda pendidikan, beda pengetahuan, dan lain-lain. Selain itu, faktor budaya juga berhubungan dengan bahasa. Kata Kamu dan Kau misalnya diucapkan berbeda dalam konteks budaya berbeda. Sebutan Bapak di negara yang menggunakan bahasa pengantarnya adalah bahasa Inggris menggantikannya dengan panggilan nama saja, misalnya John, dianggap sebagai hal yang wajar saja. Dengan perkataan lain, seorang anak, sah-sah saja mengatakan Bapaknya dengan sebutan nama Bapaknya itu sendiri. Berbeda halnya dengan budaya timur, sapaan nama bapak sebagai ganti sapaan Bapak dianggap sebagai orang yang tidak berbudaya. Begitu juga dengan kata mati dalam bahasa Indonesia memiliki beberapa kata yang memiliki makna yang sama, sedangkan dalam bahasa Inggris hanya memiliki dua kata saja yaitu die dan pass away.
Problematika hubungan antara bahasa dan budaya merupakan kajian yang sampai saat ini masih menjadi bahan perdebatan. Pengertian bahasa itu sendiri didefenisikan oleh para ahli bahasa dan sampai sekarang masih menjadi perdebatan yan g tidak habis-habisnya.
Loren Bagus, misalnya, memberi beberapa pengertian bahasa (1996):
Kumpulan kata-kata, arti kata-kata yang standar, dan bentuk-bentuk ucapan yang digunakan sebagai metode komunikasi.
Cara apa saja yang menyatakan isi-isi kesadaran (rasa perasaan, emosi, keinginan, pikiran) dan pola arti yang konsisten.
Kegiatan universal insan untuk membentuk sistem tanda-tanda sesuai dengan aturan asosiasi yang diterima umum.
Bahasa berarti bentuk-bentuk ucapan manusia yang dikondisikan secara historis dan sosial.
Bahasa adalah suatu sistem simbol-sismbol yang dapat digunakan untuk menyatakan atau menerangkan hal-hal seperti: (1) obyek material eksternal, (2) hal mental internal, (3) kualitas, (4) relasi, (5) tanda logika matematika, (6) fungsi, (7) kesadaran, (8) proses, dan (9) kejadian.

Hal yang sama terjadi pada pemahaman orang tentang budaya yang berbeda-beda dan dalam literatur kita menjumpai para ahli budaya mencoba menerangkan apa dan bagaimana budaya itu. Budaya, menurut kamus besar bahasa Indonesia (2002), (1) pikiran, akal budi, (2) adat istiadat, (3) sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradap, maju), (4) sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah.
Dari kedua fenomena di atas terlihat bahwa bahasa dan budaya memiliki hubungan yang saling mengikat untuk suatu tujuan interksi sosial di masyarakat. Pemahaman akan bahasa dan budaya merupakan suatu yang urgen untuk menghindari salah ucapan dan salah tindakan. Kata ganti orang kedua tunggal kamu dan kau misalnya memiliki latarbelakang pengalaman yang berbeda. Pronomina kata sapaan kamu digunakan untuk sapaan kepada si pendengar dengan hubungan sosial yang tidak intim. Sebaliknya, penggunaan pronomina kata sapaan kau lazim digunakan penutur bahasa jika lawan bicaranya tersebut adalah orang yang dekat dengan si penutur atau sahabatnya. Mengapa ini bisa terjadi? Budaya kita mengajarkan kepada kita adat istiadat yang harus dipatuhi oleh masyarakat pemakai bahasa. Kita tidak bisa mengatakan kau kepada kedua orang tua kita, atau kepada saudara-saudara kita yang lebih tua dari kita. Begitu juga dalam pergaulan sehari-hari, kita tidak lazim menggunakan kata sapaan kau untuk orang yang lebih tua dari kita.
Fenomena di atas menggambarkan kepada kita bahwa ada aturan permaian bagaimana kita berkomunikasi dalam berkehidupan masyarakat yang harus kita patuhi bersama yang lazim kita sebut dengan budaya. Budaya secara tidak langsung mempengaruhi perilaku kita dalam berkomunikasi. Budaya itu juga menjadi tolok ukur penggunaan bahasa dalam interaksi sosial.
Fenomena lain dapat digambarkan dalam sudut pandang sapaan dalam bahasa Inggris. Si anak dalam komunitas di negara-negara yang memiliki bahasa Inggris sebagai bahasa pengartar mereka dalam pergaulan sehari-hari menyebutkan panggilan kepada Bapaknya dengan sebutan nama saja, misalnya John dan buka father atau Daddy. Namun, kita juga sering menjumpai mereka lebih suka memanggil ayah atau bapak mereka dengan sebutan father atau daddy.
Kedua contoh di atas menggambarkan eratnya hubungan antara bahasa dan budaya. Bahwa bahasa mempengaruhi budaya, begitu juga sebaliknya bahwa budaya berpengaruh pada bahasa. Dalam Hipotesis Sapir-Whorf dinyatakan bahwa bahasa menentukan bukan hanya budaya tetapi juga cara dan jalan pikiran manusia(Allen & Corder 1973: 101) . Dengan perkataan lain, suatu bangsa yang berbeda bahasanya dari bangsa lain akan mempunyai jalan pikiran yang berbeda pula. Perbedaan-perbedaan budaya dan jalan pikiran manusia itu berawal dari perbedaan bahasa. Tanpa ada bahasa manusia tidak mempunyai pikiran sama sekali. Hipotesis Sapir-Whorp ini belum dapat dibuktikan sampai sekarang karena ilmu pengetahuan menekankan satunya jalan pikiran manusia. Dalam ilmu pengetahuan bahasa digunakan sebagai alat menyatakan pikiran. Suatu pikiran bila dinyatakan dalam satu bahasa tidak akan berbeda bila dinyatakan dalam bahasa lain. Dengan demikian, bahasa tidak mempengaruhi jalan pikiran, apalagi menentukan sebagaimana yang dinyatakan hipotesis Sapir-Whorf.
Perbedaan budaya ada kaitannya dengan perbedaan bahasa. Ini dapat dilihat jika kita menterjemahkan kalimat bahasa It rains cats and dogs ke dalam bahasa Indonesia yang berarti “hujan sangat lebat” dan bukan “hujan kucing dan anjing.” Budaya Inggris memiliki suatu realitas yang mendasar bahwa adat kebiasaan binatang seperti kucing dan anjing bila berjumpa akan saling bermusuhan. Dengan demikian, pemberian makna cats and dogs adalah suatu ungkapan yang menyatakan sesuatu yang terjadi secara terus menerus. Hal yang sama juga ada dalam bahasa Indonesia. Ungkapan Saya sudah membanting tulang mulai pagi hari sampai malam hari tidak bermakna bahwa saya “membanting tulang-tulang” yang ada dalam tubuh saya. Namun, makna membanting tulang yang disepakti dan menjadi kebiasaan dalam masyarakat pemakai bahasa Indonesia berarti “bekerja keras.”
Selain itu, kata meninggal dunia dalam budaya Indonesia dan budaya barat memiliki perbedaan yang jelas. Untuk menyatakan orang itu sudah tidak bernyawa lagi, masyarakat Indonesia memiliki beberapa kata, seperti wafat, mangkat, meninggal dunia, tewas, mati, lenyap, berpulangkerahmatullah, dan lain-lain. Dalam konteks budaya, ungkapan meninggal dunia merupakan hal yang paling lumrah dalam sejarah perjalanan kehidupan masyarakat Indonesia. Gambaran sejarah Indonesia yang berawal dari munculnya kerajaan-kerajaan di Indonesia tidak terlepas dari perebutan kekuasaan yang pada akhirnya diselesaikan dengan pertumpahan darah. Gambaran ini mencerminkan satu budaya penggunakan kata meninggal dunia dengan istilah nama-nama lainnya yang berhubungan dengan meninggal dunia.
Hal yang berbeda terjadi dalam bahasa Inggris. Meskipun sejarah negara-negara barat tak luput dari pergolakan peperangan, penggunaan kata meninggal dunia diekpresikan dengan dua kata saja yaitu die dan pass away. Pemilihan kata-kata yang sesuai untuk kepentingan interaksi sosial sangat tergantuk pada budaya tempat bahasa itu digunakan. Ini sejalan dengan apa yang dikemukan oleh Sumarjan & Partana (2002: 20) bahwa bahasa sering dianggap sebagai produk sosial atau produk budaya, bahkan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan itu. Sebagai produk sosial atau budaya tertentu, bahasa merupakan wadah aspirasi sosial, kegiatan dan perilaku masyarakat, wadah penyingkapan budaya termasuk teknologi yang diciptakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu. Bahasa bisa dianggap sebagai cermin zamannya. Artinya, bahasa itu dalam suatu masa tertentu mewadahi apa yang terjadi dalam masyarakat.
Bahasa sebagai hasil budaya mengandung nilai-nilai masyarakat penuturnya. Dalam bahasa Bali terdapat ungkapan berbunyi Da ngaden awak bisa (jangan menganggap diri ini mampu) mengandung nilai ajaran agar orang jangan merasa bisa; yang kira-kira senada dengan ungkapan dalam bahasa Jawa rumongso biso, nanginging ora biso rumongso (merasa mampu tetapi tidak mampu merasakan apa yang dirasakan orang lain).
Penutup

Hubungan bahasa dan budaya sangat erat. Di satu sisi bahasa merupakan alat untuk menyampaikan maksud antara apa yang dimaksudkan oleh si penutur, di lain sisi, bahasa itu merupakan produk budaya pemakai bahasa. Budaya selalu dilekatkan pada
adat istiadat, sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar diubah. Budaya memiliki andil dalam pembentukan bahasa yang digunakan oleh masyarakat pemakai bahasa itu sendiri

Rujukan
Allen, J.P.B & S. Pit Corder. Ed. 1973. Readings for Applied Linguistics. London: Oxford University.
Bagus, Lorens. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia.
Brown, Gillian & George Yule. 1983. Discourse Analysis. Cambridge: Cambridge University Press.
Halliday, M.A.K. 1985/1994. Introduction to Functional Grammar. Second edition. London: Edward Arnold.
Pusat Bahasa. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Sumarsono & Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Sabda.

[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Politeknik Negeri Medan

Tidak ada komentar: