01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 5

RETAKNYA IDENTITAS ETNIK MENUJU SUATU ETNISITAS
(Kajian Pusara, Saman, dan Larung)
[1]
Ikhwanuddin Nasution[2]


Pendahuluan
Saat ini, etnisitas menjadi perbincangan yang luas, hampir di berbagai seminar dibicarakan masalah etnisitas ini. Apa sebenarnya etnisitas itu? Apakah berkaitan dengan etnik atau etnis? Atau etnisitas itu sama dengan etnik? Menurut Barker (2005:257–258) mengatakan bahwa etnisitas itu merupakan suatu konsep budaya relasional yang terkait dengan kategori-kategori bersama dalam identifikasi-diri dan askripsi-sosial. Kategori-kategori bersama itu dapat berupa norma, nilai, keyakinan, simbol, dan praktik budaya. Sementara Liliweri (2001:335) mengatakan bahwa etnisitas itu merujuk pada penggolongan etnik berdasarkan afiliasi.
Dari dua pendapat tersebut terlihat adanya kaitan yang erat antara etnisitas dengan etnik, jika dikaitkan dengan pengertian etnik yang terdapat dalam KBBI (1995:271) yang menjelaskan bahwa etnik bertalian dengan kelompok sosial-budaya yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sejenisnya. Hal ini tentu juga berkaitan dengan identitas bersama, di mana unsur-unsur tadi menjadi pengikat antaranggota kelompok tersebut.
Memang, sangat sulit untuk memberikan batasan yang jelas dan pasti tentang identitas etnik itu sendiri apalagi dikaitkan dengan unsur-unsur seperti keturunan, adat, agama, bahasa.. Talcott Parsons (Clezer and Daniel, tt) telah menguraikan dengan panjang lebar, bagaimana unsur bahasa, pertalian darah (keturunan), ras, dan agama telah menjadi kabur atau semakin tidak jelas jika dikaitkan dengan identitas suatu kelompok di dalam etnisitas. Menurut Kuper dan Jessica (1985) unsur-unsur itu menjadi kabur karena hubungan-hubungan antaretnik, terjadinya defusi, evolusi, akulturasi, dan inovasi di antara etnik-etnik tersebut, sehingga terjadi seperti apa yang dikatakan Talcott Parsons “plural ethnic”.
Kemajemukan membuat sesuatu yang global, sehingga tidak ada lagi batas-batas yang jelas mengenai konsep etnik (identitas etnik). Orang tidak lagi membicarakan etnik tinggi dan rendah, tidak ada lagi perbedaan antara suku kulit hitam dengan kulit putih, seperti di Amerika. Tidak ada lagi politik aparteid di Afrika Selatan, terutama dalam hal persaingan untuk mendapatkan status dan kedudukan. Etnik-etnik itu tetap diakui keberadaannya, akan tetapi tidak lagi berfungsi untuk sistem sosial yang universal. Etnik hanya berlaku pada sistem sosial yang lebih khusus.
Jika dikaitkan dengan bangsa Indonesia sebagai suatu negara yang memiliki banyak etnik, tentu saja dapat terjadi benturan antaretnik. Ada yang merasa etniknya lebih baik dari etnik lainnya. Barangkali kita masih ingat peristiwa Katapang, Kupang, dan Ambon (konflik antaragama), serta Sambar (konflik antaretnik). Konflik antaretnik di Sambas (Kalimantan Barat) itu telah terjadi berulang-ulang, tahun 1933, 1967, 1969, 1971, 1972, 1977, 1986, dan 1997. Peristiwa Sambas ini bukan hanya persoalan kecemburuan sosial antara suku Dayak dengan suku Madura dan Melayu, melainkan adanya benturan adat dan budaya setempat dengan adat dan budaya pendatang. Konflik budaya ngayau dan carok. Suatu kenyataan budaya, bahwa laki-laki Dayak yang selalu membawa mandau ke mana-mana dan laki-laki Madura yang selalu membawa clurit. Jadi, jika terjadi konflik, maka pembunuhan tidak terelakkan dan akibatnya menimbulkan dendam turunan. Konflik-konflik ini tidak pernah diselesaikan secara tuntas (Kompas, 12 April 1999).
Prof. Dr. Loekman Soetrisno pernah melakukan penelitian tentang konflik-konflik tersebut dan beliau telah memberikan rekomendasi kepada pemerintah, tetapi tidak diindahkan. Menurut beliau ada tiga hal penting yang perlu diperhatikan dalam menangai konflik tersebut. (1) memberi jaminan kepada semua kelompok komunal untuk memiliki hak individu dan hak kolektif, (2) diusahakan agar setiap etnik dapat berperan aktif dalam bidang pemerintahan dan politik, dan (3) kebijakan migrasi penduduk, upaya mengarahkan program transmigasi ke tujuan pengembangan komunitas penduduk lokal (Kompas, 16 April 1999).
Walaupun konflik tidak selalu diartikan kerusuhan, pengrusakan, atau perang, tetapi konflik ada kalanya merupakan salah satu unsur integrasi. Terkadang konflik dapat menyumbang banyak kepada pelestarian kelompok dan mempererat hubungan antaranggota (Veeger, 1993:212). Di samping itu, banyak yang berpendapat bahwa konflik dan integrasi tidaklah berlawanan, tetapi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses umum yang sama, yakni konflik secara alami akan menuju intergasi dan antagonisme (Duverger, 1998:251).


Identitas Etnik yang Semakin Retak
Walaupun bangsa Indonesia memiliki masyarakat yang multietnik, tetapi bangsa Indonesia telah lama mengenal konsep nasionalisme dan Bhinneka Tunggal Ika. Namun, hendaknya janganlah ditafsirkan bahwa perbedaan itu akan memperuncing kesenjangan dan disintegrasi. Seharusnya, perbedaan itu akan memperkukuh kesatuan dan persatuan.
Di samping itu, bangsa Indonesia yang multietnik itu juga memiliki kebudayaan nasional dan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Oleh karena itu, budaya etnik perlu dikembangkan ke arah yang lebih berfungsi pada kehidupan sosial masyarakat saat ini. Hal ini dapat saja berlaku karena budaya itu sendiri dinamis. Budaya itu bergerak maju ke arah yang lebih baik dan mementingkan kelompoknya.
Budaya etnik itu tidak lagi terikat pada tempat dan berpandangan “ke dalam”, tetapi berproses yakni proses “pembelajaran translokal” yang perpandangan “ke luar” (Pieterse dalam Barker 2005:264). Hal ini banyak terjadi di perkotaan, seperti kota Medan yang penduduknya heterogen dari etnik-etnik yang berada di Sumatera Utara khususnya dan umumnya wilayah Indonesia lainnya, bahkan dari mancanegara. Hal ini semakin diperpicu oleh globalisasi.
Pola pergerakan penduduk dan pemukiman memungkinkan penyejajaran, pertemuan, dan percampuran budaya (etnik) semakin meningkat (Barker, 2005:264). Sejalan dengan hal itu, Abdullah (2006:183) memaparkan bahwa pola percampuran budaya (etnik) ini biasanya terjadi diperkotaan, akibat adanya urbanisasi dan proses globalisasi yang telah melahirkan pembentukan gaya hidup dan identitas baru. Proses ini biasanya dimulai oleh kaum muda sebagai orang-orang yang selalu berkeinginan untuk melakukan pendobrakan tatanan sosial budaya yang dimilikinya.
Hubungan antaretnik dalam masyarakat multikultural sangat mngkin terjadi dan hubungan itu dengan sendirinya akan saling menaklukkan. Namun, yang penting dalam saling menaklukkan itu tidak dengan kekerasan, paksaan, atau kekuasaan. Penaklukan itu dapat dilakukan dengan persuasif. Richard Rorty (Sugiharto, 1996:60) mengakui bahwa etnosentrisme masih diperlukan dalam hal ini. Setiap budaya harus mempunyai peluang untuk menjadi pemersatu dalam masyarakat secara terbuka dan bebas. Dengan demikian, setiap budaya akan berdinamika sehingga budaya lainnya dapat menirunya.
Dengan demikian etnik yang besar dan kecil harus sama-sama menyadari adanya saling membutuhkan informasi, karena informasi manandai adanya logika relasi di antaranya. Lyotard (Awuy, 1995:165) menyebut hal itu ‘pluralisme relasional’. Jadi, dalam konteks kesatuan dan persatuan semua etnik baik yang besar maupun kecil akan menjadi satu dalam keragamannya. Dengan kalimat lain, tidak dapat ditolak kehadiran suatu etnik walaupun sangat kecil dan sebaliknya tidak dapat dipaksakan etnik besar kepada etnik-etnik kecil lainnya. Biarkanlah setiap etnik itu memiliki dinamikanya masing-masing. setiap etnik akan memiliki relasi dengan etnik lainnya.
Hubungan antaretnik ini begitu jelas dipaparkan oleh Smooha (dalam Kuper and Jessica,1985) yang memulai pemaparannya dari hubungan antaretnik, tipe-tipe utama antaretnik, studi pendekatan hubungan, sampai pada strategi perubahan. Di samping itu, Smooha menceritakan alur perubahan yang terjadi, dimulai dengan kontak individu-individu yang berkembang dan meluas menjadi hubungan kerja sama, ekonomi, seni, bahkan politik. Tipe-tipe utama dari hubungan antaretnik itu menyangkut adanya asimilasi, konsolidasi, dan kekuasaan.
Hubungan antaretnik itu akan menumbuhkan perubahan pada tatanan masyarakat yang multietnik sehingga tercipta suatu identitas yang didapatkan dari proses belajar dan pengalaman. Pada saat yang sama akan muncul suatu kebangkitan etnisitas yang memiliki entitas pada masyarakat tersebut. etnitas itulah yang diharapkan dapat mengemban identitas etnisitas yang baru dari suatu bangsa.
Inilah yang diyakini oleh Appadurai1 (Nas, 1994:184; Barker, 2005:153) bahwa globalisasi itu akan bergerak dari lima sudut pandang, yang salah satunya adalah sudat pandang etnik, yakni gerakan dinamis dari kelompok-kelompok etnik yang mengacu pada kondisi masyarakat. kelompok-kelompok etnik itu akan membentuk identitas baru. Pada saat inilah barangkali suatu etnik berubah menjadi etnisitas, karena etnik itu tidak lagi berpandangan “ke dalam”, tetapi “ke luar”.

Representasi Menuju Identitas Etnisitas dalam Karya Sastra
Representasi identitas etnik dapat dilihat pada Pusara yang merupakan novel karya Maulana Syamsuri, sastrawan Sumatera Utara. Latar yang ditampilkan pada Pusara adalah kota Medan, yang merupakan kota heterogen dalam budaya (etnik). Kota Medan yang merupakan ibukota propinsi Sumatera Utara, tentu saja menjadi tujuan dan tumpuan dari penduduk desa-desa yang ada di wilayah Sumatera Utara. Tidak hanya dari Sumatera Utara, tetapi juga dari wilayah Indonesia lainnya, bahkan dari mancanegara.
Latar itu telah menunjukkan adanya percampuran antaretnik di antara tokoh-tokoh yang ditampilkan, yang tentu saja hidup berdampingan di perantauan. Sejalan dengan itu, juga mulai menghilangkan beberapa identitas etniknya. Anas Pardamean yang berasal dari Padang Sidempuan itu tidak lagi menggunakan marga. Maulana Syamsuri tidak menggunakan marga di belakang nama Anas Pardamean, padahal marga adalah salah satu identitas etnik di Sumatera Utara. Akan tetapi, jelas digambarkan bahwa Anas berasal dari etnik Mandailing.
Ketika Anas menikah dengan Ainun (keluarga Melayu), terlihat bagaimana meriahnya pesta perkawinan itu dan adat Melayu lebih ditonjolkan. Walaupun demikian, Anas juga menggunakan pakaian adat Mandailing. Hal terlihat adanya percampuran budaya etnik. Di satu sisi, Anas menggunakan pakaian adat Mandailing, tetapi di sisi lainnya pantun-pantun Malayu diperdengarkan oleh telangkai.
Meskipun dijelaskan pengarang bahwa dari kedua etnik itu, tentu saja ada yang sama tentang adat-istiadatnya yakni adat makan sirih bagi lelaki Melayu dengan adat manyurdu burangir bagi orang Mandailing. Akan tetapi, kedua adat istiadat itu tentu saja berbeda fungsinya. Bagi orang Melayu adat itu hanya berupa kebiasaan, sedangkan bagi orang Mandailing manyurdu burangir adalah memberi hormat.
Setelah Anas dan Ainun menikah dan berbahagia ditambah lagi Ainun yang hamil kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Tentu lengkaplah kebahagiaan mereka. Acara penyambutan kelahiran anak juga dibuat dengan keagamaan (Islam) yakni dengan mengadakan aqiqah dengan menyembelih seekor kambing (jika anak laki-laki dua ekor kambing) yang diikuti dengan pembacaan barzanzi dan marhaban (hlm. 66). Hal ini menunjukkan identitas keislaman mereka, namun sudah bercampur dengan adat-istiadat etnik, yakni ketika hadirin bergantin-gantin melakukan pengguntingan rumbut si bayi dan kemudian potongan rambut itu dimasukkan ke dalam kelapa kuning yang sudah dilubangi dan diukir (hlm 67).
Namun, kebahagiaan keluarga itu tidak berlangsung lama, Ainun meninggal dunia karena penyakit gagal ginjal. Keluarga kedua belah pihak bersedih. Namun, ada adat yang dapat menghapus kesedihan itu, yakni adat ganti tikar. Adat ganti tikar ini sudah biasa dilakukan baik oleh adat Mandailing maupun adat Melayu, demikian juga adat beberapa etnik di Indonesia.
Fadilah adik Ainun harus menggantikan posisi Ainun sebagai istri Anas Pardamean. Padahal Fadilah baru saja mengikat janji dengan Rizal mantan pacar Ainun. Namun, apa boleh buat, adat telah membawa Fadilah harus mengikuti permintaan keluarga Anas untuk menggantikan kakaknya.
Fadilah benar-benar tidak mampu menolak imbauan para keluarga untuk menggantikan posisi kakaknya di sisi Bang Dame, padahal cita-citanya untuk mendirikan sebuah balai latihan untuk anak-anak jalanan belum sepenuhnya terwujud. Padahal baru saja dia rebah di dada Rizal dan lelaki itu memeluknya amat erat dan mereka akan menikah (hlm 154).

Fadilah hanya bisa pasrah dengan ketentuan adat. Walaupun begitu, Fadilah tetap bahagia disisi Anas, karena Anaslah yang selalu memperhatikannya. Abang iparnya itu sering membelikan pakaian, sepatu, dan kosmetik untuknya. Kemudian ketika Fadilah sangat peduli dengan anak jalanan, Anas jugalah yang membantunya agar dapat mendirikan balai latihan untuk anak-anak jalanan.
Keluarga itu pun makin berbahagia ketika Fadilah dinyatakan hamil oleh dokter klinik yang memeriksanya (hlm 163). Anas selalu menyuruh Fadilah untuk menjaga baik-baik kehamilannya itu, banyak istirahat dan jangan pergi ke balai latihan. Namun, Fadilah selalu mengabaikannya. Ketika Fadilah akan melahirkan melalui operasi caesar, nyawanya tidak tertolong. Fadilah meninggal dunia. Anas Pardamean menghadapi kesedihan untuk kedua kalinya.
Keluarga Anas merasa ada sesuatu yang tidak beres dalam tubuh Anas, sehingga perlu diadakan pengupa-upa. Pengupa untuk memanggil “semangat” untuk kembali ke tubuh Anas. Keluarga Anas di Tapanuli Selatan pun mempersiapkan segala sesuatunya yang berhubungan dengan upa-upa tersebut. Setelah selesai semuanya baru dibawa ke rumah Anas di Medan.
Acaran takjiah malam ketiga baru saja usai ketika di depan rumah Anas berhenti sebuah bus yang membawa rombongan dari Tapanuli Selatan, keluarga Anas.
Rombongan keluarga besar itu hadir di rumah itu dengan membawa induri atau tampi empat segi berukuran besar, berisi kepala kerbau yang sudah dimasak dan perlengkapan upa-upa lainnya. Sehelai ulos Batak tenunan Sipirok menutupi isi tampi empat segi itu. semua yang hadir memandang sajian itu yang diletakkan di tengah ruangan rumah besar itu.
Semua tertegun ketika seorang pengetua rombongan besar itu segera membaca pasu-pasu atau seperti doa dan nasihat kepada Bang Dame yang duduk bersila di tengah-tengah ruangan itu.
Tampi empat segi berisi kepala kembau dan perlengkapan pengupa-upa lainnya itu diangkat, lalu diputar-putar di atas kepala Bang Dame sesekali dengan gerakan ke atas dan ke bawa berkali-kali diiringi suara lantang:
‘Turuuuuuuuuuuuupa-uuuuuuuuupa!’
‘Turuuuuuuuuuuuu ma Tondiiiii!,’ hadirin menyahut serentak dan penuh semangat. Dan upacara itu memang acara sakral menjemput semangat. (hlm 182–183).

Apa yang dilakukan keluarga Anas merupakan suatu adat etnik Mandailing agar Anas kembali memiliki semangat dalam hidup, setelah kematian istri keduanya. Sayangnya hal ini tidak dilakukan pada saat istri pertamanya meninggal dunia.
Ada hal lain yang mungkin saja membuat Anas itu sial dalam hidupnya, yakni menyuruh mertuanya untuk menjaga kebum mereka. Padahal dalam adat Anas sangat dilarang untuk mempekerjakan mertua dalam pekerjaan kita sendiri. Mertua itu adalah mora yang sangat dihormati. Meskipun mertuanya senang bekerja menjaga kebun mereka, tetapi hal itu tidak baik dan akibatnya mertuanya meninggal di perkebunan mereka, karena berkelahi dengan ninja-ninja sawit.
Representasi identitas diri dan sosial, yang merupakan identitas etnisitas dalam Saman dan Larung terungkap dari latar dan karakter tokoh-tokohnya yang membentuk identitas baru dengan pola-pola yang baru. Kehidupan yang dicitrakan dalam Saman dan Larung merupakan kehidupan dan aktivitas masyarakat perkotaan. Hal ini dapat diketahui dari latar tempat yang dominan, yakni Jakarta dan New York.
Tokoh-tokoh dwilogi novel tersebut juga digambarkan sebagai orang-orang yang urbanisasi ke Jakarta. Laila orang Sunda, Yasmin orang Manado, Shakuntala orang Jawa, Cok orang Bali, Saman orang Jawa, Sihar orang Batak, dan Larung orang Bali. Tokoh-tokoh itu mewakili kelompok etnis yang ada di Indonesia, tetapi identitas etnis tidak lagi mereka pertahankan, bahkan terjadi pertemuan dan percampuran identitas. Misalnya ketika Yasmin menikah dengan Lukas yang menggunakan adat Jawa. Yasmin rela mencuci kaki Lukas sebagai tanda sembah bakti istri kepada suami, yang tidak ada dalam adat Manado. Peristiwa pernikahan Yasmin dengan adat Jawa itu justru tidak diinginkan oleh Shakuntala sebagai orang Jawa, malahan Shakuntala ingin jadi orang Manado (Saman:154).
Penumpukan penduduk di perkotaan saat ini diakibatkan oleh proses industrialisasi dan urbanisasi. Transformasi radikal yang dikaitkan dengan bangkitnya jenis-jenis produksi industri mekanis dan berskala besar, serta pertumbuhan kota-kota besar, telah mengurangi stabilitas, mengikis struktur sosial dan nilai yang sebelumnya dipertahankan masyarakat. Penghapusan kerja berbasis agraria, penghapusan komunitas desa yang terjalin kuat, runtuhnya agama dan sekularisasi masyarakat yang berkaitan dengan perkembangan pengetahuan ilmiah, penyebaran kerja pabrik yang mekanis, monoton dan teralienasi, kukuhnya pola-pola kehidupan anomik di kota-kota besar di mana banyak penduduk yang tidak saling mengenal, relatif tidak adanya integrasi moral. Lalu, yang terjadi adalah masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang diatomisasi2, orang-orang yang kurang memiliki hubungan satu sama lain yang bermakna dan koheren secara moral (Strinati, 2004:6–7).
Lebih lanjut Strinati (2004:8) mengatakan bahwa tidak adanya kerangka aturan moral yang memadai dan masyarakat tidak memiliki nilai rasa moral, maka yang akan muncul adalah aturan palsu dan akhirnya masyarakat akan berpaling pada aturan palsu tersebut. Oleh karena itu dibutuhkan organisasi perantara yang memadai, tanpa adanya hal itu, individu-individu rentan terhadap manipulasi dan eksploitasi dari lembaga-lembaga utama seperti media massa dan budaya populer. Jika tidak ada aturan moral yang bisa mencegah hal itu, maka kebenaran komunal dan religius akan runtuh bergeser pada kesiapan amoral individualisme rasional dan anomie (ketakterarahan). Moral hanya menjadi “pemanis bibir” saja.
Sejalan dengan itu, Kuntowijoyo (2006:13) menjelaskan bahwa sekarang perubahan-perubahan sedang terjadi dalam skala dan kecepatan yang lebih, sementara antara perubahan struktural dan perubahan kultural tidak sejalan, sehingga terjadi anomie3 pada peringkat nilai. Anomie terjadi karena kesenjangan antara industrialisasi, teknologisasi, dan urbanisasi di satu pihak dan konservatisme budaya tradisional di lain pihak. Industrialisasi telah melahirkan budaya massa yang mengarah ke semangat kolektif dalam tata nilai, teknologisasi telah menuntut penerapan metode teknik dalam segala bidang, dan urbanisasi telah menyebabkan runtuhnya nilai-nilai komunal sebuah masyarakat tradisional.
Hal itu dapat dilihat dari perilaku tokoh Shakuntala dan Cok yang tidak mengindahkan ukuran-ukuran moral dalam bertindak, terutama dalam berhubungan seks. Akibatnya hubungan mereka dengan orang tua merenggang, Shakuntala bahkan tidak menghormati orang tuanya (Saman:115). Hal inilah yang membuat Shakuntala teralienasi dari keluarganya. Cok juga demikian, ia harus rela dipindahkan ke Ubud oleh orang tuanya (Saman:151). Ukuran-ukuran moral yang mereka gunakan bukan lagi ukuran moral yang umum, tetapi ukuran amoral individualisme rasional.
Sementara Yasmin, Laila, Saman, dan Sihar berada pada titik anomie, titik ketakterarahan dan berada di antara dua situasi. Yasmin berada di antara keutuhan keluarganya dan perselingkuhannya dengan Saman. Laila berada di antara mempertahankan keperawanannya dan menyerahkannya pada Sihar. Saman berada di antara kereligiositasnya dengan percintaannya dengan Yasmin. Sihar berada di antara keluarganya dengan perselingkuhannya dengan Laila. Hal ini membuat para tokoh ini menghadapi krisis nilai, sehingga mereka berada pada situasi transisional, “tidak di sini dan tidak pula di sana”, seperti kata Sairin (2002:51), “orang seakan berdiri di sebuah pintu gerbang, tidak di luar dan tidak pula di dalam”.
Stuart Hall (Barker, 2005:223) mengatakan bahwa diri yang tidak terpusat meliputi subjek dengan identitas-identitas yang terus bergerak, terpecah, dan memiliki identitas jamak. Orang tidak hanya terdiri dari satu, tetapi beberapa identitas yang kadang/bahkan bertentangan. Menurut Barker (2005:271) hal ini sejalan dengan konsep antiesensialis yang melihat identitas subjek yang tidak memusat, diri yang tersusun dari berbagai identitas yang beragam dan bisa bertukar pasang. Jadi identitas tidak pernah bersifat murni atau tetap, tetapi tersusun di dalam irisan-irisan umur, kelas, gender, ras, dan bangsa.
Konsep ini terlihat dari ucapan Shakuntala yang mengatakan, “Manusia tidak terdiri dari satu” (Larung:134). Shakuntala sendiri merasa bahwa dirinya ada dua, satu perempuan dan satu laki-laki (Larung:133). Apa yang dirasakan Shakuntala ini menunjukkan bahwa identitasnya menjadi jamak, hal ini juga yang membuat Shakuntala menjadi biseksual. Dalam dwilogi novel ini, Shakuntala yang paling banyak mempertanyakan tentang identitas diri, terutama tentang identitas keperempuanan dan kelaki-lakian. Kutipan berikut merupakan dialog antara Shakuntala dan Laila, yang diceritakan oleh Laila.
“Lalu ia duduk agak membungkuk, sikunya bersandar pada paha, kedua tangannya berjalin, matanya memandang televisi yang mati. ‘Laila, pernah nggak kamu merasa bahwa kamu adalah laki-laki? Anak laki?’
‘Nggak’
‘Kenapa?’ Ia menatap saya. ‘Kamu kan dulu tomboy. Temanmu lebih banyak laki.’
‘Tapi saya kan bukan lelaki sungguhan.’
Ia membuang muka. ‘Apakah itu sungguhan? Mereka juga bukan lelaki sungguhan.’
‘Siapa?’
‘Mereka semua. Dan kita juga bukan perempuan sungguhan. Kita semua jadi-jadian’
Saya tertawa”(Larung:129).

Kutipan tersebut menunjukkan bahwa identitas diri hanya konstruksi sosial yang perlu dipertanyakan sebagaimana pertanyaan Shakuntala tersebut. Alcoff (Barker, 2005:309) menegaskan bahwa feminitas (keperempuanan) dan maskulinitas (kelaki-lakian) adalah konstruksi sosial semata. Alcoff melihat penekanan apa pun tentang karakter perempuan yang spesial dan lembut adalah sesuatu yang salah, bukan cuma karena tidak ada bukti yang menunjukkan adanya perbedaan bawaan, tetapi juga karena alasan politis. Penekanan itu berbahaya karena dapat menyolidkan sebuah benteng penindasan seksis, yakni keyakinan akan adanya keperempuanan bawaan yang harus diakui oleh perempuan itu sendiri, jika tidak maka dianggap inferior dan bukan perempuan tulen.
Sejalan dengan pandangan Alcoff, Nicholson dan Weedon (Barker, 2005:227) juga berpendapat bahwa feminitas dan maskulinitas bukanlah esensi universal dan kategori yang kekal, tetapi merupakan ciptaan wacana. Pandangan ini dapat dijumpai pada ucapan Shakuntala berikut ini.
“Aku lupa sejak kapan kutahu bahwa aku anak perempuan, sama seperti kita lupa kapan kita pertama kali ingat. Aku curiga bahwa ayah dan ibuku mengatakannya kepadaku terus-menerus –kamu perempuan– sejak aku belum bisa bicara. Dan bagaimanakah aku bisa membantah jika aku tak bisa bicara?” (Larung:133).

Kutipan tersebut menunjukkan betapa wacana sangat mempengaruhi kehidupan, ketika wacana itu diungkapkan secara terus-menerus dan akhirnya menjadi sebuah konstruksi yang kukuh, bahkan keyakinan. Hal ini terlihat ketika Ayah Shakuntala mengajari abangnya memanjat pohon kelapa. Abangnya yang masih belum genap sembilah tahun itu menangis karena takut, tetapi Ayahnya menakut-nakutinya sembari menyakinkan bahwa lelaki tempatnya di atas dan menyuruhnya untuk berteriak dengan mengatakan, “Berhenti nangis! Berhenti nangis! Berhenti .... maka kamu akan berhenti nangis, Nak. Kalau kamu berseru pada dirimu, “Berani! Berani! Berani! Berani! ... kamu akan berani.” Abang Shakuntala menurut dan dengan gemetar ia dapat memanjat pohon tersebut (Larung:137–138). Keyakinan abang Shakuntala tidak hanya berhenti pada memanjat pohon saja, tetapi ketika sudah remaja ia juga dapat mengontrol ereksinya dengan hanya menyebut, “ngaceng, ngaceng, ngaceng .....” (Larung:139), maka kelaminnya akan ereksi sesuai dengan keinginannya.
Hal itu sangat erat dengan pertarungan identitas dengan subjektivitas yang terkait dengan cara manusia itu dibentuk sebagai subjek, yaitu sebagai orang macam apakah manusia itu menjadi (become) (Bakrer, 2005:234). Abang Shakuntala “menjadi” karena kebiasaannya melakukan sesuatu dengan latihan, yakni melakukan segalanya dengan akal (otak), sedangkan Shakuntala melakukan sesuatu atas dorongan tubuhnya, baginya menari adalah “menjadi”. Oleh karena itu, abangnya mengatakan bahwa Shakuntala ganjil dan Shakuntala juga mengatakan bahwa abangnya ganjil. Akhirnya, Shakuntala mengatakan, “Tapi apa salahnya menjadi tidak genap?” (Larung:140).
Wacana, praktik sosial, budaya, dan politiklah yang menjadi akar ketimpangan pemahaman tentang perempuan (identitas). Inilah yang disebut oleh Nicholson sebagai pandangan “rak jas”, yakni pandangan yang melihat tubuh sebagai rak tempat makna kultural digantungkan. Akan tetapi, Nicholson mengatakan bahwa posisi demikian dapat menguntungkan kaum feminis, karena membuat mereka dapat mengandaikan persamaan dan perbedaan antarperempuan itu sendiri (Barker, 2005:246).
Posisi demikianlah yang membuat Yasmin berbeda dengan perempuan lain sebagaimana dikatakan pada kutipan berikut ini.
“Tapi sesungguhnya aku tidak begitu saja kontradiktif, bawah sadarku cuma cerdik. Meski kecerdasan seringkali bukan mendamaikan melainkan memisahkan. Yang membedakan aku dari para wanita yang mengukuhkan patriarki adalah aku melokalisasinya pada fantasi seksual. Mereka menerima dominasi pria sebagai suatu ide yang total dan murni, suatu ideal. Aku menerimanya dan melakukan seksualitas terhadapnya. Mereka menerimanya sebagai nilai moral, aku sebagai nilai estetik” (Larung:160).

Posisi Yasmin menunjukkan bahwa ia secara sosial menolak dominasi laki-laki, tetapi secara individual ia menerima adanya ideologi patriarkat. Hal ini sesuai dengan konsep keagenan yang diajukan oleh Barker (2005:239–241). Keagenan sebagai sesuatu yang diciptakan secara sosial dan dimungkinkan oleh sumber-sumber sosial yang terdistribusi secara berbeda-beda sehingga melahirkan berbagai derajat kemungkinan bertindak dalam ruang tertentu. Dalam hal ini keagenan berarti pelaksanaan arah untuk mengambil tindakan dalam memilih atau melakukan suatu aktivitas. Dengan demikian keagenan merupakan kemampuan bertindak yang telah dikonstruksi secara sosial dan tidak seorang pun yang bebas dalam pengertian tidak terbatas. Meskipun demikian, keagenan merupakan cara kultural yang masuk akal untuk memahami diri sendiri, karena seseorang telah memiliki pengalaman eksistensial dalam menghadapi dan membuat pilihan.
Sebagai contoh dapat dilihat dari aspek identitas Yasmin yang berkaitan dengan pengacara dan aktivitas HAM. Keduanya bukan dipilih oleh Yasmin, melainkan hasil dari nilai-nilai dan wacana-wacana keluarga dan pengalaman pendidikan Yasmin, yang memungkinkan Yasmin melakukan aktivitas-aktivitas tersebut sebagai agen. Latar belakang pendidikan Yasmin sebagai sarjana hukum telah memungkinkannya untuk menjadi pengacara, apalagi orang tuanya juga pengacara. Yasmin bekerja di kantor ayahnya, Joshua Moningka & Partners. Kemudian Yasmin juga mendapat izin advokasi yang tidak semua lawyer punya (Saman:24). Hal inilah yang memungkinkannya untuk melakukan aktivitas-aktivitas HAM.
Berbeda dengan Yasmin, Saman justru mengganti identitasnya. Saman yang bernama Athanasius Wisanggeni (Romo Wis) adalah seorang pastor yang ditempatkan di Perabumulih, tetapi membantu penduduk Lubukrantau dalam mengolah perkebunan karet. Hal itulah yang tidak disukai oleh penguasa saat itu, melalui PT ALM, karena perkebunan karet di daerah itu akan diganti dengan sawit. Namun, penduduk Lubukrantau tidak setuju, mereka lalu mendapat intimidasi dari aparat, tetapi penduduk melakukan perlawanan-perlawanan, sehingga terjadi bentrokan antara penduduk dengan aparat. Lalu, Aparat menuduh Romo Wis yang menjadi provokator dalam peristiwa tersebut. Romo Wis ditangkap dan disekap, lalu dituduh telah melakukan makar terhadap pemerintah yang sah. Akan tetapi, teman-teman Romo Wis dapat menyelamatkannya. Oleh karena Romo Wis menjadi buron aparat maka ia selalu tinggal berpindah-pindah dan mengambil keputusan untuk keluar dari kepastoran, agar gereja tidak terlibat. Kemudian Romo Wis juga mengganti nama atau identitasnya dengan Saman (Saman:40–114).
Apa yang dilakukan oleh Saman merupakan usaha untuk menyelamatkan diri dengan mengganti nama atau identitas diri. Hal ini juga berkaitan dengan politik Saman untuk dapat bertahan dan mengembangkan aktivitasnya, yakni membentuk LSM perkebunan. Laila mengatakan, “Ia kini bernama Saman. Ia mengganti namanya, ia mengganti penampilannya” (Saman:24). Pada saat Yasmin dan Cok memberitahukan kepada Laila bahwa Saman juga ada di New York, Laila berkata, “Telah dua tahun ia menetap di Amerika Serikat dengan paspor dan identitas baru untuk mengelabui KBRI” (Larung:105).
Ketika Yasmin dan Cok menyelamatkan Saman dari Medan menuju Pekanbaru, mereka menyamarkan Saman sebagai jongos yang polos. Berikut ini kutipan bagaimana Yasmin dan Cok mengubah penampilan Saman, yang diceritakan oleh Saman dalam e-mailnya kepada Yasmin.
“Mereka mendandaniku dengan serius, menempelkan kumis palsu, mencukur rambutku, dan mencabuti alisku agar bentuknya berubah. Lalu mereka mencocok-cocokkan wajahku dengan foto pada sebuah KTP, kartu identitas salah seorang pesuruh Cok di sebuah hotelnya di Pekanbaru” (Saman:175–176).

Pergantian identitas ini menunjukkan bahwa identitas diri tidak pernah tetap dan murni, sehingga seseorang dapat saja mengganti identitasnya dengan mudah. Hal ini sesuai dengan padangan Hall (Barker, 2005:234) bahwa identitas selalu bergeser dan berganti seturut bagaimana individu disapa dan direpresentasikan.
Pergantian nama Saman dari Athanasius Wisanggeni (Romo Wis) merupakan kehendah dirinya sendiri, sedangkan pergantian identitasnya menjadi jongos oleh Yasmin dan Cok semata-mata bukan kehendak dari dirinya, tetapi juga termasuk kehendak dari Yasmin dan Cok, karena mereka juga takut tertangkap atau hal ini merupakan taktik demi penyelamatan. Hal inilah yang dikatakan oleh Barker (2005:217–218) bahwa ada yang disebut dengan identitas diri dan ada identitas sosial. Identitas diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya sendiri, sedangkan identitas sosial adalah harapan dan pendapat orang lain tentang orang tersebut. Dengan kalimat lain, identitas diri dibentuk oleh diri sendiri dan identitas sosial dibentuk oleh orang lain.
Misalnya bagaimana Shakuntala menggambarkan ketiga temannya dengan identitas masing-masing, yang mengaitkannya dengan ciri-ciri fisik dan pekerjaan masing-masing. Shakuntala menggambarkan Laila dengan wajah sederhana, agak kurus, dan pekerjaannya fotografer; Yasmin digambarkan dengan wajah yang cantik, sempurna, dan pekerjaannya pengacara; Cok dengan wajah pesolek dan pengusaha hotel (Larung:135). Berbeda dengan Cok yang melihat orang lain dengan ramalan bintang, seperti ketika ia menggambarkan Yasmin dengan bintang Aries dan Shio Kuda, sesuai dengan tanggal dan tahun kelahiran Yasmin, maka ciri-cirinya adalah mahir berbisnis dan bercinta. Saman dengan bintang Libra dan Shio Anjing Tanah, maka sifatnya pendiam dan tertutup serta baik hati (Larung:79–85); dan Laila juga dicirikannya dengan menyesuaikannya dengan bintang, yakni Libra sesuai dengan tanggal lahir Laila dan mengatakan, “Ah, si Laila itu orang Libra. Orang Libra lebih bergairah pada proses berburu daripada makan buruan” (Larung:143).
Itulah gambaran-gambaran identitas diri dan identitas sosial dari seseorang dalam kehidupannya. Ia dikonstrusi oleh wacana, media, sosial, budaya, dan politik yang ada di lingkunganya.

Simpulan
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa identitas etnik dalam kehidupan sehari-hari telah retak, terpecah, dan bercampur dengan identitas lain. Hal ini dapat terjadi karena adanya industrialisasi, urbanisasi, dan globalisasi. Etnosentrisme dapat saja menimbulkan konflik antaretnik, namun etnosentrisme jika dipahami dengan baik dapat menjadi suatu pembauran antaretnik, sehingga menimbulkan identitas baru.
Dalam karya sastra Indonesia seperti Pusara, Saman, dan Larung, representasi identitas etnik dan etnisitas dijadikan sebagai suatu kekuatan (entitas) untuk mendukung latar, tokoh, dan sudut pandang.

Daftar Pustaka
Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Awuy, Tommy F. 1995. Wacana Tragedi dan Dekonstruksi Kebudayaan. Yogyakarta: Jentera Wacana Publika.
Barker, Chris. 2005. Cultural Studies: Teori dan Praktik. Penerjemah dan penyunting Tim KUNCI Cultural Studies Center Yogyakarta: Bentang.
Clezer, Nathan and Daniel P. Moynihan. tt. Ethnicity: Theory and Experience. Cambridge, Massachusetis, and London, England: Harvard University Press.
Duverger, Maurice. 1998. Sosiologi Politik. Jakarta: Raja Grafindo Persada dan Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial.
Kompas, 12 April 1999.
Kompas, 16 April 1999.
Kuntowijoyo. 2006. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Kuper, Adam and Jessica Kuper. 1985. The Social Science Encyclopedia. London, Boston and Henley. Routledge & Kegan Paul.
Liliweri, Alo. 2001. Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nas, Peter J.M. 1994. Global, Nation, and Local Perspective. Dalam Peter J.M. Nas (editor). Globalization, Localization, and Indonesia, p. 181–192.
Sairin, Sjafri. 2002. Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Strinati, Dominic. 2004. Popular Culture. Diterjemahkan oleh Abdul Mukhid. Yogyakarta: Bentang.
Sugiharto, I. Bambang. 1996. Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Syamsuri, Maulana. 2004. Pusara. Medan: Sastra Novela.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Utami, Ayu. 1999. Saman. (cetakan ke-12). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Jurnal Kebudayaan Kalam.
Utami, Ayu. 2002. Larung, (cetakan ke-2). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Jurnal Kebudayaan Kalam
Veeger, K.J. 1993. Realitas Sosial. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Staf Pengajar Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara

1 globalisasi bergerak dari lima sudut pandang, yakni etnik, media, teknologi, keuangan, dan ideologi
2 Atomisasi berasal dari atomisme yang bermakna relasi-relasi antara individu bersifat lahiriah saja bagaikan atom-atom yang membentuk molekul (Veeger,1993:11).
3 Anomie merupakan istilah yang berasal dari Emile Durkheim untuk menggambarkan situasi di mana individu kehilangan pegangan (Veeger, 1993:150). Gejala anomie ini dapat memunculkan seperti kriminalitas dan kenakalan remaja. Di samping itu, juga dapat mengakibatkan kebigungan, ketidakterarahan, demoralisasi, dan juga bunuh diri (Veeger, 1993:154–155).

Tidak ada komentar: