01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 2

Simalungun Menuju Wawasan Modern dan Sejahtera:
Identitas, Bahasa, Dan Potensi Sosial
[1]

Prof. Amrin Saragih, Ph.D, MA, DTEFL
[2] /
Drs. Amran Purba, M.Hum
.


Pendahuluan
Simalungun merupakan etnis atau suku yang memiliki identitas dan bahasa sendiri. Dalam perkembangannya sampai saat ini Simalungun, sebagai bagian dari masyarakat nasional yang majemuk, telah mengalami proses dalam pembentukan jati diri atau identitasnya. Identitas itu terealisasi dalam budaya dan bahasa Simalungun(BS). Dalam zaman kemajuan sains dan teknologi saat ini dengan fokus pada teknologi informasi dan komunikasi Simalungun perlu merekonstruksi dan merevitalisasi identitas dan bahasanya itu dalam bentuk visi, misi, dan tujuan. Visi, misi, dan tujuan ini didasari oleh berbagai kekuatan budaya Simalungun berupa ahap (Simalungunese sense of care and belonging) untuk mengakomodasi keragaman (seperti agama, latar, geografi, pendidikan) di dalam masyarakat Simalungun. Diharapkan dengan visi, misi, dan tujuan yang universal dan menembus (intrude) keragaman akan terbentuk Simalungun baru yang padu, cerdas, dan maju untuk mencapai kesejahteraannya dalam konteks sosial nasional dan global (a cohesive and competent civil society of Simalungunese to attain its welfare in the national and global social contexts). Masyarakat Simalungun baru mampu memberi kontribusi kepada pembangunan nasional dan peradaban global. Makalah ini menampilkan pemikiran deskriptif, prospektif dan prediktif dalam upaya Simalungun menuju wawasan modern dan sejahtera dengan merujuk kajian deskriptif tentang Simalungun.


Identitas Simalungun
Simalungun memiliki identitas etnis yang menjadi kekuatannya. Di samping kekayaan alam yang menjadi identitas dan kebanggaan etnik Simalungun, suku itu memiliki identitas asal usul, BS dengan sifat linguistik yang unik, dan potensi sosialnya.

Identitas
Identitas Simalungun terbentuk dalam proses yang sangat panjang. Dalam kajiannya Damanik (2005) menunjukkan bahwa Simalungun merupakan satu etnis tersendiri yang terlepas dari Batak Toba. Kerajaan Simalungun bermula dari Kerajaan Nagur yang diduga berpusat di Kerasaan (sekarang) dan Kerajaan Batangiou di Tanahjawa. Temuan ini berlawanan dan berlaian dengan berbagai spekulasi kajian bahwa asal-usul Simalungun adalah Batak Toba atau pendapat bahwa Simalungun merupakan bagian atau hegemoni Si Raja Batak. Makalah ini mendukung tesis Damanik (2005) dengan temuan bahwa pada awalya Kerajaan Nagur dan Batangiou menghadapi bencana penyakit menular sampar (hantu ni sampar) yang mengakibatkan rakyat mengungsi (exsodus) secara besar-besaran ke dataran tinggi, seperti Samosir (sahali misir) dan ke daerah lain seperti Bedagai, Serdang, Batubara (bah hu abara), Dolog Masihol, dan daerah lain. Ketika penyakit epidemi itu berahir, orang Simalungun kembali ke kampung halaman mereka, Kerajaan Nagur dan membawa budaya yang mereka dapat selama di pengungsian atau perantauan. Marga-marga yang mereka dapat diperantauan menjadi marga di Simalungun. Demikian pula budaya yang mereka peroleh dari daerah Melayu dibawa ke Simalungun.
Selanjutnya, sewaktu pembukaan perkebunan di Simalungun (1865), para imigran seperti Jawa, Batak Toba, Batak Mandailing—Angkola, dan Cina datang ke Simalungun. Simalungun menjadi pertarungan sektor ekonomi dan ideologi pada saat itu karena kedatangan para imigram membawa agama dan budaya masing-masing. Hal yang tidak menguntungkan adalah Simalungun tidak menjadi tuan di negeri sendiri pada saat datangnya para imigran itu, yang datang untuk memenuhi kebutuhan pembukaan perkebunan oleh kolonial Belanda. Lazimnya, dalam kontak budaya terdapat budaya tuan rumah, yang seharusnya Simalungun menjadi ikutan. Tetapi keadaannya berbeda: Simalungun yang mengikat diri dengan kaum imigran. Hal ini terjadi karena alpanya budaya dan elite kelompok Simalungun sebagai tuan rumah sehinga masing-masing kelompok imigran mengembangkan konsensusnya secara bebas. Keadaan inilah yang membuat Simalungun seolah-olah tidak memiki kekuatan.
Suku Simalungun memiliki budaya dan temperamen yang berbeda dengan subsuku Batak lain. Secara umum dipahami di kalangan kelima subsuku Batak (Toba, Mandailing/Angkola, Simalungun, Karo, dan Dairi/Pakpak) bahwa suku Simalungun memiliki sifat halus, pemalu, penakut (takut salah), penyedih (Simalungun berarti ’penyedih’ atau ’sunyi’), bertimbang rasa, sangat peka dengan perasaan orang lain, dan perendah hati. Semua sikap dan sifat ini sering disalah tafsirkan sehingga subsuku lain memandang Simalungun sebagai suku yang penakut, lemah, dan penurut. Akibatnya, suku ini sering diintrusi subsuku lain. Misalnya, suku Toba dapat mengintrusi suku Simalungun sehingga sebagian besar pemukiman di Kabupaten Simalungun didiami oleh suku Toba, sementara suku Simalungun tidak pernah mengintrusi suku lain. Sifat-sifat adat-istiadat dan budaya Simalungun yang sangat peka terhadap perasaan orang lain, terealisasi dalam bahasa, khususnya dalam makna antarpersona.

Bahasa Simalungun
Tesis bahwa Simalungun sebagai satu etnis tersendiri didukung oleh bahasanya yang memiliki ciri linguistik yang secara mendasar berbeda dengan bahasa Batak Toba, misalnya dalam BS terdapat fonem /h/, /b/, /d/, dan /g/ pada posisi ahir kata, seperti birah, abab, bagod, balog, diftong /ou/, /uy/, dan /ei/ pada posis ahir kata, seperti pada botou, lopou, sopou, apuy, baluy, haluy, lobei, apei, battei yang tidak terdapat dalam bahasa Batak Toba atau Mandailing—Angkola. Di samping itu BS memiliki sosiolek bahasa istana, dengan kosa kata yang berbeda dengan bahasa orang kebanyakan, seperti paramba ‘hamba’, modom ‘wafat’, janami, ‘baginda’ howot ‘lampu’, ragam tangisan, ragam simbol, dan ragam guru bolon yang digunakan datu. Pemakaian bahasa dengan sosiolek seperti ini hanya ada pada Melayu atau Jawa dan tidak terdapat dalam bahasa Batak Toba atau Mandailing-Angkola. Sistem paradigmatik dan sintagmatik BS juga berbeda secara mendasar dengan bahasa Batak Toba, misalnnya penggunaan vokatif ambiya dan thematic stucture dalam hata saamang sainang yang digunakan oleh datu (Saragih 2003).
Penekanan fungsi antarpersona dalam BS yang mencakupi modus, modalitas, epitet, tema anatarpersona, dan vokatif merupakan ciri utama pemakaian bahasa oleh penutur Simalungun. Dalam interaksi sosial, penutur BS cenderung menggunakan polar negatif ganda. Pada dasarnya modus polar negatif ganda berimplikasi positif. Seorang penutur dapat saja membuat pernyataan dalam polar positif tetapi kecenderungan polar negatif ganda inilah yang terjadi dalam interaksi oleh penutur BS, apalagi mitra komunikasi sangat diharapkan untuk suatu keperluan. Contoh teks berikut menunjukkan pemakaian polar negatif ganda dalam BS.

(1)
Ulang do da nang roh ham hu horja ta ai sogot.
jangan PT[3] PI tidak datang V ke pesta kita itu besok
’Jangan Bapak/Ibu/Anda tidak datang ke pesta kita itu besok’.

Dalam teks (1) bentuk ulang ‘jangan’ dan nang ‘tidak’ menunjukkan polar negatif rangkap. Pada dasarnya teks itu bermakna pengharapan agar mitra interaksi datang ke pesta. Klausa jangan Anda tidak datang besok berimplikasi ’datanglah Anda besok’, karena sebagai polar negatif rangkap jangan dan tidak memiliki implikasi positif. Dalam konteks penyelenggaraan pesta, penyelenggara pesta mengundang tetamu biasanya menggunakan teks dengan polar negatif ganda. Makna teks itu dapat berupa ‘Saya sangat mengharapkan kehadiran Anda ke pesta itu’. Teks lain yang menunjukkan modus polar negatif ganda ditampilkan berikut ini.

(2)
Ulang namin anak hu ai nang jadi jolma.
jangan kiranya anak ku itu tidak menjadi orang.
’Jangan (sampai) anakku itu tidak menjadi orang yang berguna’.

(3)
Ulang da nang dear uhurmu hu bai saninamu.
jangan PI tidak baik hatimu kepada dia saudaramu.
’Jangan (sampai) Engkau/Anda tidak mengasihi saudaramu/Anda’.

Dalam konteks sosial Simalungun, penutur BS menempatkan diri pada posisi pesimis selalu, penuh was was dan takut. Pesimis dengan pengertian bahwa sesuatu diasumsikan selalu tidak baik, dikhawatirkan akan tidak baik, atau tidak sesuai dengan yang diharapkan. Sikap ini direalisasikan oleh polar negatif. Ini direaliasikan oleh ulang do, ulang namin, dan ulang da dalam teks (1, 2, 3). Namun penutur tidak ingin polar negatif itu terjadi, lalu dia menafikannya dengan polar negatif lain. Akibatnya terwujudlah polar negatif ganda seperti terealisasi pada ulang…nang dalam teks (1, 2, 3). Ekspresi ulang ’jangan’ dengan nang ’tidak’ mengakibatkan makna teks menjadi positif, seperti ulang do da nang roh ham hu horja ta ai sogot bermakna ’semoga Anda datang ke pesta kita itu besok’, ulang namin anak hu ai nang jadi jolma bermakna ’semoga anakku itu menjadi orang yang berguna’, dan ulang da nang dear uhurmu hu bani saninamu bermakna ’semoga engkau menyayangi saudaramu’.
Pemakaian polar negatif ganda itu menunjukkan bahwa penutur BS cenderung pesimis melihat satu fenomena atau selalu takut tidak berhasil. Di sisi lain, ini berarti kecermatan dalam menghadapi situasi. Penutur bahasa Toba sebagai bagian dari subsuku Batak lebih positif melihat sesuatu fenomena. Kecenderungan penutur bahasa Toba adalah menggunakan polar positif ro do hamu tu pesta i da ‘datanglah ke pesta itu’. Ekspresi ulang ‘jangan’ memiliki penggunaan dengan frekuensi tinggi dalam BS karena setiap penutur BS dihadapkan kepada sejumlah pantang, larangan, atau sekat yang tidak boleh dilanggar.
Modalitas menunjukkan pertimbangan pribadi (judgement) dari penutur, yang terealisasi diantara polar positif dan polar negatif proposisi atau proposal (Halliday 2004: 616—625; Martin 1992: 38-40). Modalitas mencakup makna kemungkinan (probability), keseringan (usuality) untuk proposisi dan keharusan (obligation) dan kecenderungagn (inclination) untuk proposal. Halliday (2004: 617) membagi modalitas berdasarkan nilainya dan untuk tujuan praktis mengelompokkan modalitas atas modalitas dengan nilai rendah (low), menegah (medium), dan tinggi (high). Misalnya modalitas probabilitas terdiri atas barangkali (rendah)—mungkin (menegah)—pasti (tinggi). Demikian juga modalitas keseringan terdiri atas kadang-kadang (rendah)—sering (menegah)—selalu (tinggi).
Penutur BS cenderung menggunakan modalitas dalam interaksi sosial. Penggunaan modalitas itu cenderung lebih rendah dari makna teks yang dimaksudkan. Teks (4) berikut menunjukkan pemakaian modalitas ra ‘mungkin’.

(4)
Ra do da roh hanai sogot hu rumah.
mungkin PT PI datang kami besok ke rumah.
’Kami mungkin datang ke rumah (Anda) besok’.

Dalam konteks sosial masyarakat Simalungun teks (4) bukan bermakna probabilitas atau kemungkinan tetapi kepastian bahwa ’kami (telah merencanakan) datang ke rumah (Anda) besok’. Pemakaian modalitas yang direalisasikan dengan makna probabilitas ra sesungguhnya bermaksud kepastian dalam rentang modalitas (laho ’akan’— ra ’mungkin’—pasti ’pasti’). Teks berikut menunjukkan pemakaian modalitas kecenderungan dan keseringan.

(5)
Anggo ninuhur hu jadi jolma ma namin ia.
kalau kata hatiku menjadi orang TI semoga dia.
’Suara hatiku menyatakan semoga dia menjadi orang yang berguna’.

(6)
Hotop do da ia martaur anggo lahou hu juma.
sering PT PI dia memanggil kalau pergi ke ladang.
’Dia sering meberi salam kalau dia pergi ke ladang’.

Dalam konteks sosial Simalungun teks (5) dan (6) masing-masing berarti ‘saya mau agar dia menjadi orang yang berguna dan ’kalau/setiap saat dia pergi ke ladang dia memberi salam’. Kecenderungan penutur BS dalam interaksi antarpersona adalah menggunakan modalitas setingkat lebih rendah dari makna yang dimaksudkan. Ketika penutur BS mengatakan ra ’mungkin’ yang dimaksudkan adalah pasti ’pasti’ dalam rentang modalitas (laho ’akan’— ra ’mungkin’—pasti ’pasti’). Demikian juga ekspresi ninuhurhu ’kata hatiku’ sebenarnya bermakna nikku ’kataku’ dalam rentang modalitas (harosuhku ’maksudku’—ninuhurhu ’kata hatiku’—nikku ’kataku’). Modalitas hotop ’sering’ sebenarnya bermakna torus ’selalu’ dalam rentang modalitas (ongga ’pernah’—hotop ’sering’—torus ’selalu’). Penggunaan modalitas oleh penutur BS dengan kecenderungan menggunakan modalitas setingkat di bawah yang dimaksudkan karena penutur BS khawatir informasi yang disampaikan terlalu kuat intensitasnya. Kecenderungan mengurangi nilai ini adalah untuk menimbang rasa orang lain atau kekhwatiran membuat kesalahan.
Epitet menunjukkan pertimbangan pribadi, sikap, atau pendapat relatif oleh penutur bahasa terhadap sesuatu. Biasanya epitet dikodekan oleh kata sifat (adjektiva). Akan tetapi, tidak semua adjektiva dapat menjadi epitet. Hanya adjektiva yang didepannya dapat diletakkan penguat seperti sangat, penanda positif se+adjektiva, komparatif lebih + adjektiva, dan superlatif ter- atau paling + adjektiva dapat mengkodekan epitet di dalam bahasa Indonesia. Setara dengan ini dalam BS penanda relatif menjadi penanda epitet adalah afiks un-, hum, -an, tar-, tarun, tumang. Teks berikut menunjukkan pemakaian epitet dalam BS.

(7)
Roh do ia natuari margobar gerger.
datang PT dia kemarin mengenakan sarung merah.
’Dia datang kemarin dengan menggunakan sarung merah’.

Dalam teks (7) gerger ‘merah’ adalah epitet karena kata itu dapat diikuti oleh tarungerger ‘lebih merah’. Berikut adalah pemakaian epitet di dalam BS.

(8)
Tarundear do da anak boru ai.
lebih cantik PT PI anak gadi itu.
’Anak gadis itu lebih cantik’.

(9)
Humisar ma bahen pardalanmu.
lebih cepat PI buat jalanmu
’Berjalanlah lebih cepat’.

Dalam konteks sosial pemakaian BS teks (8) bermakna bahwa ‘anak gadis itu sangat cantik’ atau ’anak gadis itu tercantik’. Demikian juga dalam teks (9) makna yang terkandung adalah ‘saya mau agar Anda berjalan sangat cepat’. Sejalan dengan penggunaan modalitas penutur BS menggunakan epitet setingkat lebih rendah dari makna yang dimaksudkan. Dengan kata lain, kalau dikatakan gadis itu lebih cantik makna yang dimaksud adalah ’gadis itu tercantik’ atau ’gadis itu paling cantik’. Penutur BS senantiasa mengodekan pengalaman setingkat dibawah makna yang dimaksudkan. Hal ini dimaksudkan untuk tidak menyombongkan diri, memelihara solidaritas dengan mitra bicara, dan kekhawatiran melakukan kesalahan pengodean makna.
Vokatif merupakan nama yang kepadanya proposisi atau proposal diajukan. Dalam interaksi, penutur sering mengalamatkan proposisi atau proposal kepada petutur dengan menyebut nama, nama panggilan, atau nama samaran. Misalnya, dalam klausa berikut Johan berfungsi sebagai vokatif dalam proposisi dan proposal: Johan, saya akan pergi ke kantor; Johan, di mana buku itu?; Johan, ambilkan buku itu; dan Johan, biar saya saja yang menulis surat itu, yang masing-masing berfungsi ujar pernyataan, pertanyaan, perintah, dan tawaran. Vokatif dapat mengacu kepada nama diri seseorang atau panggilan untuk orang kedua sebagai mitra interaksi. Panggilan orang kedua tunggal Ambia dan Baya dalam BS masing-masing mengacu kepada sesama penutur laki-laki dan perempuan. Di samping itu, dalam BS terdapat panggilan ham untuk orang kedua tunggal bentuk hormat dan ho untuk mitra interaksi sebaya, akrab, atau lebih rendah dalam status. Namun demikian, kecenderungan dalam pemakaian BS adalah penggunaan Ambia untuk interaksi sesama laki-laki atau Baya untuk sesama perempuan yang hanya menunjukkan mitra interaksi sebaya atau lebih rendah.

(10)
Tahu ma bakku bagod ai, Ambia.
tuang PT untukku nira itu, V
’Tuanglah nira itu (ke gelas) untukku’.

(11)
Ai[4] Baya, roh do hape ia.
TA V datang PT juga dia
’Rupanya dia datang juga’.

(12)
Jauden om ma rumah ta, Ambia
V ini PI rumah kita, V
’Jauden, inilah rumah kita’.

Teks (10, 11, 12) menunjukkan penggunaan vokatif ambia dan baya yang khusus hanya terdapat dalam BS dan tidak ada kesetaraannya di dalam bahasa subsuku Batak yang lain. Ekspresi ambia untuk interaksi sesama laki-laki dan baya utuk interaksi sesama perempuan. Kecenderungan penutur BS adalah menghargai mitra interaksi yang statusnya lebih rendah atau sejajar dengan pembicara. Vokatif ho jarang digunakan. Dengan demikian kecenderungan pemakaian ham, Ambia, Baya menjadi ciri pemakaian BS.
Tema antarpersona (TA) dibatasai sebagai bentuk linguistik ai yang diletakkan di awal klausa atau ucapan oleh pemakai bahasa. Ucapan atau tulisan ai ini digunakan untuk menandai pengharapan agar dalam interaksi antara penutur bahasa dan petutur atau mitra interaksi terdapat keharmonisan. A singkatan atau mewakili kata amang ‘ayah’ dan i inang ‘ibu’. Dalam sebagian komunitas Simalungun, ekspresi ai disebut hata saamang sainang ‘ucapan seayah seibu’ dengan implikasi magis bahwa pembicaraan yang dimulai dengan ai akan menjadi interaksi antara orang seayah dan seibu sehingga dalam konteks sosial seperti itu satu sama lain saling mengayomi, menuruti, dan menghormati untuk keberhasilan interaksi dan komunikasi verbal. Selanjutnya, ekspresi ai merupakan ekspresi permintaan anak ke ayah atau ibu, yang lazimnya tidak akan ditolak.
Pada zamannya, yakni ketika suku Simalungun masih animisme, pemakai BS akan memulai pembicaraan dengan ai. Sesorang akan berupaya agar ujaran awalnya alamiah dengan memulai ekprsei TA ai ini. Kecenderungan ini terjadi dalam membicarakan hal-hal yang pelik dan menuntut kearifan dengan harapan agar kesepakatan tercapai dalam mencapai penyelesaian masalah. Beberapa orang menggunakan tema antarpersona ai ini dengan mengucapkan jampi yang berkekutan magis. Teks berikut menunjukkan pemakaian ai sebagai tema antarpersona.

(12)
Ai on do da haroroh nami hu rumah na martuah on…
TA ini PT PI kedatangan kami ke rumah yang bertuah ini
’Inilah maksud kedatangan kami ke rumah yang bertuah ini’…
(’Maksud kedatangan kami ke rumah yang bertuah ini adalah’…)

(13)
Ai ma hata na madear ai
TA PI kata yang baik itu
’Itulah kata-kata yang baik yang diharapkan itu’

(14)
Ai aha do gakni silahou on ta?
TA apa PT agaknya sesuatu dilakukan kita
’Apakah agaknya yang akan kita lakukan?’

Penutur BS khawatir hal yang disampaikannya tidak akan berterima bagi orang lain atau ditolak orang lain atau mitrabicaranya. Untuk menghindari kekhwatiran itu digunakan tema antarpersona dengan harapan agar yang diinginkannya tercapai, seperti pemenuhan segala permintaan oleh anak kepada ayah dan ibunya.
Jika ai muncul di akhir klausa atau ujaran posisinya tidak tematis dan berarti ’itu’, misalnya domma dapot hanai horbou ai ’kami telah menemukan kerkau itu’. Dalam beberapa percakapan, ai dapat merupakan jawaban terkejut, terharu, kagum, atau terheran cengang dan disertai oleh Vokatif, seperti dalam teks percakapan berikut.

(15)
A: Si Jamalim itakkap buaya
’Jamalim disambar buaya’
B: Ai, Baya
Oh, ya Puan

(16)
A: Matolhas bongbongan
Bendungan runtuh
B: Ai
(terkejut)

Dengan teks (15) dan (16) dipahamkan bahwa jika penutur BS terkejut, tercengang atau heran dia cenderung mengingat ibu dan ayahnya dengan mengucapkan TA ai. Hal ini berbeda dengan kebiasaan subsuku Batak lain yang cenderung merujuk ibu saja, seperti subsuku Toba yang hanya mengatakan inang ’ibu’: nunga laho ibana ’dia sudah pergi’....inang ’alah mak’ atau subsuku Karo dengan ucapan nande.

Potensi Sosial
Sebagai satu komunitas, Simalungun memiliki kekuatan sosial atau potensi sosial. Kekuatan sosial itu kadang-kadang tidak dipahami atau diinterpretasi berlawanan sebagai kelemahan oleh orang Simalungun atau orang yang bukan Simalungun (nirsimalungun). Kreamer (1958: 55) dan Lempp (1975: 52) mendeskripsi sifat orang Simalungun sebagai lebih halus (dibandingkan dengan Batak Toba), berwatak lembut, lebih suka menyendiri, kurang perduli kepada kelompoknya, tingkah lakunya sangat hormat, dan tidak pernah keras dan meletus meskipun sakit hati. Seorang Simalungun selalu menimbang perasaan orang lain dan takut orang lain tersinggung. Lempp berspekulasi kelembutan Simalungun ini karena suku itu satu-satunya yang pernah dijajah oleh kerajaan Jawa yang bekedudukan di Tanahjawa. Damanik (2005), dengan mengutip Kroeson (1987), mengatakan bahwa Simalungun disebut Djawa silepahipoen (Jawa silopak ipon = Jawa bergigi putih karena kebiasaan orang Simalungun mengikir giginya menjadi putih. Tarigan (1974: 8) mendeskripsi kelemah lembutan Simalungun dalam bahasanya yang digambarkan sebagai berombak beralun karena lagu daerahnya yang mengambarkan kesedihpiluan.
Faktor penyakit epidemi, pertarungan budaya, ideologi, dan agama di Simalungun yang melibatkan orang Simalungun, sistem pemerintahan yang feodalis, perbudakan (jabolon), dan perang telah membentuk identitas Simalungun sebagai suku yang selalu bertimbang rasa terhadap orang lain. Berbagai sifat Simalungun sebagai identitasnya merupakan kekuatan bagi Simalungun. Orang yang halus budi pekertinya dan yang bertimbang rasa terhadap orang lain sangat diperlukan saat ini. Jika kita tidak berbudi pekerti halus dan bertimbang rasa, hal itu menurunkan sifat kemanusiaan kita. Dalam pergaulan antaretnik sifat yang demikian diperlukan untuk menghindari konflik.
Akan tetapi, sebagian sifat orang Simalungun menjadi kelemahannya. Pertama, dalam kenyataannya akibat terlalu menimbang dan menjaga perasaan orang lain, seorang Simalungun sering terabaikan atau mengabaikan dirinya. Sifat tidak mau dan tidak ingin menampakkan dan (apa lagi) menonjolkan diri telah membuat orang Simalungun tidak mendapat perhatian dan tidak dikenal dalam berbagai kontes yang memang menuntut unjuk kebolehan, kemampuan, atau keterampilan. Banyak orang Simalungun yang memiliki kemampuan dan kualifikasi, tetapi mereka enggan menampilkan dan menonjolkan diri sehingga orang tidak mengenal mereka dan tidak memberi kesempatan untuk berbuat atau berpartisipasi, termasuk memerintah daerah Simalungun. Sementara berbagai suku mempertahankan pemimpinnya, seperti bupati dari kalangan etnik itu, Simalungun memberi peluang pemimpin mereka dari etnik lain. Demikian juga sementara etnik lain mayoritas di daerahnya, Simalungun menjadi minoritas di tanah leluhur mereka kerena daerahnya menjadi ajang rebutan. Kedua, Simalungun kurang memiliki pemertahanan kelompok (group maintenance). Simalungun suka menyendiri dan berjuang secara sendiri dan kurang melibatkan anggota grupnya. Akibatnya, dia tidak mampu menghadapi tantangan dari grup lain sehingga dia memilih masuk ke dalam grup lain. Kenyataan menunjukkan bahwa seoran Saragih yang pergi ke daerah Karo berubah menjadi Ginting. Demikian juga seorang Saragih yang masuk ke daerah mayoritas Melayu menjadi Datuk Sulaiman. Etnik lain tetap bertahan dalam identitasnya meskipun dalam kelompok mayoritas lain, misalnya seseorang tetap bertahan sebagai Sembiring atau Simanjuntak di lingkungan Simalungun.

Konflik dalam Simalungun
Secara jujur harus diakui bahwa agama sering menjadi unsur konflik sesama orang Simalungun. Damanik (2005) mencatat bahwa Islam masuk ke Simalungun pada 1450 melalui Bandar dan semakin kuat pengembangannya setelah Malaka jatuh ke tangan Portugis pada 1511. Sementara itu, Keristen masuk ke Simalungun melaluki Tigaras pada 1903. Orang Simalungun pemeluk kedua agama ini sering membuat konflik sesama mereka. Hal ini terjadi terutama bagi orang Simalungun yang tidak sepenuhnya menghayati ajaran agamanya. Simalungun yang bergama Islam cenderung meninggalkan praktik adat istiadat Simalungun jika budaya itu bertentangan dengan hukum syariat agama Islam. Kelihatannya Simalungun yang bergama Islam merasa amalan adat dan budayanya dapat mengurangi keimanannya atau keshahihan keislamannya. Akibatnya adalah Simalungun yang bergama Islam dianggap tidak asli lagi Simalungun. Berbeda dengan itu, orang Simalungun yang beragama Kristen cenderung lebih banyak melakukan praktik adat dan budaya Simalungun. Hal ini terjadi karena ajaran agama Kristen tidak terlalu banyak mereduksi praktik adat istiadat Simalungun. Konsekuensinya adalah kecenderungan bahwa hanya Simalungun yang bergama Kristen diangap Simalungun asli, sementara yang bergama Islam tidak masuk Simalungun lagi dan dijuluki sebagai maya-maya, jahe-jahe, atau Melayu (karena agama Islam disebarkan dalam bahasa Melayu). Damanik (2005: 115) mewawancarai respondennya dan menemukan bahwa
anggo seng Kristen be, seng Simalungun be sidea ai. Atap ginoran ma ai ‘maya-maya’ atap ‘jahe-jahe’ namararti ma ai samar-samar. Alang do sidea ai Simalungun, alang do homa seng Simalungun...halani seng pokkut be sidea ai bani adatta Simalungun...ai anggo domma masuk Islam, seng ongga be sidea ai manrohi horja-horja adat, hansi pe ai keluargani ope...[jika bukan Keristen, maka mereka itu bukan Simalungun, aau disebut ‘maya-maya’ atau ‘jahe-jahe’ yang berarti samar-samar. Tanggung disebut Simalungun dan tanggung pula jika diseut tidak disebut Simalungun. Lagi pula, jika mereka masuk Islam, adat istiadat telah ditinggalkan serta tidak akan menghadiri pesta, walaupun seseorang itu keluarganya] mengorsevasi bahwa

Simalungun dalam Konteks Nasional dan Global
Dalam masyarakat majemuk, Simalungun dituntut menjadi partisipan dalam pembangunan bangsa dan tidak menjadi penonton saja. Di samping itu, Simalungun harus tidak menjadi beban pemerintah jika terjadi konflik antarSimalungun atau dengan etnik lain. Keharmonisan sesama suku atau intrasuku dan intersuku hanya tercipta jika satu sama lain saling menghormati dan memahami peran masing-masing dalam pembangunan nasional. Jika peran nasional telah dilakukan, suatu suku telah dapat mara ke konteks global dan ikut memberi kontribusi terhadap perdaban dunia. Simalungun sebagai etnis memiliki peran ganda itu. Untuk mampu mencapai kedua peran itu diperlukan pembaharuan, rekonstruksi atau revitalissai indentitas dan pemikiran Simalungun. Dengan kata lain, diperlukan visi, misi dan tujuan yang jelas bagi Simalungun.

Simalungun Baru
Untuk mewujudkan partisipasinya dalam pembangunan nasional dan kesertaan dalam konteks global, Simalungun harus berbenah diri secara individu atau kelompok. Kemajuan dalam sains dan teknologi terutama teknologi informasi menuntut Simalungun baru, yang melek (literate) teknologi terutama mental teknologi yang tangguh. Literasi hanya mungkin dicapai melalui pendidikan yang berkualitas. Dengan kata lain hanya pendidikanlah sarana yang mampu mengubah corak Simalungun menjadi masyarakat maju atau madani (civil society).
Perbedaan agama, latar, dan stereotipa sebaiknya diperkecil (dan jika mungkin dihilangkan) dengan mengekstensifkan persamaan yang mampu menyatukan semua orang Simalungun. Kesamaan identitas, tantangan berupa tekanan dari luar, sejarah perkembangan sistem pemeritahan feodalis, perang, dan perbudakan dapat memperkuat kesatuan dan persaudaraan Simalungun dalam ahap Simalungun (Simalungunese sense of care and belonging). Ahap Simalungun didasarkan pada budaya dan adat istiadat Simalungun yang bersifat universal, sekuler, dan tidak berbenturan dengan ajaran agama. Ahap Simalungun akan menyuburkan identitas dan menimbulkan marwah Simalungun. Hanya dengan identitas dan marwah ini Simalungun dapat mara ke literasi sains dan teknologi sebagai kelompok. Wawasan baru Simalungun mampu mengakomodasi bukan hanya orang Simalungun tetapi juga orang lain yang ingin dan terpanggil menjadi Simalungun. Mereka yang ingin dan terpanggil dapat berupa orang yang menbentuk hubungan dengan Simalungun dan menjadi Simalungun melalui perkawinan, pengetahuan, dan simpati kepada Simalungun. Wawasan ini dirumuskan dalam visi sebagai berikut.
Visi Simalungun
Dalam kurun 10 tahun ke depan Simalungun menjadi komunitas yang padu, cerdas, dan madani untuk mencapai kesejahteraannya dalam konteks sosial nasional dan global. Komunitas inilah yang disebut Simalungun Baru.
Misi Simalungun
Untuk mencapai visi itu sejumlah upaya berupa misi dari Simalungun perlu dilakukan, yang mencakup
(1) menyatukan ahap Simalungun secara konseptual dan operasional,
(2) mencerdaskan (kognisi, afeksi, keterampilan, dan spiritual) Simalungun melalui sarana pendidikan,
(3) mengembangkan pemikiran demokrasi dan egalitarian dalam komunitas Simalungun,
(4) mengharmoniskan hubungan Simalungun dengan suku lain,
(5) berperan dalam pembangunan nasional, dan
(6) ikut seta dalam pengembangan peradaban dunia.

Tujuan
Komunitas Simalungun baru itu diharapkan mencapai tujuan sebagai berikut.
(1) terbentuknya institusi yang berfungsi merealisasikan ahap dan budaya Simalungun dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, kesenian, dan perekonomian,
(2) tersedianya ilmuwan dan cendekiawan Simalungun,
(3) terbentuknya kohesi dan koherensi Simalungun dengan etnik lain,
(4) tersedianya publikasi yang berkualitas baik tentang Simalungun, dan
(5) partisipasi Simalungun dalam pembangunan bangsa dalam konteks global.

Untuk mencapai visi, melaksanakan misi, dan tujaun Simalungun itu, diperlukan prasayarat sebagai berikut.
(1) figur pemimpin pemersatu yang mampu mengayomi semua orang Simalungun dengan segala keberagamannya (agama, latar daerah, pendidikan, gender, genrasi, dan sebagainya),
(2) institusi pendidikan yang handal dan berkualitas
(3) kekuatan ekonomi yang memadai, dan
(4) dukungan dari seluruh warga Simalungun.

Simpulan
Simalungun adalah suku atau etnis dengan identitas dan budayanya sendiri, yang terbentuk dalam proses perkembangannya. Identitas ini dapat merupakan kekuatan atau kelemahan Simalungun. Dalam interaksinya dengan suku atau komunitas lain dalam konteks sosial nasional yang majemuk, Simalungun belum berperan maksimal. Hal ini disebabkan sumber daya manusia Simalungun yang terbatas dalam kualitas dan kuantitas. Untuk menempatkan Simalungun pada posisi yang bermarwah, Simalungun perlu merekonstruksi dan merevitalisasi identitas dan budayanya agar komunitas ini mampu berperan dalam pembangunan bangsa dan pembentukan peradaban dalam konteks sosial global. Visi, misi, dan tujuan Simalungun perlu dirumuskan. Makalah ini telah menampilkan visi, misi, dan tujuan Simalungun, yang dengan merealisasikan ketiga unsur itu diharapkan akan terbentuk Simalungun Baru yang padu, cerdas, dan maju dalam upaya mencapai kesejahteraannya dalam konteks sosial nasional dan global.

Rujukan
Damanik, E. L. 2005. Agama dan Identitas Kelompok Etnik: Proses Identifikasi Identitas Kelompok Etnik Simalungun. Tesis, Program Pascasarjana, Universitas Negeri Medan.
Halliday, M.A.K. 2004. An Introduction to Functional Grammar. third edition. London: Edward Arnold
Kreamer, H. 1958. From Missionfield to Independent Church: Report on a Decisive Decade in the Groups of Indigenous Churches in Indonesia. Hoof Boeketrum: The Haque.
Lempp, W. 1975. Benih yang Tumbuh: Gereja-gereja di Sumatra Utara. Jakarta: PGI.
Martin, J.R. 1992. English Text: system and structure. Amsterdam: John Benjamins.
Saragih, A. 2003 Makna Antarpersona dalam Bahasa Simalungun, Bahas, XIV, 3, FBS Unimed.
Tarigan, H. G. 1974. Struktur Sosial dan Organisasi Sosial Masyarakat Simalungun. IKIP Bandung, Bandung.
Sekilas tentang penulis: Prof Amrin Saragih, PhD, MA, DTEFL dilahirkan di Pematang Bandar Simalungun pada 14 Januari 1955. Dia memperoleh gelar sarjana (Drs) dari IKIP Medan (1982), DTEFL dari The University of Sydney Australia (1986), S2 (MA) in Linguistics dari The University of Sydney, Australia (1988), dan S3 (PhD) in Linguistics dari La Tobe University, Victoria, Australia (1996) dengan disertasi Discourse Analysis of Indonesian Newspapaer Text: a Study of Reality, Action and Reaction. Dia adalah Guru Besar dalam Linguistik di Universitas Negeri Medan (Unimed), dosen Pascasarjana di Unimed, Universitas Sumatra Utara (USU), dan Universitas Islam Sumatra Utara (UISU). Saat ini Prof Amrin Saragih, PhD, MA, DTEFL, Drs. menjabat Kepala Balai Bahasa Medan dan Ketua Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) Harapan Medan. Di samping menjadi pemakalah di sejumlah seminar di Indonesia, dia telah menyajikan makalah dalam seminar di Australia, New Zealand, Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand. Keahliannya adalah bidang wacana. Dia telah menulis sejumlah karya ilmiah, diantarnya yang terakhir adalah buku Bahasa dalam Konteks Sosial: Pendekatan Linguistik Fungsional Sistemik terhadap Tata Bahasa dan Wacana (2006) dan Fungsi Tekstual:Tema dan Rema (2008) dan Semiotik Bahasa (dalam persiapan terbit).





[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Balai Bahasa Medan & Program Pascasarjana Universitas Negeri Medan

[3] PT = Penanda Tema (Thematic Marker). PI = Penanda Informasi (Information Structure Marker) yang dalam hal ini bertujuan menegaskan arti kepada mitra komunikasi. V = Vokatif (Vocative), yaitu panggilan hormat untuk orang kedua tunggal yang setara dengan Anda, tuan atau Sie dalam bahasa Jerman. Bentuk lazim atau setara adalah ho.
[4] Ai adalah Tema Antarpersona (TA) yang setara dengan Interpersonal Theme

Tidak ada komentar: