01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 6

Etnisitas dan Krisis Identitas
Wacana Dalam Erdemubayu (Perkawinan) Batak Karo
[1]
Jekmen Sinulingga [2]


Bab I. Pendahuluan
Etnisitas dan identitas ibarat sekeping mata uang yang memiliki dua sisi (form) dan isi (value) yang tidak terpisahkan atau. trikotomi bahasa, etnisitas, dan identitas sebagai satu kesatuan yang tidak terpisahkan, karena setiap manusia/ etnik merepresentasi diri melalui bahasa yang sekaligus sebagai identitas baik secara individual maupun etnik. Enisitas sekaligus menunjukkan identitas etnis yang direpresentasikan melalui bahasa, Tilaar (2007:17). Bahasa sebagai identitas seperti metafor” Mulutmu adalah Harimaumu” atau “ Bahasa menunjukkan Bangsa” merupakan fitur, bahwa bahasa bukan saja medium yang berfungsi sebagai ekspresi seseorang/etnik saja, tetapi juga bahasa sebagai penunjuk identitas, tanda (simbol) budaya, yang perlu dikaji secara mendalam.
Penggunaan bahasa (language and use) tertuang dalam wacana budaya guyub tutur tertentu dalam hal ini Wacana dalam Upacara erdemubayu Batak Karo (WEBK), yang menghadirkan fenomena bahasa, etnisitas dan identitas. Peristiwa bahasa (WEBK) memunculkan fenomena etnisitas yang etnosentis, baik positif maupun negatif. Etnosentris positif, adalah sikap superoritas dalam membangun komunitas etnik BK tentunya secara internal, sedangkan etnosentik negatif, adalah sikap yang tidak membangun etnik (ke-egois-an) atau indvidualistik BK, dalam hal ini ketidakperdulian terhadap etnik lainnya. Finke (2001:84) menyatakan ”This means a serious crisis of identity of science”. Indikasi pernyataan di atas adanya dialektikal, krisis etnisitas dan identitas dalam ilmu pengetahuan, dan merupakan fenomena menarik dikaji.
Fenomena lain, bahasa daerah sebagai simbol (identitas) kelokalan di Indonesia secara umum kadar keaslian, kemurniannya, semakin terbatas penggunaannnya, semakin terisolasi, dan retensinya melemah (Wijana, 1999 : 8), ancaman kepunahan (Mbete, 2003 : 46), dan penindasan secara sistematik (Tantra, 2002: 2) tentunya berakibat pada krisis etnisitas/identitas, krisis kearifan lokal (lokal genius), dan bahkan kehilangan simbol budaya dan identitas.
Wacana erdemubayu (perkawinan) Batak Karo (WEBK) memiliki fitur khusus baik secara internal maupun eskternal. Pertama, WEBK secara internal, sebagai fakta sosial etnik BK, karena interaksi logonomik system yang menggunakan tanda (symbol) budaya, sebagai proses etnisitas yang melahirkan identitas tertentu (lokal genius) direpresentasikan melalui bahasa Batak Karo. Secara semotika sosial, WEBK merupakan semua semiosis tanda dengan konteks budayanya yang terajut melalui bahasa dan melahirkan symbol atau etnisitas/identitas tertentu. Indeksikal (peristiwa) WEBK terkait dengan simulacrum di atas, tentunya mengandung makna baik secara semantis, budaya, dan ideologi. Kedua, WEBK secara global (eksternal), perkawinan antar etnik (asimilasi) semakin terbuka maka perlu pemahaman simbol budaya (identitas) secara lintas budaya,
Orientasi pemikiran postmodern (abad 21) Habersma: (1983: 45-47, 141,142), Foucault, (2007:86), dan Harsono, (2008:31) menyatakan bahwa masyarakat sekarang ini bersifat logosentris (etno-simbolisme) yakni berkutat pada simbol, sekaligus berdampak pada masalah entisitas dan identitas.
Kajian ini melakukan pendekatan fenomenologis etno-simbolisme, Smith, (2006), Tilaar, (2007) yakni menekankan masalah etnisitas, perlakukan simbol budaya (identitas) merupakan komuniti dan kajian yang menarik. Dengan kosekwensi pada saat ini masalah bahasa, otonomi, etnisitas, dan identitas bagian penting dikaji, dan sebagai payung terhadap birokratisme dan rasionalisme yang kurang manusiawi.
Metode yang dilakukan bersifat eklektik (beberapa presfektif) yakni menggunakan teori: (1) Simbol, Barthes, (2007), (2) Semiotika Sosial, Kress( 1991), dan (3) Teori ekolinguistik kritis (ekokritis), Muhlausler (2001), Mbete (2008). Mitos adalah bahasa, Barthes: 2004: X), yang diadopsi dari istilah ikon, indeks, dan simbol pakar semiotik C.S. Pierce (1914). Simbol/mitos merupakan tanda yang dihubungkan dengan denotatum berdasarkan konvensonal (kesepakatan), Zoest, (1993:74).
Secara ekokritis, makalah[3] ini merupakan representasi komunikasi budaya yang sangat penting dan sekaligus sebagai solusi seperti dinyatakan (Fairclugh, 1995:187), Bertens,(1983:182), dan Magnis-Suseno, 1992:160), sikap kritis atau ekokritik merupakan evaluasi terhadap simbol etnisitas/identitas sebagai: (1) pembebasan yakni bertujuan atas pemahaman simbol budaya (identitas) tertentu, (2) emansipatoris, bertujuan, berusaha merajut perlindungan simbol etnisitas dan identitas etnik, dan (3) pencerahan, bertujuan terjalinnya komunikasi lintas budaya yang sekaligus memperkaya khazanah budaya nasional.
Kolaborasi teori ini merupakan kajian yang merepresentasikan struktur satual lingual (simbol) sebagai data yang diperoleh dari WEBK, dikoherensikan dengan fitur budaya yang terkait masalah etnisitas dan identitas. Dalam hal ini penulis berasumsi bahwa penggunaan bahasa (WEBK) sebagai tanda mampu mengungkap, memberikan solusi terhadap masalah etnisitas dan identitas Batak Karo.
Alasan yang melatarbelakangi pemilihan WEBK adalah menelaah beberapa sistem simbol budaya (mitos) yang merefleksikan perubahan etnisitas dan identitas BK. Karena etnisitas dan identitas Batak Karo, Print, (2004: 65), Ginting, (1997: 19), dan Vergouwen (2004:371) menyatakan, adanya pergeseran, perubahan simbol budaya yang berdampak pada krisis etnisitas dan identitas etnik BK.
Smith (2006), Thomas, (2007: 136), dan Tilaar, (2007:5-6) menyatakan 6 fitur distingtif dalam masalah etnisitas dan identitas yakni (1) nama (naming), (2) Mitos, 3. Memori histori, (4) Kesatuan elemen budaya, (5) Home land (daerah), dan (6) Rasa Solidaritas dalam komunitasnya.
Dalam makalah ini membahas masalah (1) nama dan (2) Mitos yang terdapat dalam WEBK yang berfungsi sebagai penanda (maker) etnisitas dan identitas etnik BK .

Bab II. Analisis Etnisistas dan Identitas dalam Wacana Erdemubayu Batak Karo.
1. Simbol Nama (naming) Sebagai Identitas etnik BK
Memiliki nama yang khas mengidentifikasikan hakikat suatu masyarakat, Tilaar, (2007:6). Pemahaman budaya dalam proses pemberian nama sebagai identitas etnik memiliki fitur tersendiri baik secara pribadi maupun secara sosial, khususnya dalam budaya etnik BK seperti leksis Sinulingga sebagai identitas merga (gelar kerabat). Masalah etnisitas terkait identitas dalam konteks WEBK setiap orang yang menikah dengan etnik BK, dan sesuai dengan adat istiadat BK (legitimasi) harus disahkan secara adat yaitu pemberian identitas merga (gelar keluarga ).
Sibarani (2004:109), etnik Batak Toba termasuk Batak Karo memiliki 5 jenis nama yakni: (1) Pranama, yakni nama yang diberikan kepada anak yang baru lahir seperti nama Ucok ‘bayi laki-laki’ dan butet ‘bayi perempuan’ (2) proper name, nama pribadi yang diberikan kepada seorang anak secara permanen (3) Teknonim , yakni nama yang diberikan dari anak atau cucu sulung seperti bulang ..X atau nini ...X, (4) Gelar (julukan), yakni nama yang diberikan atas profesi, keahlian, seperti Guru, Pande (tukang) (5) Merga, yakni nama keluarga (kerabat) seperti Ginting, Sembiring, Tarigan, Karo-karo, Perangin-angin. Seperti analisis data di bawah ini:
1. Implikatur ideksikal.
Pembicaraan ini terjadi pada konteks erdemubayu atau pengesahan sebuah perkawinan sesuai dengan adat istiadat BK. Juru bicara (anakberu tua) kedua mempelai saling sijalapen (adu argumen) tentang identitas sierjabu (pengantin), dihadapan tokoh agama, adat, dan kuh sangkep nggeluh ( undangan) di Jambur (tempat). Pembicaraan diawali juru bicara pihak perempuan (ABS) kepada juru bicara pihak laki-laki(ABK). Seperti data di bawah ini:
(1). ABS : Bujur, enda sijalapen dage kita! Adi kam kin anakberu.Depari mergana enda,
Ise dage gelar Sierjabu enda?
“Terima kasih, kami bertanya dan Ipar menjawabnya!Kalau Ipar sebagai anakberu Depari merganya, Siapakah nama yang menikah ini?”.
(DE.35/ABS)
(2). ABK: Gelar Si erjabu enda Mental ras mergana Sinulingga, kutana i Seberaya
“Nama yang menikah adalah Mental dan merganya Sinulingga kampungnya di Seberaya ”.
(DE.36/ABK)

Berdasarkan data 1, 2 proses penamaan sebagai identitas sangat penting dalam erdemubayu, kehadiran leksis Mental (propername) dan Sinulingga (merga kerabat) sebagai simbol atau identitas budaya etnik BK. Berdasarkan strukturnya, mengacu pada nama diri (orang) Mental dan diikuti nama merga Sinulingga (identitas keluarga). Berarti struktur penamaan dalam budaya BK nama sebagai identitas harus ada yaitu identitas individual (nama) dan merga (identitas keluarga). Identitas nama kampung atau desa Seberaya data 2 juga secara topografis menguatkan peristiwa erdemubayu asal/daerah mempelai laki-laki yang berfungsi untuk membedakan orang yang menikah, dalam artinya bisa saja nama, merga, sama namun kampung berbeda atau sebaliknya.
Berdasarkan data dokumen yang terdapat dalam surat undangan perkawinan (surat undangen) (WEBK), maka nama sebagai identitas etnik BK sudah mengalami pergeseran yang signifikan. Secara umum ada dua kategori perubahan nama sesuai ekolinguistik yakni: (1) ekologi biosfer (natural-budaya), dan (2) ekosfer (buatan) Haliday ( 2001: 175) yang berorientasi pada perubahan kognitif BK (3) eksofer (global).
Pertama, nama-nama yang bersifat natural seperti: Kerbo (kerbau) Ginting, Singa (singa) Singarimbun, Lenggur (petir), Reba (ladang) Perangin-angin, Pulubalang (sejenis hutan) Tarigan, Maler (identik air) Sitepu, Malemate (sembuh) beru Ginting, Pengkih (sejenis kaju keras) Sitepu. Kedekatan masyarakat BK terhadap (ekologi) lingkungan alam dan budaya tergambar pada identitas nama.
Kedua, identitas yang bersifat teknosfer (buatan) ditemukan nama Mesin Tarigan, Mariam Sinulingga, Gertak (jembatan) Manik, Telap (tajam) Depari, Kelas (ruang) Colia, Payung Bangun, Lenor (penggaris)Bangun, Pelor (peluru) Sembiring, Payung Bangun dsb.
Ketiga, identitas eksofer (global) nama yang bersumber dari luar daerah. Seperti Jhon Stephen Purba, Oktavianus Sembiring, Ayu Faskawaty beru Sinulingga, Mores Ginting. Ketiga identitas di atas memiliki fitur tersendiri yaitu kedekatan etnik BK dengan lingkungan (ekologi) alam dan budaya, sekaligus memiliki fungsi dan makna tersendiri baik (1) makna pengharapan, (2) makna kenangan, Sibarani ( 2004: 124).
Makna nama sebagai identitas sangat bergantung pada sipemberi nama sendiri. Dalam ekologi budaya BK, pemberian nama dilaksanakan secara adat-istiadat yang disebut dengan Erbahan Gelar (memberi nama), yang dilaksanakan oleh kelompok paman anak (kalimbubu) kepada bere-bere (keponakan).
Secara umum nama yang diberikan sebagai salah satu identitas, memiliki makna (1) Pengharapan futuratif: seperti, Pengkih Sinukaban (keras), Telap Sembiring (tajam, berhasil, makna situasional, seperti Malemateta Beru Barus, (supaya cepat sembuh), Rehulina Beru Sebayang (makin baik ), (2) kenangan: seperti Merdeka Perangin-angin, (kenangan bahwa lahir pada hari kemerdekaan, Bistok Karo Sekali (kenangan lahir pada masa Gestapu PKI), (bandingkan, Sibarani, 2004: 115-124).
Gelar (nama) dan merga (merga) sebagai penanda (maker), memiliki 5 fungsi identitas yakni:
(1) Fungsi identitas individual
Secara fungsional nama merajut pada identitas kognitif gender etnik BK sebagai pembeda dengan lainnya baik laki-laki maupun perempuan. Secara elisitasi nama Mental bila disisipkan leksis ber­u (penanda jenis kelamin wanita) maka terjadi kontadiksi (kurang berterima) sesuai dengan data 2 karena yang melamar adalah laki-laki atau bukan sebaliknya. Berarti ketidak hadiran leksis beru pada data 2 adalah sebagi fitur gender laki-laki dalam etnik BK.
Secara sosiopragmatis, nama diri (identitas) juga berfungsi sebagai kata sapaan panggilan, baik memulai sebuah tuturan (percakapan), biasanya digunakan pada tingkat kekerabatan, sosial, lingkungan, budaya (Dardjowidjojo, 1994:178) dan (Djajasudarma, 1999 : 47). Berdasarkan konteks budaya yaitu adat-istiadat BK bila serjabu (pengantin) dikarunia anak maka proses penamaan berubah secara langsung pada nama orangtuanya yaitu penambahan nama anaknya. Berdasarkan data 2 maka secara sapaan nama diri Mental diganti dengan nama anaknnya menjadi Bapa (ayah)....X atau nande ..X., dan bila sudah bercucu maka namanya berubah menjadi Bulang (kakek)...X atau nini (nenek)... X.. dalam hal ini penambahan identitas etnik BK memiliki makna prestise yang lebih tinggi.
(2) Fungsi memori histori, dan fungsi home land (daerah),
Kelompok tertentu memiliki memori masa lalu yang sama: Pahlawan, hari besar, perayaan tertentu. Tilaar, (2007:6). Kelompok yang memiliki tanah tumpah darah yang sama,Tilaar, (2007:6). Secara fungsional mitos merga sebagai penanda identitas etnik BK bermakna asal-usul, dan keturunan (memori histori). Identitas seperti Jekmen Sinulingga, berarti berasal dari desa Lingga dan keturunan merga (merga) Sinulingga. Merga yang dimiliki etnik BK sebagai alat pengingat. Merga Sinuraya, Kaban, Gurusinga, Singarimbun, Sinulingga, Surbakti memiliki fungsi topografi. Secara topografis (home land) nama Desa (kuta) Singa, Kaban, Kabanjahe, Kabanjulu berfungsi sebagai identitas bahwa semua merga di atas adalah komunitas yang mendirikan kuta (desa) tersebut, atau berasal dari desa tersebut.
Maknanya adalah penguasa, pemilik tanah adalah merga di atas, sedangkan merga lainnya sebagai pendatang. Secara ideologis merga (merga) sebagai identitas etnik BK, dominasi atau kekuasaan (power) di kuta (desa) tersebut dimiliki merga Sinulingga, sekaligus sebagai fitur pendiri kuta (desa) tersebut.
(3) Fungsi kesatuan elemen budaya
Kesatuan elemen budaya berarti memiliki kesamaan agama, adat-istiadat, bahasa, dan perkawinan, Tilaar, (2007:6). Gelar (nama), merga (nama keluar) merupaan elemen budaya etnik BK dibuktikan pelakuan gelar (nama), merga dalam WEBK. Berdasarkan etimologinya kata merga barasal dari kata me-herga, atau erga (harga). Mitos merga (merga) dalam WEBK sebagai penanda (maker) status dalam kesatuan elemen budaya etnik BK. Seseorang yang tidak memiliki merga berarti tidak ada erga (harga) atau tidak ada status dalam adat-istiadat etnik BK. Konswensinya, pemberian merga pada lebel gelar (nama) merupakan suatu keharusan baik secara individual, maupun organisasi sosial (adat istiadat).
Secara sosiopragmatis, merga dalam WEBK berfungsi sebagai penanda status sosial. Status sosial yang dimaksud adalah kedudukan seseorang dalam interaksi sosial (WEBK). Berdasarkan status, etnik BK mempunyai kebiasaan memberikan gelar (nama) dan merga (clan) dalam lingkungan keluarga, artinya setiap orang memiliki merga dan sub clan merga (Meliala, 1978 : 15). Berdasarkan status sosial maka : (a) merga (Pria) dan beru (perempuan) yang berasal dari clan ayah, (b) bebere berasal dari clan ibu, (c) kempu berasal dari clan bebere ibu, (d) soler berasal dari clan kempu ibu, (e) binuang berasal dari clan bebere ayah, dan (f) kampah berasal dari clan bebere kakek dari pihak ayah (Darwan, 1985 : 42) terakumulasi dalam hal upacara adat, dan etnik Batak Karo (BK) membagi diri menjadi tiga kelompok besar yang dikenal dengan Dalikan Sitelu (tungku nan tiga) atau Rakut Sitelu (ikatan tiga) yakni: (1) senina , (2) anakberu, (3) kalimbubu.
1. Merga penanda Senina adalah salah satu kelompok/unsur dalam Dalikan Sitelu yakni orang yang mempunyai saudara karena: (a) pertalian darah, (b) semerga/beru, (c) sipemeren (ibu bersaudara), (d) siparibanen (istri/suami bersaudara), Sitepu, ( 1985: 45-46). Dalam kegiatan adat-istiadat, Senina merupakan penjamin materi dan moral seseorang dalam masyarakat, berhak mendapat warisan, dan berhak mendapat mas kawin.
2. Merga penanda identitas Anakberu adalah salah satu kelompok/unsur sosial dalam Dalikan Sitelu, berdasarkan etimologinya: anak ‘anak’, beru ‘perempuan’ jadi anakberu adalah anak perempuan. Dalam pengertian lain orang/pihak yang menikahi anak perempuan suatu keluarga. Misalnya: A memperisti C, maka dari segi status sosial dalam masyarakat BK semua keluarga si A menjadi anakberu pada keluarga si C, keluarga si C adalah kalimbubu si A. Tugas dan kewajiban anakberu adalah: (a) mengatur jalannya pembicaraan runggu ‘musyawarah’ adat., (b) menanggung biaya sementara dalam upacara, (c) mengawasi segala harta milik kalimbubunya, (d) mengatur pertemuan keluarga, (e) menyiapkan peralatan dalam setiap upacara., (f) menanggung aib dari kalimbubunya, (g) berhak mengawinkan putranya dengan putri kalimbubunya terlepas setuju atau tidak, dan (h) berhak menerima pembagian harta warisan dari kalimbubunya (Darwan, 1985: 68), Sitepu, (1985: 45-46). Pada prinsipnya anakberu pelaksana pekerjaan kalimbubu dan tetap menjaga keharmonisan dalam keluarga.
3.Merga penanda identitas Kalimbubu adalah keluarga/pihak pemberi dara, kalimbubu sebagai pengayom dalam keluarga, pemberi nasehat, dan pemberi keputusan dalam konflik keluarga. Dalam adat istiadat kedudukan/ status kalimbubu sangat tinggi, malah disebut sebagai “Dibata ni idah” artinya Tuhan yang yang dapat dilihat, Sitepu,(1985 : 42). Kalimbubu sangat dihormati karena mereka yang melahirkan ibu, dan pelindung dalam keluarga. Sapaan Kalimbubu Singalo Ulu Emas adalah sebagai status sosial tertinggi dalam masyarakat BK. Kalimbubu sebagai pemilik Ulu ‘kepala/inti’dan Emas (sejenis harta paling mahal) menurut adat istiadat BK.
Sapaan yang dipergunakan pada situasi tidak formal/kehidupan sehari-hari adalah mama untuk paman, mami untuk sapaan istri paman, dan ketika situasi upacara disapa dengan kalimbubu.

(4) Fungsi rasa solidaritas dalam komunitas.
Dalam WEBK ideksikal Sijalapen, adalah salah satu acara dalam upacara peresmian perkawinan BK yaitu penentuan orang yang bertanggungjawab secara administrasi kepemerintahan, dan adat istiadat BK sebagai penanda identitas rasa solidaritas dalam komunitasnya. Penanggungjawab berjumlah 11 orang yaitu enam orang dari pihak laki-laki dan 5 orang dari pihak perempuan, kesebelas orang tersebut sebagai penanggungjawab, dan tertulis dalam surat akad nikah sesuai dengan adat istiadat BK. Acara sijalapen (tanya jawab) biasanya dilaksanakan oleh kepala desa atau lurah dari pihak laki-laki atau wanita. Seperti data di bawah ini:
(3). ABS : Bujur, enda sijalapen dage kita! Adi kam kin anakberu..... mergana enda,
Ise dage gelar Sierjabu enda?
“Terima kasih, kami bertanya dan Ipar menjawabnya! Kalau Ipar sebagai anakberu ... merganya , Siapakah nama yang menikah ini?”
(DE.35/ABS).

Data 3 adalah salah satu cara sijalapen (tanya jawab), berdasarkan konteksnya WEBK ABS menanyakan nama pengantin laki-laki kepada ABK sebagai juru bicara pihak laki-laki dibuktikan leksem Ise dage gelar Sierjabu enda? (Siapa nama pengantin). Indeksikal Sijalapen (tanya-tawab) sebagai kelengkapan administrasi (surat nikah) yaitu:
A. Pihak pengantin laki-laki
1. Nama pengantin , merga, dan alamat
2. Nama Bapak kandung, merga, dan alamat
3. Nama yang menikahkan (Sipeempo kenca) saudara kandung ayah pengantin, merganya dan alamat
4. Nama senina (saudara semerga), merganya, dan alamat
5. Nama Anakberu Tua (yang dituakan anakberu), merganya, dan alamat
6. Nama anakberu miteri (ipar kandung bapak pengantin), merga, dan alamat.
B. Pihak Perempuan
1. Nama pengantin, beru (ciri klan), alamat
2. Nama bapak pengantin, merga, dan alamat
3. Nama yang menikahkan (Sinereh kenca) saudara kandung ayah pengantin, merga, dan alamat
4. Nama senina (saudara semerga), merga, dan alamat
5. Nama Anakberutua (yang dituakan anakberu), merga, dan alamat
Kesebelas (sepulu sada) gelar (nama), merga tersebut ditulis kepala desa/lurah surat kawin sebagai bukti kedua pengantin sah/resmi sebagai suami istri. Fungsi kesebelas nama dan merga tersebut adalah sebagai penanggung jawab (rasa solidaritas) yaitu bila ada masalah yang tak terduga misalnya bertengkar, bercerai dan sebagainya. Fungsi lainnya agar kedua mempelai mengetahui penangungjawab, dan agar kedua mempelai tetap terawasi keluarga. Secara ideologis jumpa sepulu sada (bertemu sebelas orang); dibaca: sada (satu) secara literal berkumpul sebelas orang sebagai penganggung jawab kedua mempelai sedangkan secara nominal berarti sada ukur (satu perasaan), sada arih (seia-sekata), yang bermakna bersatu pendapat mempertanggungjawabkan perkawinan kedua mempelai.

2. Mitos Sebagai Identitas Etnik BK
Barthes (2007: 24) menyatakan, semua tanda adalah mitos, dan mitos kesatuan tanda/identitas (Tilaar, (2007:6). Dalam WEBK terdapat mitos tertentu sebagai fitur identitas etnik BK yakni:
1. Mitos Manuk Sindung-indung Sebagai Penanda Identitas Etnik BK
WEBK memiliki mitos sebagai penanda (maker) identitas etnik BK seperti kehadiran leksis “Manuk Siindung-indung” merupakan Simulacrum (Barthes, 2007:171), logonomik sistem Kress: 191:143), yaitu sebagai proses pengidentitatas tanda menjadi mitos (simbol) atau identitas etnik BK.
Perlakuan simbol “Manuk Siindung-indung ’ayam betina’ pada upacara erdemubayu tidak hanya sebagai simbol legisign (konvensional) tetapi merasuk pada presepsi etnik BK. Mitos “Manuk siindung-indung”, ’ayam betina’ secara komponen semantis memiliki fitur sebagai berikut:
+ Ayam
Manuk + betina
Siindung = - telur
- indung + hitam
+ kuasa
+ mitos
Simbol budaya Manuk Siindung-indung pada koteks WEBK tidak hanya sebagai tanda biasa namun semiosis manuk secara konvensional (kesepakatan) menjadi identitas (simbol budaya) etnik BK. Penguatan mitos Manuk Sindung-indung seperti implikatur indeksikal dibawah ini:
Secara indeksikal Manuk Sindung-indung diberikan oleh Kelompok paman (kalimbubu) dalam acara erdemubayu, setelah memberikan petuah atau nasihat kepada pengantin dan keluarga maka kalimbubu menyerahkan “Manuk Siindung-indung “ kepada pengantin sambil mengucapkan tuturan sebagai berikut:
(3). KLS. “Lit Luah ibaba kami, Enda manuk Sindung-indung anakku, enda la man gelehen, enda siman asuhenndu, pernen pagi manuk enda, pebue pagi anakna, gelah reh gia kami pagi kerina kalimbubundu ibahnndu bengkau kami manuk, sebab tabehen nge akap kami manuk asangken taruk”.

“Inilah oleh-oleh yang kami bawa , “Manuk Sindung-Indung” bukan untuk disembelih, namun sebagai peliharaan, kalian lihatlah ayam ini, dan perbanyaklah anaknya, seandainya kami datang, buatlah lauk kami anak ayam ini, karena kami lebih menyukai lauk ayam ketimbang lauk daun jipang.
(DE. 73KLS)

Data 3 menunjukan kehadiran leksis “Manuk Sindung-indung” dalam WEBK, sebagai identitas yakni simbol legisign (konvensional) etnik BK. Simbol legisign “Manuk Sindung-indung” dimetaforkan dengan perilaku kedua pengantin dan tidak bisa digantikan simbol binatang lainnnya. Kateristik mitos “Manuk Sindung-indung” sebagai identitas etnik BK, berkutat pada bentuk dan prilaku manuk siindung-indung mulai dari bertelur, mengeram, merawat anaknya, mencari makan, melindungi anak dari bahaya sebagai fitur distingtif bagi etnik BK. Representasi identitas sikap kemandirian “Manuk siindung-indung” dalam memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang bermodalkan kias-kias (mengais), tubi (paruh), dan kebeng (sayap) mampu hidup. Representasi identitas sikap kesigapan “Manuk siindung-indung” tanpa pamrih melindungi anaknya dari serangan baik situasi, cuaca, maupun binatang buas. Ciri kemandirian, kesigapan yang dimiliki ”Manuk Sindung-indung” dimetaforkan pada kehidupan rumah tangga yang baru dibentuk dalam etnik BK.
Secara fungsi dan makna “Manuk Sindung-indung” sebagai identitas etnik BK bersifat didaktik, dibuktikan oleh leksis ...”enda la man gelehen, enda siman asuhenndu, nen pagi manuk enda, pebue pagi anakna”. “ini (Manuk Sindung-indung”) bukan untuk disembelih, lihatlah perbuatan ayam ini, perbanyak anaknya” mensyaratkan tidak boleh sembelih, namun sebagai tiruan soko guru, dibuktikan leksis....pernen pagi manuk..”perhatikan/lihatlah ayam itu” sebagai imperatif kepada pengantin, bahwa prilaku “manuk sindung-indung“ perlu ditiru dalam membina rumah tangga yang baru.
Fungsi dan makna mitos “manuk sindung-indung” sebagai identitas etnik BK, diidentikan dengan sikap, perbuatan kedua mempelai dalam membina rumah tangga yang baru harus seperti sikap “Manuk Siindung-indung”.
Secara ideologis dalam konteks WEBK, sebuah rumah tangga yang baik dan dapat dibanggakan kemandiriannya oleh keluarga, bila kedua mempelai bekerja tanpa pamrih dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga baik secara material maupun spiritual.

2. Mitos Ose (Pakaian ) sebagai Penanda Identitas Etnik BK.
Barnatd,(2006:6) pakaian (fashion) anda menunjukkan siapa anda. Ose (pakaian) merupakan sebuah tanda, karena menunjukkan sistem logonomik yang mengasilkan makna-makna yang bersifat ideologis baik secara individual maupun kelompok. Style berpakaian merefleksikan makna status, kelas dan kategori-kategori sosial, hal ini tertentu saja dibarengi model, warna, dan jenis bahan dan lainnya, yang menghadirkan kekuatan (power) dan solidaritas Hodge & Kress (1991: 107). Dalam WEBK yang berkutat mengenai pakaian sangat menonjol, hal tersebut dibuktikan dalam data yakni:


(4). KLW : Kerna perose enggo isikapken kami kalimbubundu, janah lampas pepagi bebere kami, ras silih kami ersikap gelah pedas dung iosei, nindu!
“Mengenai pakaian sudah kami persiapkan, agar besok keponakan kami beserta ipar untuk mempersiapkan diri, agar pakaian lekas dipakaikannya, sampaikan kepadanya!”.
(DE.35/KLW)

(5). KLS : Kerna perose enggo isikapken kami kalimbubundu, janah lampas pepagi bebere kami, ras silih kami ersikap gelah pedas dung ia dung iose, nindu!
“Mengenai pakaian sudah kami persiapkan, agar besok keponakan kami besertaipar mempersiapkan diri , agar pakaian lekas dipakaikannya, sampaikan kepadanya!”.
(DE.35/KLS)

Berdasarkan data 4 dan 5 di atas kalimbubu (kelompok paman) menyiapkan seluruh ose (pakaian) pengantin beserta orang tua kandung pengantin. Ose(pakaian) yang dimaksudkan adalah pakaian yang sesuai dengan adat istiadat BK. Hal ini sesuai dengan ujaran ABS mengenai pakaian yakni:
(6). Bujur Silih!, Ertima kam kentisik!, Man bandu kalimbubu ijenda kami ercakap kerna perose, emaka tertinggel-tinggel kam kerina!. Sue arih ras percakapenta sanga Maba Belo Selambar maka,
1. Si erjabu duana rose lengkap eremas-emas
2. Nande, bapa pe kepar rose lenggap la ermas-emas
3.Senina, sembuyak ertanda-tanda la erbeligan, kerna perose me enggo
ipesikap uga nindu kalimbubu kami ? Arih kam kerina!.

“Terima kasih Ipar!, Besabarlah sebentar agar dirembukkan dengan kalimbubu!. Yang terhormat kalimbubu kami saat ini kami berrembuk mengenai pakaian adat, oleh sebab itu kami mohon perhatiannya!. Sesuai dengan pembicaraan ketika Maba Belo Selambar (peminangan) maka, Kedua pengantian memakai pakaian lengkap beserta emas-emas.Orangtua kedua belah pihak memakai pakaian lenggap tanpa emas-emasSenina kedua belah pihak memakai tanda yang jumlahnya tidak terbatas. Mengenai pakaian ini apakah kalimbubu sudah menyiapkannya? Kami mohon kalimbubu berembuk!”.
(DE.34/ABS)

Berdasarkan data 6 yang berkaitan dengan ose (pakaian adat) kedua belah pihak pengantin dipersiapkan kalimbubu masing-masing. Sesuai dengan konteks budaya BK, maka orang yang paling berhak nampitken (memasang) bulang-bulang (penutup kepala) pengantin laki-laki adalah paman kandung (saudara laki-laki ibu), hal ini tidak dapat diwakilkan kepada orang lain, begitu juga mengenai ose (pakaian) pengantin wanita, orang paling berhak nampit (memasang) tudung adalah istri paman kandungnya. Proses ose ini juga menunjukkan kekuatan (power) dimiliki kalimbubu kedua belah pihak.
Aturan memakai ose (pakaian) menurut budaya BK memiliki ciri distingtif bila dibandingkan dengan pakaian biasa (pakaian sehari-hari). Pakaian adat BK biasa dipergunakan dalam situasi resmi atau upacara adat.
Syarat ose (pakaian) pengantin laki-laki dan pengantin perempuan memiliki bentuk, warna yang berbeda. Menurut adat istiadat BK pakaian lengkap pengantin laki-laki baik bahan kain maupun bahan perhiasan dan kelengkapan lainnya, (dapat di lihat pada sarana dan prasaran upacara ). Ose (pakaian) pengantin laki-laki dan pengantin perempuan disebut dengan rose lengkap eremas-emas (berpakaian lengkap disertai emas-emas) karena pakaian adat dilengkapi oleh penik-pernik (emas- emas).
Perbedaan ose (pakaian) orang tua kandung pengantin dengan pengantin adalah orang tua pengantin tidak menggunakan hiasan emas-emas, dan saudara orang tua kandung pengantin hanya menggunakan tanda-tanda yakni beka buluh di pakai bahu.
Pemberian ose (pakaian) kepada pengantin laki-laki, beserta orang tua kandung kedua mempelai, menunjukkan kekuatan (power) yang dimiliki oleh kalimbubu kedua belah pihak, karena berdasarkan adat hanya kalimbubu yang berhak nampitken (memasangkan) di kepala kedua mempelai dan orang tuanya, karena yang berhak memegang kepala seseorang adalah pemiliknya sendiri yaitu paman kandung pengantin laki-laki, dan sering disebut dengan istilah Kalimbubu Singalo Ulu Emas yaitu paman kandung yang menerima ulu emas (kepala emas/ inti emas) sehingga yang berhak memegang kepala seseorang adalah kalimbubu (paman kandung). Secara literal ulu (kepala) dan emas (harta yang paling berharga) menurut masyarakat BK.
Tuturan ritual yang diucapkan kalimbubu ketika memasangkan ose (pakaian) ke kepala orang tua, kedua pengantin adalah kalimbubu Singalo Ulu Emas. Tuturan ritual pemakanan ose (pakaian) adalah sebagai berikut:
(7) KLS : Enda tudungndu man pakenndu gelah kam metunggung, ras mehaga anakku,
mejuah-juahkal kam enjabuken bana ras anak kami.

“Inilah tudung yang kamu pakai, semoga engkau layak, terhormat anakku,
dan berbahagialah engkau menikah dengan anak kami”.
(DE.001 /KLS)

(8) KLS : Enda bulangndu anakku gelah kam metunggung, mehaga,
ras mejuah-juahkal kam pejabuken anak

“Inilah bulang-bulang yang kamu pakai, semoga engkau layak, terhormat anakku, dan berbahagialah engkau menikah anak kami ”.
(DE.002 / KLS)

(9). KLW : Enda osendu anakku gelah kam metunggung, mehaga, ras mejuah-juahkal kam pejabuken anak.

“Inilah bulang-bulang yang kamu pakai, semoga engkau layak, terhormat anakku, dan berbahagialah engkau dalam menikahkan anak”.
(DE.004 /KLW)

Berdasarkan data 7, 8, dan 9 kedua kalimbubu baik pihak laki-laki maupun pihak wanita memberikan ose (pakaian) kepada kedua mempelai dan orangtua kandung dibuktikan kehadiran leksem tudung (penutup kepala wanita), dan leksem bulang (penutup kepala pria). Proses pemasangan tudung, bulang (penutup kepala) dilakukan langsung paman kandung kedua mempelai dan disaksikan kelompoknya.
Fungsi ose (pakaian) adat adalah sebagai tanda pelibat yang melaksanakan upacara, sebagai tanda siapa pengantin dan orangtua. Makna tuturan tersebut semoga kedua mempelai dan orang tua kandung menjadi metunggung (layak), mehaga (terhormat) dihadapan etnik BK. Pada data 7 yang memberikan ose (pakaian ) pengantin perempuan adalah istri pamannya (mami) sedangkan pengantin laki-laki adalah paman kandungnya, begitu juga orangtua kandung kedua mempelai. Syarat pemakaian ose ( pakaian) yang isampitken (dipakaikan) adalah bulang ( penutup kepala), dan tudung (kepala), disertai dengan pemakaian emas-emas sertali . Berdasarkan bentuk ose (pakaian) terkait dengan mode, warna pakaian. ose (pakaian) sesuai adat perkawinan terbuat dari kain tenun, dengan mode pewarnaan alami karena berasal dari zat pewarna tumbuhan seperti kunyit, getah gambir, kapur dan sebagaianya.
Sedangkan warna pakaian dalam perkawinan secara umum adalah warna dasar tertentu yakni merah. Warna dasar ini sesuai dengan konsep kosmologi budaya Batak Karo. Benang benalu (benang tiga rupa) yakni putih, merah dan hitam. Benang benalu merupakan mitos kepercayaan masyarakat BK terhadap pencipta, alam. Warna merah berkaitan dengan penciptaan, direlasikan dengan WEBK mengindikasikan pada keinginan untuk mendapat keturunan, sehingga ketika anak lahir, ibu dan anak diberikan benang benalu dipakai sebagai gelang, yang bermakna tahan terhadap pengaruh mistik. Putih biasanya menyimbolkan kesucian, sehingga pada upacara suci seperti erpangir kulau (pembersihan diri), raleng tendi (pemanggilan roh) pakaian berwarna putih. Hitam menandakan warna dasar tanah, dan pada umumnya pada upacara kematian dipergunakan pakaian yang berwarna hitam, direlasikan bahwa manusia meninggal dan kembali ke tanah.

3. Ekolinguistik Kritis (ecocriticm)
1). Pengaruh ekologi identitas nama etnik BK merupakan kajian menarik, seperti pernyataan Barthes, (2004: 211), Thomas, (2007:16) adanya kuasa bahasa (language power) yang merubah kognisi suatu etnik. Khususnya etnik BK, bahasa tidak hanya sebagai medium, atau permainan bahasa (language game), tetapi mampu merubah presepsi.
Secara ekokritik (ecocriticm) presepsi etnik BK terhadap gelar (nama)dan merga (nama keluarga) sebagai identitas sudah berubah, seperti kehadiran nama sebagai identitas bersifat ”ke-rasul-rasul-an” (agamais), telah merasuki etnik BK. Seperti nama Johanes Tarigan, Lukas Sembiring, Matius Sembiring, Muhammad Sitepu, Siti Mariam beru Ginting, Malaikat Sembiring, Mahabrata Sinulingga, Dewa Ginting. Identitas eskofer global seperti: Jhonson Kaban, Andre Surbakti, Elisabeth beru Ginting dsb.
Secara ideologis, nama yang bersifat ekologi (lingkungan alam dan budaya) sebagai simbol budaya ( identitas) etnik BK baik merujuk pada indentitas kelokalan (lokal genius) etnik BK, maupun kebertahanan leksikon sebagai kekayaan guyub tutur etnik BK, dan nasional umumnya, juga memiliki kekuatan yaitu identitas itu sendiri.
Masalah etnisitas BK yakni adanya perubahan, nama, merga, sebagai identitas. Perubahan orientasi kognisi ke-linguistik-an (ekolinguistik) nama sebagai identitas etnik BK mengalami krisis, keterancaman jati diri dan sekaligus kehilangan identitas. Presepsi idiomatik ”Apalah artinya sebuah nama” bukan streotipe etnik BK.
2). Secara ekokritik, mitos Manuk Sindung-indung dalam konteks WEBK, maka kesakralan sebuah upacara bergantung pada kehikmatan sebuah prosesi. Kehikmatan ada bila perlakuan simbol budaya sebagai salah satu fitur etnik BK baik “merga”, “Manuk Sindung-indung” berjalan dengan baik, namun saat ini perlakuan simbol budaya telah mengalami perubahan. Perubahan nyata ketika pemberi dalam hal ini Kalimbubu Singalo Perninin (kelompok paman) menyerahkan “Manuk-Siindung-indung” kepada mempelai kurang khikmad, dan sering tanpa tuturan, sehingga sipenerima (mempelai) juga terkesan menerima seperti benda biasa (jual beli di pasar). Padahal sesuai dengan adat-istiadat BK, seminimal mungkin tindakan demikian dapat dihindari agar khikmatan prosesi upacara lebih serius dan formal.
Data juga menunjukkan partisipan (kalimbubu, senina, anakberu), sering kehilangan tuturan (tanpa tuturan) dalam prosesi. Kebiasaan ini, direlasikan dengan kondisi mempelai yang masih baru berumah tangga, mengindikasikan hilangnya sebagian dentitas BK yang berimplikasi pada kekacauan rumah tangga dan etnik BK umumnya.
3). Pentingnya peranan busana, dandanan, dan perhiasan sebagai bentuk proses komunikasi artifaktual (artifactual communition) yang menghasilkan identitas etnik tertentu, (Barnard, 2006:7). Secara adat istiadat etnik BK proses pemasangan tudung, bulang (penutup kepala) dilakukan langsung paman kandung kedua mempelai yang disaksikan kelompoknya (merga) berserta tuturan ritualnya. Masalah etnisita/identitas BK berkaitan dengan ose (pakaian) sebagai identitas etnik BK, telah mengalami perubahan. Perubahan identitas tersebut dapat dikategorikan 4 hal dalam WEBK yakni: (1) Sipemberi ose (paman kandung pengantin = kalimbubu) kepada pengantin, posisinya telah digantikan tukang salon, baik pada ose, tata rias wajah, dan dekorasi. (2) Dalam hal waktu, pengantin terkadang terlambat datang dari salon, mengakibatkan berkurangnya nilai kesakralan erdemubayu. (3) Sikap konsumerisme, sebagai jalan pintas tanpa memikirkan dampak yang ditimbulkan, dan (4) kehilangan tuturan ritual (doa) seperti data 7, 8, 9 berdampak pada krisis identitas etnik BK.

Simpulan
Dalam WEBK terdapat Gelar (nama) dan merga (nama keluarga) penanda identitas etnik BK berfungsi sebagai (a) Fungsi identitas individual (b) Fungsi memori histori, dan fungsi home land (daerah), (c) Fungsi kesatuan elemen budaya, dan (d) Fungsi rasa solidaritas dalam komunitas.
Mitos Manuk Siindung-indung, dan Ose (pakaian) sebagai dalam WEBK sebagai penanda identitas etnik BK.
Secara ekokrik, adanya perubahan gelar (nama) yang berimplikasi pada perubahan presepsi etnik BK.
Saran
Perlunya penelitian mendalam mengenai masalah etnisitas dan krisis identitas etnik.

Daftar Pustaka
Awalluddin Iwan. 2005. Media, Kematian, dan Identitas Budaya Minoritas. Yogyakarta:Uli Press.
Balnard, Malcolm. 2006. Fashion sebagai Komunikasi; Cara Mengkomunikasikan Identitas sosial,Seksual,Kelas, dan Gender. Yogyakartra: Jalasutra.
Barther, Roland. 2007. Membedah, Mitos-Mitos Budaya, Massa: Semiotik atau Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi. Yogyakarta: Jalasutra.
Darma, Putra Ed. 2004. Politik Kebudayaan dan Identitas Etnik. Denpasar: Balimangsi .
Gintings, E.P. 1997. Adat Karo Ibas Kalak Mate. Kabanjahe:Toko Bukit.
Harsono, Siswo. 2008. Ekokritik: Kritik Sastrawan Berwawasan Lingkungan. Jurnal Bidang Kebahasaan dan Kesusastraan,Vol 32. No. 1 Januari 2008. Semarang. :Undip.
Kress, Gunther. 1991. SocialSemiotics. Oxford: Basil Blackweel Ltd.
Liliweri,Alo. 2003. Makna Budaya dalam Kumunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LkiS.
Mbete. Aron Meko. 2008. Ekolinguistik:Perspektif Kelinguistikan Yang Prospektif. Denpasar: Pascasarjana Universitas Udayana.
Muhlhausler, Alwin Peter. 2001. The Ecolinguistics Reader: Language, Ecologi and Eviroment. London: Continuum.
Ortony,Adrew 1979. Metaphor And Thought. London. Cambridge University Press.
Rahmat, Jalaluddin. 2003. KomunikasiAntarbudaya. Bandung: Rosda
Siabarani, Robert. 2004. Antropolinguistik, Medan :Poda
Thomas Linda. 2007. Bahasa,Masyarakat & Kekuasaan. Terjemahan A. S Ibrahim. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Tilaar, H.R. 2007. Mengindonesia, Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta:Renika Cipta.
Vergouwen, J.C 2004. Masyarakat Dan Hukum Adat Batak Toba. Yogyakarta: LkiS.

[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Staf Pengajar di Fak. Sstra USU, sedang mengikuti studi S3 Linguistik di UNUD
[3] Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional Budaya Etnik III di Padede Internasional Hotel
Medan, Tanggal 25 April 2009.

Tidak ada komentar: