01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 11

UNGKAPAN METAFORA
Pada Etnis Batak Toba
[1]
Oleh :
Dra. Ida Basaria, M.Hum
[2]


1. PENDAHULUAN
Bagi sebagian orang penggunaan metafora dalam interaksi dan komunikasi sehari-hari boleh jadi hanya merupakan bagian dari gaya berbahasa sehingga fungsinya hanya sebagai variasi retoris. Pembicara akan menggunakan suatu ekspresi figuratif ketika dirasakannya tidak ada bahasa literal yang mampu menghasilkan efek yang sama atau tidak ada bahasa literal yang sepadan dengan bahasa figuratif untuk menyampaikan makna yang diinginkannya sehingga memperoleh respon yang sama
Dalam retorika tradisional, metafora digolongkan sebagai sebuah kiasan, yakni sebagai sebuah gambaran yang mengklasifikasikan adanya variasi makna dalam penggunaan kata. Sebuah metafora dijelaskan sebagai pengaplikasian sesuatu dari sebuah nama yang menjadi milik sesuatu yang lain dan secara proporsional dengan cara perbandingan yang ditandai secara eksplisit oleh suatu tema komparatif , misalnya ’seperti ...’, dengan kata lain perbandingan merupakan sebuah bentuk perluasan dari metafora. Secara singkat dapat disimpulkan metafora adalah komparasi yang menjembatani ( Beardsley , dalam Ricoeur 2002 )
Seperti suku bangsa lainnya, suku Batak Toba termasuk salah satu suku bangsa yang kaya dengan ungkapan metafora. Sifat dan ciri alam sering dimetaforakan ke sifat dan perilaku bahasa. Ini merupakan perwujudan dari filosofi alam terkembang jadi guru. Hakimy (1988:2 ;Navis, 1984 ) menyatakan bahwa filosofi alam terkembang jadi guru merupakan sumber pengetahuan yang dapat dijadikan pedoman hidup. Kecermatan suku Batak Toba mengabstraksi alam tempat tinggalnya memperkaya pengetahuan mereka sehingga melahirkan berbagai bentuk ungkapan atau metafor yang mengandung kias yang menjadi salah satu petunjuk identitas kebatakan masyarakat Batak Toba
Pada wacana keseharian masyarakat Batak Toba ditemukan strategi berkomunikasi yang sarat simbul, yang terakomodasi dalam ekspresi ungkapan metaforis.Ungkapan metafora dalam implementasi wacananya mengandung nilai humanis dan dianggap efektif sebagai ekspresi diri yang menyangkut kebenaran, kebaikan, keindahan (estetika), solidaritas, dan pencurahan hati bagi masyarakatnya. Penggunaan bahasa secara metaforis tidak saja berfungsi sekedar sebagai medium komunikasi (Gibbs, 1994), tetapi juga sebagai ungkapan yang sarat nilai-nilai kognitif, budaya apresiatif dan humbleness terhadap lawan bicara yang terakumulasi dalam konsep ideal yang oleh suku Batak Toba disebut pantùn.( dibaca [pattun] )
Idiom pantùn atau keteladan dipergunakan masyarakat Batak Toba dalam interaksi sosial keseharian mereka sebagai apresiasi kepada seseorang yang dapat memenuhi tuntutan perilaku sosial (social behaviour) dan perilaku berbahasa (register dan style shifting) berdasarkan kondisi setting dan partisipasi dari suatu wacana. Oleh karenanya, pantùn mengacu pada kualitas ideal yang harus dipenuhi oleh seseorang dalam rangka mengaktualisasikan dirinya dengan mengedepankan nilai-nilai kebenaran, kebaikan dan egaliter sehingga mengantarkannya menjadi figure panutan. Untuk mendapatkan kualitas ini, seseorang lazimnya menampilkan perilaku dan tutur kata terbaik yang secara realistis dapat dilakukannya dalam interaksi sosial mereka. Istilah ideal tentunya sulit diukur karena sifatnya yang sangat abstrak, tetapi paling tidak kita dapat mempertimbangkan komponen nilai-nilai kolektif yang secara normatif menjadi komitmen bersama yang dapat mengarahkan kehidupan suatu komunitas dengan kriteria dan kemanfaatan yang disepakati (Rescher, 1993).
Pantùn merupakan nilai ideal dasar yang tumbuh dan berkembang pada masyarakat Batak Toba tradisional yang tercermin penggunaannya dalam berbagai kesempatan yang memayungi nilai-nilai positif lainnya sepeti patut ( baik ,terpuji, pas, cocok, pantas, dan tidak berlebihan ), patuh ( harmonis, rukun, damai, toleran, saling menghargai, dan solider), pacu (rajin, giat, tekun, serius, pantang menyerah atau tak mengenal putus asa). Predikat ini didapatkan seseorang atau keluarga tertentu dari komunitasnya melalui proses panjang setelah terpenuhinya sistem sosial ( social rating system) yang disepakati.
Interverensi nilai luar yang terjadi di tengah masyarakat telah mengubah parameter cara berpikir magis – mistis masyarakat Batak-Toba ke arah yang lebih realistis (religio – kultural ). Oleh karenanya, hapantùnon tentu tidak saja diukur dengan cara-cara lama yang secara historis mengedepankan keturunan (hubungan darah), tetapi juga dengan cara yang lebih menekankan pada kemanfaatan humanis. Misalnya, pada zaman dahulu, hapantùnon semata-mata menekankan pentingya pelaksanaan serta penguasaan adat – istiadat dan bahasanya. Dewasa ini, hapantùnon seseorang diukur pula dengan kesalehan dan keterdidikannya. Ini berarti bahwa, identitas masyarakat memang tidak saja ditentukan oleh bahasa semata, sebagaimana pepatah popular mengatakan ‘bahasa menunjukkan bangsa’, tetapi juga oleh redefinisi tentang identitas itu sendiri. Misalnya, kalau menggunakan pendekatan Smolicz (1981) untuk melihat identitas, maka banyak faktor yang dapat menjadi indikator penentu identitas seseorang pada masyarakat ultra modern sekarang ini, sehingga agama dan tingkat pendidikan termasuk di dalamnya.
Dalam konteks berbahasa seseorang yang pantùn, ketika ia harus berbahasa langsung (directness), tutur kata yang disampaikan selalu lemah lembut, leksikon (untaian kata) yang dipilihnya menyejukkan serta dibarengi dengan gerak tubuh (body language) yang selaras. Dia mendengarkan lawan bicara secara seksama dengan tangan diletakkan di depan dan wajah ditundukkan. Hal ini tentunya bertentangan dengan konsep Barat yang menekankan pada pentingnya peran mata ( eye contact ). Pambicaraannya disampaikan dengan sangat hati-hati, karena takut menyinggung perasaan lawan bicara. Kehalusan perasaan ini kemudian menyebabkannnya menggunakan bahasa-bahasa kiasan. Indirectness dalam bentuk metafor nampaknya menjadi medium yang efektif dalam menyampaikan pesannya. Walaupun, idiom pantùn merupakan khasanah nilai budaya masyarakat Batak Toba, universalitas nilai kemanusiaannya sangat relevan dengan nilai-nilai positif yang berkembang pada masyarakat secara umum. Misalnya, orang disebut pantùn karena ia mampu menggunakan bahasa dengan baik sesuai harapan lawan bicara (pendengarnya). Seseorang disebut pantùn juga karena menampilkan pribadi terpuji serta berkata tidak pernah bohong, berjanji tidak mungkir (ingkar janji), dipercaya tidak khianat (amanah atau dapat dipercaya).
Pentingnya eksistensi ungkapan sebagai budaya tutur ditunjukkan oleh kajian-kajian ke arah itu. Perhatian terhadap ungkapan telah dimulai 455 SM oleh seorang pelancong Cina. (Hakimy,1996:1 ). Kajian –kajian lainnya dilakukan oleh Errington (1984) membicarakan aspek konteks sosial yang terdapat pada makna ungkapan yang terdapat pada bahasa di Sumatera Barat; Juga Aslinda (2000) ;Oktavianus (1999); Nafis (1996) ketiganya membahas aspek sosial makna ungkapan bahasa Minangkabau.Kajian mengenai metafora juga telah banyak diteliti dalam kaitannya dengan berbagai disiplin ilmu, misalnya hubungan metafora dengan teori linguistik ( Jerrold M, Seddock, David Rummelhart, dalam Andrew Ortony 1979; Wahab 1995; Silalahi 2005; Siregar 2004; Hasibuan 2005; dan Purba 2000); hubungan metafora dengan psikologi ( Allan Paivio, Bruce Fracer, Andrew Ortony dan G.A.Miller juga dalam Andrew Ortony 1979)
Dalam bahasa Batak Toba penelitian ini pernah disinggung oleh Simorangkir dalam memaknai peribahasa bahasa Batak Toba yang biasa digunakan sehari-hari, tanpa mengkaitkannya dengan aspek nilai budaya yang terkandung dalam masyarakatnya. Penelitian ini mencoba untuk memaknai ungkapan indirectness yang terdapat dalam metafor yang penggunaannya hanya dalam konteks upacara adat;dan kalaupun dipergunakan di luar konteks adat,dapat dikatakan bahwa ungkapan ini hanya dipergunakan oleh generasi yang sudah lanjut usia/tetua adat, ataupun oleh orang muda yang telah menampilkan pribadi pantùn dalam komunitas sehari-harinya.

2. MASALAH
Bahasa sebagai medium interaksi dan komunikasi sosial tidak mungkin terpisahkan dari tindakan dan aktivitas dalam wacana kehidupan manusia. Dengan kata lain bahasa tak terperikan dari kehidupan dan sikap budaya masyarakat pemakainya. Karena eratnya hubungan bahasa dan budaya pemakainya maka kita sering mendengar dan menggunakan metafor seperti pisau bermata ganda atau seperti mata uang bersisi dua untuk menggambarkan betapa bahasa dan budaya merupakan dua terma yang tidak mungkin terpisahkan. Penelitian ini ingin memaknai nilai- nilai budaya yang dapat ditangkap dan tercermin dari ungkapan indirecness metafor dalam bahasa Batak Toba, sampai sejauh mana relevansinya dengan sikap hidup masyarakat Batak Toba saat ini
Sesuai dengan judulnya, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan nilai-nilai budaya yang tercermin dari ungkapan metafor yang secara tidak langsung penelitian ini akan menguak lingkungan fisik dan sosial penutur bahasa Batak Toba itu sendiri
Pengkajian dan inventarisasi ungkapan metafor dalam bahasa Batak Toba dapat dikatakan merupakan hal yang sangat mendesak dilakukan mengingat kajian dalam bahasa ini sepanjang yang diketahui penulis belum pernah dilakukan. Sehingga tidaklah berlebihan bila penelitian ini sangat bermanfaat sebagai medium transformasi nilai-nilai positif yang dianggap relevan untuk memperkuat identitas masyarakat. Kita tidak berharap bahwa generasi mendatang suku Batak Toba ini akan larut dalam perkembangan teknologi dan informasi yang kadang-kadang tidak selalu menguntungkan dan cenderung membuat masyarakatnya tercerabut (rootless) dari akar budayanya. Identitas yang bersumber dari nilai yang terkandung dari kekayaan linguistik dan kultural lokal masyarakatnya diharapkan dapat berfungsi sebagai medium pembentukan pribadi yang tangguh

2. KERANGKA TEORI
Beardsley ( dalam Ricoeur 2002) mengatakan metafora adalah sebuah puisi miniatur. Dengan begitu hubungan antara makna literal dan makna figuratif dalam sebuah metafora adalah seperti versi penjembatan dalam kalimat tunggal dari harmonisasi signifikansi kompleks yang memberi karakter unik pada karya literer sebagai sebuah keutuhan. Karya literer di sini adalah karya wacana yang berbeda dengan karya wacana yang lain, khususnya wacana sains yang membawa makna eksplisit dan implisit ke alam suatu hubungan
Selanjutnya Wahab (1995) mengatakan bahwa penggunaan metafora terletak pada perannya yang penting dalam menentukan hubungan antara bahasa pengetahuan manusia dengan dunia yang diinginkannya. Bahwa metafora adalah sebagai ungkapan kebahasaan yang maknanya tidak dapat dijangkau secara langsung dari lambang karena makna yang dimaksud terdapat pada prediksi ungkapan kebahasaan itu. Dengan kata lain metafora adalah pemahaman dari pengalaman akan sejenis hal yang dimaksudkan untuk perihal yang lain. Sejalan dengan pendapat ini, Taylor ( dalam Siregar 2004) menyatakan metafora tidak dipahami sebagai pelanggaran penutur terhadap kaidah kompetensi bahasa. Sebaliknya paradigma kognitif melihat metafora sebagai alat untuk mengkonseptualisasikan ranah-ranah pengalaman abstrak dan tidak terbawa ke dalam ranah yang konkrit dan akrab.
Dengan kerangka berfikir bahwa linguistik tidak dapat dipisahkan dari fakta dan konteks sosial budaya masyarakatnya, seperti yang dilakukan oleh linguis terkemuka Boas (1911), Sapir (1927), dan Whorf (1956), yang kemudian terkenal dengan nama hipotese Sapir-Whorf, mereka mengedepankan konsep ‘determinism dan relativity – nya’. Kedua linguis terakhir ini dipandang sangat berjasa dalam kajian Ilmu Bahasa dan Budaya. Bagi mereka, fenomena bahasa harus dilihat sebagai fenomena relatif yang ditentukan oleh ekologi sekitarnya. Dengan demikian, cara berpikir etnosentrim, yang menganggap hanya bahasa dan budayanyalah yang paling benar, mengharapkan orang lain (dari bahasa dan budaya yang berbeda) untuk mengikuti bahasa dan budaya mereka dalam wacana keseharian secara moral ,tidak akan terjadi lagi
Berbagai studi telah dilakukan untuk melihat linguistic indirectness dari berbagai perspektif (sosiolinguistik, psikologi sosial dan ethnolinguistic). Walaupun tidak ada definisi pasti tentang indirectness setidak-tidaknya diperoleh kesepakatan umum yang menekankan pada pentingnya strategi verbal untuk melanggengkan interaksi sosial yang harmonis. Gumpers dan Roberts (1991) mengklaim bahwa retorika seseorang, secara sangat alamiah, ditentukan pula oleh ekspresi tidak langsung (indirectness) dan alusi metaforis. Selanjutnya, Brown and Levinson (1987) menekankan pentingnya raut muka dalam berkomunikasi sebagai nilai sosial yang positif untuk mengklaim keberadaan seseorang, ingin dihargai, dan tidak ingin dikucilkan. Oleh karena itu, aspek sentral dari teori Brown dan Levinson adalah dua model hasrat/kehendak (to desires), yaitu, kehendak untuk diterima oleh orang lain (positive face) dan kehendak untuk tidak dihalangi/dikucilkan oleh orang lain (negative face) (Brown and Levinson, 1987 : 24).
Dalam konteks komunikasi, orang Barat cenderung mengkomunikasikan diri, perasaan serta kemauannya secara langsung (directness) sedangkan orang Timur cenderung secara tidak langsung (indirectness). Budaya mengkomunikasikan diri dengan tidak langsung tersebut kemudian dianggap sebagai pemarkah kesopanan (politeness) yang ditentukan oleh kesepakatan kolektif suatu masyarakat tertentu. Dengan kata lain, indirectness dalam berkomunikasi diasumsikan identik dengan politeness (Brown and Levinson, 1987). Walaupun demikian, teori Brown dan levinson tidak dianggap selalu mampu menyahuti semua fenomena politeness yang muncul pada masyarakat Timur, Matsumuto, (1989) mengkritik bahwa teori Brown dan Levinson tidak selalu tepat dipergunakan untuk mendekati fenomena indirectness dan directness pada masyarakat Timur, karena teori tersebut ,menekankan pentingnya raut muka (FTA). Sementara itu masyarakat Timur dalam interaksinya, di samping perlunya raut wajah juga lebih banyak menekankan pentingnya aspek perilaku serta sosial psikologis partisipannya.
White dan Kickpatrick (1985) menyebutkan bahwa menggunakan metafor sebagai salah satu bentuk ekspresi indirectness merupakan cara yang sangat penting untuk mengkonseptualisasikan pengalaman sosial dan psikologis suatu masyarakat sehingga kajian yang memadai terhadap penggunaan metafor pada suatu masyarakat dapat menjadi sumber data yang penting terhadap struktur dan konsep psikologis suatu masyarakat. Pada masyarakat Batak Toba tradisional ditemukan cara mengungkapkan fikiran yang sangat strategis untuk mendidik, mengungkapkan perasaan , ide, dan pendapat yang dilakukan untuk menciptakan keharmonisan dalam suatu interaksi sosial. Hal ini seiring dengan tuntutan hapantùnon yang dikemukakan oleh komunitas masyarakat setempat.
Malinowski (dalam Hymes,1964:4 ) mengemukakan bahwa melalui etnolinguistik kita dapat menelusuri bagaimana bentuk-bentuk linguistik dipengaruhi oleh aspek budaya sosial mental,dan psikologis; apa hakekat sebenarnya dari bentuk dan makna serta bagaimana hubungan keduanya. Penggunaan bahasa dalam komunikasi cenderung dipandang sebagai fungsi kontrol atau suatu tindakan untuk saling mempengaruhi partisipan dalam suatu pertuturan (Hymes, 1964 :5 ). Sapir dalam ( Bonvillain,1997:49 menyatakan bahwa analisis terhadap kosakata suatu bahasa sangat penting untuk menguak lingkungan fisik dan sosial di mana penutur suatu bahasa bermukim. Hubungan antara kosa kata dan nilai budaya bersifat multidireksional
Nilai adalah sesuatu yang menyangkut baik buruk. .Pepper (dalam Djayasudarma 1997:12 )menyatakan bahwa batasan nilai mengacu pada minat, kesukaan ,pilihan, tugas, kewajiban ,agama, kebutuhan, keamanan , hasrat, keengganan, atraksi, perasaan ,dan orientasi seleksinya. Oleh karena itu, segala sesuatu yang baik dan buruk dapat disebut sebagai nilai. Sisten nilai-termasuk nilai budaya-merupakan pedoman yang dianut setiap anggota masyarakat terutama dalam bersikap dan bertingkah laku dan juga menjadi patokan untuk menilai dan mencermati bagaimana individu dan kelompok bertindak dan berperilaku. .Jadi, system nilai dapat dikatakan sebagai norma standar dalam kehidupan bermasyarakat. Djayasudarma dkk (1997: 13 ) mengemukakan bahwa sistem nilai begitu kuat, meresap, dan berakar di dalam jiwa masyarakat sehingga sulit diganti dan/ atau diubah dalam waktu singkat. Dalam kaitannya dengan ini, kita dapat menyimak kutipan berikut.
Filsafat orang Indonesia termasuk nilai budaya tersimpan di balik pepatah-petitih,dibalik rumah-rumah adat,dibalik upacara-upacara adat, dibalik mitos-mitos tua…(Sumardjo,2003). Jadi dari pendapat ini juga dapat disimpulkan bahwa bahasa melalui- ungkapan pepatah-petitihnya yang merupakan metafor dalam bahasa itu – merupakan medium untuk menampilkan makna budaya yang di dalamnya terkandung nilai (values).
Metafor dan peribahasa merupakan bagian dari komunikasi system budaya.(Dundes dan Arewa,1964). Di samping itu, bahasa mengkategorisasi realitas budaya (Duranti,1997:25; Foley,1997:16). Bahasa menampakkan sistem klasifikasi yang dapat digunakan untuk menelusuri praktek-praktek budaya dalam suatu masyarakat. Model-model budaya dapat dimunculkan secara eksplisit melalui ungkapan (Bonvillain, 1997:48). Model-model budaya yang dimaksudkan di sini antara lain mencakup mentalitas kerja, persepsi rasa solidaritas, sikap, perilaku, etika, dan moral.

4. HASIL DAN TEMUAN
4.1 Motivasi Berusaha dan Bekerja
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya manusia diisyaratkan rajin berusaha. Ungkapan metafor berikut yang mengandung makna yang mencerminkan motivasi berusaha sebagai salah satu praktek budaya dan paling tidak merupakan cerminan realitas sebagaimana dikemukakan Duranti (1997 :25 ) dan Folley (1997: 16 )
(1) Junjung baringinmu, martalaga olat-olat’emban mahkotamu,bertempat di bagian bawah rumah’
Tutung ma hudonmu, asa adong bolat-bolat ‘panaskan periukmu,supaya ada bagian masing-masing
(2) Asa maransimun sada holbung,marpege sakarimpang ‘Supaya berbuah timun seluruh lembah,berbuah jahe seluruh cabang akar

Metafor (1) di atas bermakna bahwa orang Batak Toba sangat menghargai waktu, semua waktu dialokasikan untuk bekerja.. Tutung hudonmu ‘bakar/panaskan periukmu’mencerminkan ajakan agar sebelum makan , harus bekerja dulu,sehingga ada bagian masing-masing yang akan dimakannya. Hal ini terdapat pada ungkapan asa adong bolat-bolat. Makna pada metafor asa adong bolat-bolat adalah supaya tiap orang mempunyai bagian yang berupa hasil kerjanya masing-masing. Hal ini juga menyiratkan bahwa orang Batak sangat tabu terhadap apa yang disebut dengan istilah mangido-ido ‘meminta-minta’,. Metaphor (2) asa maransimun sada holbung,marpege sakarimpang ‘agar bertimun seluruh lembah,berjahe seluruh cabang’ bermakna adanya keinginan yang kuat untuk bekerja sekuat tenaga untuk mensejahterakan seluruh orang yang berdiam di kampong halaman, serta hasil kerja keras harus berdampak kepada sada holbung,sakarimpang ‘seluruh lembah, seluruh cabang akar’. Jadi sada holbung dan sakarimpang menyatakan semua daerah/tempat di tanah Batak yang akan berhasil. Sedangkan makna keberhasilan terdapat pada kata maransimun dan marpege yang bermakna berbuah (maransimun ‘berbuah timun’, marpege ‘berbuah jahe’ ).
Ungkapan ini menggunakan metafor ansimun’buah timun’ dan pege ’jahe’dan tidak menggunakan jenis yang lainnya seperti langsat atau salak misalnya yang juga banyak tumbuh di tanah Batak;hal ini dimaksudkan karena kedua buah ini tumbuhnya menjalar,dan metafor menjalar menyiratkan makna agar hasil kerja keras yang diperoleh orang Batak hendaklah menjalar/menyebar dan dapat dinikmati oleh orang disekitarnya.
Tampaknya kedua ungkapan ini sangat relevan dengan ungkapan masipature hutana be yang bermakna ajakan untuk membenahi kampung-halamannya sendiri merupakan revitalisasi dan sekaligus sebagai imbauan untuk tidak menyurutkan nilai-nilai di atas yaitu motivasi untuk berusaha dan bekerja keras karena huta ‘tanah Batak’ menunggu untuk dibangun dan dilestarikan

4.2 Persepsi dan Rasa Solidaritas
Solidaritas merupakan integrasi sosial yang didasarkan kepada interdepedensi okupasional, persamaan-persamaan dan bahkan juga pada perbedaan–perbedaan komplementer (Soekamto,1985: 472 ). Integrasi sosial dapat diartikan sebagai kesetiakawanan, kebersamaan, dan kekompakan dalam menghadapi suka dan duka. Ungkapan berikut yang dapat mencerminkan rasa solidaritas pada orang BatakToba adalah
(3) Manimbung rap tu toru, mangangkat rap tu ginjang ‘ sama (melompat) ke bawah, (sama naik) ke atas
(4) Baliga nang pagabe,na ni tabo-taboan Arinta ma gabe,asal ma marsiolo-oloan
‘baliga dan pagabe (alat-alat tenun) yang diminyaki lilin (agar benang tidak nyangkut)’
Arinta ma gabe,asal ma marsiolo-oloan ‘(hari )kita akan bahagia, asalkan saling mengiyakan’
(5) Anggo aek godang, sampur tu aek laut Dos ni roha,ria tolop,ido sibahen na sahat Anggo aek godang, sampur tu aek laut ‘jika air sungai campur ke air laut’
Dos ni roha,ria tolop,ido sibahen na sahat ‘satu hati ,semua senang,tujuan / cita-cita akan tercapai
(6) Aek doras tu aek laut, Dos ni roha sibaen na saut
Aek doras tu aek laut ‘Air sungai ke air laut’
Dos ni roha sibaen na saut ‘jika sepakat ,tercapai tujuan’

Ungkapan (3) sangat jelas bermakna kebersamaan dan kekompakan. Kata rap’sama’menyirakan hal itu. Tu toru dan tu ginjang bermakna ke bawah dan ke atas menyiratkan makna kesusahan dan kesenangan. Jadi kebersamaan dan kekompakan bukan hanya dalam keadaan senang, tapi dalam susah juga akan dihadapi bersama. Nasehat untuk menjalin kebersamaan juga jelas tersirat pada ungkapan metafor (4)arinta ma gabe, asal ma mar siolo-oloan yang bermakna hari-hari kita akan bahagia asal kita saling akur dan damai. Juga ungkapan (5) menyatakan nasehat untuk selalu kompak dan sehati,seperti dos ni roha ria tolop, ido sibahen na sahat, menyiratkan makna jika satu hati, maka segala tujuan akan tercapai dengan bahagia. Ungkapan (6) juga mengandung makna solidaritas dan kekompakan. Baris kedua ungkapan (6) dos ni roha sibaen na saut mengandung makna jika sehati maka semua usaha pasti akan tercapai Semua tujuan akan berhasil apabila dalam kondisi aman. Makna aman yang juga mengandung nilai kebersamaan /kekompakan jelas terdapat dari ungkapan dos ni roha;makna yang teerdapat pada ungkapan ini adalah tidak terdapat perselisihan serta persekcokan. Ungkapan ini menggunakan metafor aek godang sampur tu aek laut yang maknanya air sungai (yang deras airnya,jernih dan bisa digunakan untuk memasak dan mencuci) campur dengan air laut (yang tenang airnya,berasa asin); Ungkapan ini menyiratkan perilaku orang Batak harus bisa bersosialisasi dengan beragam perilaku yang lain yang berbeda. Jelaslah orang Batak dalam ungkapan metafor (3 – 6 ) sangat menjunjung nilai-nilai kebersamaan dan kekompakan.

4.3 Etika, Moral , Sopan Santun ,Sikap dan Perilaku
Etika adalah falsafah dan hukum yang membedakan hal yang baik dan yang buruk dalam kelakuan manusia, sedangkan moral adalah ukuran baik buruknya tingkah laku yang menyangkut pengontrolan diri, keyakinan diri dan kedisplinan tindakan (Drever, 1986 :143 ). Ajaran etika dan moral yang menjadi pedoman oleh suatu suku bangsa tercermin dari berbagai bentuk wacana yang berlaku dan berterima di kalangan suku bangsa itu. Penggunaan ungkapan adalah salah satu cara untuk mendidik anggota masyarakat ,sebagai alat untuk melegalisasi pranata-pranata dan lembaga kebudayaan serta dan sebagai alat untuk pengawasan norma-norma kemasyarakatan yang seharusnya diikuti dan diarifi ( Bascom,1986:32 ). Di samping etika dan moral, metafor juga sangat efektif dalam menyampaikan unsur-unsur pendidikan, kritik, celaan dan nasehat, karena metafor bersifat impersonal ( Tylor, 1031 ). Dalam bahasa Batak Toba ungkapan metafor yang mendukung nilai-nilai di atas adalah
(6) Manat unang tarobung, dadap unang tarsuga
Manat unang tarobung ‘hati-hati agar jangan masuk lobang’, dadap unang tarsuga ’seksama agar jangan kena duri’
(7) Sori manungkun,sori mandapot Ingkon manungkun tu na nidapot.
Sori manungkun,sori mandapot ‘yang bertanya, yang mendapat
Ingkon manungkun tu na nidapot’ harus bertanya agar mendapat’
(8) Sala mandasor, sega luhutna ‘salah dasar, rusak semuanya’
(9) Sise mula hata,sungkun mula uhum ‘tegur awal bicara, tanya awal hukum’

Ungkapan metafora (6-9) mengandung suatu etika dalam berkata, dan bertindak,agar senantiasa berhati-hati. Hal ini jelas terdapat pada kata manat yang sangat nenekankan makna kehati-hatian,untuk menghindari tarobung,yang artinya jatuh ke lobang;dan dadap dipakai dalam konteks kehati-hatian yang sangat mendalam; yang biasanya dadap dipakai dalam suasana gelap gulita. Jika suasana gelap gulita maka kita harus dadap sangat hati-hati, agar jangan bersenggolan/bersentuhan dengan benda sekelilingnya yang berbahaya. Ini ditunjukkan oleh kata suga yang artinya duri. Duri merupakan metafora untuk menggambarkan sesuatu hal yang berbahaya atau bentuk kesukaran lainnya dalam kehidupan orang Batak. Demikian juga ungkapan (7) juga merupakan nasehat untuk selalu manungkun ‘bertanya’, jika ingin mendapatkan tujuan; Jadi ungkapan ini dan juga ungkapan (8) dan (9) merupakan cerminan sikap orang Batak yang selalu bertanya terlebih dahulu untuk menghindari kesalahan mendasar,hal ini jelas terdapat pada bentuk sala mandasor,sega luhutna yang artinya salah dari dasar,rusak semuanya;dan sise mula hata,sungkun mula uhum ‘menyapa awal untuk perkataan , bertanya awal dari aturan mengandung makna agar sebelum memulai suatu langkah/ pekerjaan, harus bertanya terlebih dahulu
Nilai kesopanan juga sangat dijunjung oleh orang Batak ; hal ini jelas terdapat dalam ungkapan.

(10). Tinitip sanggar, baen huru-huruan’ Jolo sinungkun marga, asa binoto partuturan.
Tinitip sanggar, baen huru-huruan ’diratakan tanaman untuk mengusir hewan’ ; Jolo sinungkun marga, asa binoto partuturan ’lebih dulu tanyakan marga,agar tahu cara bertuturan’
(11) Martahuak manuk di taumbara ni ruma’ Halak na pantùn marama, ido na saut martua.
Martahuak manuk di taumbara ni ruma’berkotek ayam di kolong rumah’
Halak na pantùn marama, ido na saut martua ‘orang yang sopan berbapak ,akan berumur panjang’

Ungkapan (10) berupa nasehat untuk berhati-hati dan menjunjung nilai kesopanan. Jolo sinungkun marga bermakna agar terlebih dahulu bertanya marga lawan bicara untuk mengetahui siapa dan bagaimana bentuk tuturan yang akan kita lakukan. Hal ini erat kaitannya dengan etika kesopanan dan sekaligus mengandung nasehat untuk berhat-hati dalam bertutur-sapa, sebab jika ternyata lawan bicara merupakan kelompok marga ibu (disebut hula-hula), bentuk tuturan yang kita pergunakan tidak akan sama dengan apabila orang tersebut berasal dari kelompok marga sendiri.Tuturan yang akan kita sampaikan kepada pihak keluarga ibu haruslah tuturan yang halus dan sopan karena dalam masyarakat Batak secara umum dikenal struktur/ sistem kekerabatan yang disebut Dalihan Na Tolu . Secara etimologis Dalihan Na Tolu berarti tungku yang tiga. Tungku sebagai tempat untuk memanaskan periuk/belanga atau apa saja yang akan dipanaskan/dimasak. Tungku tersebut harus disusun tiga secara sama dan seimbang agar wadah apa saja yang di atasnya yang akan dipanaskan tidak terjatuh. Adanya sistem tiga tungku yang sama dalam masyarakat etnis ini menunjukkan adanya persamaan dan keseimbangan namun ketiganya berbeda dalam tugas dan fungsi masing-masing di dalam adat. Ketiga tungku itu adalah dongan tubu (teman semarga), boru (anak perempuan) dan hula-hula (saudara pihak ibu). Jadi sistem Dalihan Na Tolu ini sangat kuat mengikat perilaku pada etnis ini. Nilai kesopanan juga sangat ditekan dalam ungkapan (11) halak na pantùn marama, ido na saut martua; yang bermakna orang yang sopan kepada bapaknya, akan berumur panjang; Orang Batak sangat mendambakan apa yang disebut hatuaon-martua, dan hal ini diyakini akan diperoleh apabila kita berlaku pantùn ‘sopan’ kepada bapaknya. Jadi ungkapan (11) juga menyiratkan makna tambahan lain bahwa orang Batak harus menghormati bapaknya sebagai orang yang dianggap wakil Debata yang memberi martua ‘umur panjang’. Fungsi bapak sebagai orang yang sangat dihormati dapat dilihat dalam ungkapan berikut ini.

(12) Manumpak sahala ni ama, mangasii sahala ni ompu yang bermakna memberi berkat roh bapak, mengasihi roh kakek;

Jadi makna ungkapan (12) selain menekankan nilai kesopanan juga bermakna memposisikan bapak dan sekaligus bapaknya dari bapak/ibu (kakek) sebagai orang yang sangat tinggi fungsinya karena diyakini dapat memberi berkat/ semangat kepada anaknya. Hal ini jelas terdapat pada manumpak sahala ni ama yang bermakna memberi berkat roh/jiwa bapak jika kita menghormatinya. Ungkapan metafor ini juga menyiratkan adanya system patrilineal /garis keturunan ayah yang sangat kuat dianut oleh orang Batak
Sikap dan perilaku kesetiaan yang tinggi dan menjunjung hukum juga dapat diamati dalam ungkapan berikut,
(13) Padan na so jadi oseon, bulan na so jadi ubahon ’janji tak akan diingkari,bulan tak akan berubah;
(14) Patik na so jadi mose,uhum na so jadi muba ‘aturan yang tidak bisa diingkari, hukum yang tidak bisa diubah’
Ungkapan (13) di atas menunjukkan sikap dan perilaku kesetiaan yang sangat tinggi,dimetaforkan dengan padan naso jadi oseon; bulan na so jadi ubahon ,demikianlah sukarnya orang Batak untuk mengingkari janjinya semustahil bulan yang tidak akan berubah. Selain kesetiaan, ,nilai dan perilaku ketaatan pada peraturan dan hukum juga terdapat pada ungkapan (14) patikna so jadi mose yang mengandung makna aturan yang tidak bisa dihilangkan dan uhum na so jadi muba yang bermakna hukum yang tidak bisa diubah/dibelokkan. Jadi ungkapan (13) dan (14) mengandung nilai kesetiaan terhadap janji dan kepatuhan terhadap aturan dan hukum.. Sehingga janji,aturan dan hukum merupakan hal yang tidak mungkin untuk direkayasa sehingga tidak bisa dipermainkan.
Adapun ungkapan metafora yang telah diperbincangkan dari (1) sampai (14) merupakan ungkapan metafor dalam Bahasa Batak Toba yang biasanya hanya mampu dipergunakan oleh orang Batak yang telah memiliki perilaku pantùn/hapantùnon dalam kehidupan masyarakatnya. Ungkapan di atas biasanya dipergunakan dalam situasi-situasi yang dipandang sakral dan sangat resmi dalam pertemuan-pertemuan orang Batak yang diturun-temurunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Jadi ungkapan metafor ini merupakan nilai nilai yang telah lama ada pada masyarakatnya dan sampai saat ini masih terus hidup. Hal ini juga dapat dimaklumi karena orang Batak sangat menghargai nilai-nilai/adat yang diturunkan oleh orang tuanya (yang dipandangnya sebagai orang yang pantùn dalam masyarakatnya). Ungkapan berikut ini juga akan membuktikan hal di atas.
(15) Ompuradja idjolo, martungkot sialagundi. Adat ni nadi djolo ,diihuthon na dipudi.
Ompuradja idjolo, martungkot sialagundi ‘Raja di depan , bertongkat sialagundi’. (Sialagundi sejenis tanaman yang besar yang batangnya sering digunakan sebagai tongkat pada masyarakat Batak Toba )
Adat ni nadi djolo,diihuthon na dipudi ‘Adat yang terdahulu, diteruskan generasi berikutnya’ Jadi semua ungkapan di atas yang yang mengandung nilai nilai positif masyarakat terdahulunya, akan terus dipedomani oleh generasi Batak berikutnya;adat ni nadi jolo, diihuthon na dipudi bermakna adat /nilai-nilai yang dibentuk sebelumnya, akan terus diwariskan oleh generasi penerusnya..

5. KESIMPULAN
Uraian di atas memperlihatkan bagaimana berbagai bentuk ungkapan metafora mencerminkan nilai nilai budaya yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Batak Toba. Sebagian dari nilai budaya dimaksud adalah motivasi berusaha, rasa solidaritas, gambaran sikap perilaku,etika dan moral yang hidup pada masyarakat Batak Toba
Hapantùnon merupakan sikap yang pantùn yang diberikan kepada orang Batak yang secara lingual dapat dilihat dari kemampuannya menguasai adat-istiadat Batak dan kemampuan menggunakan ungkapan-ungkapan metafora dalam situasi-situasi tertentu disamping perilaku lainnya seperti kesantunan dan keterdidikannya.

DAFTAR PUSTAKA
Aslinda .2000. “Kato Nan Ampek dalam Bahasa Minangkabau”. Padang: Yayasan Pengkajian Bahasa Minangkabau
Brown, P. And Stephen Levinson. 1987.Politeness: Some Univesals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press
Boas, F.1911. Introduction, Handbook of American Indian Languages, Part I. Washington,DC : Government Printing Office
Bonvillian, Nancy. 1977. Language, Culture and Communication: The Meaning of Message.New Jersey; Prentice-Hall, Inc.
Duranti,Alessandro. 1997. Linguistic Antropology. Cambridge:Cambridge University Press
Errington, Frederick K. 1984.Manner and Meaning in West Sumatera: The Social Context of Consciousness. New York;Yale University Press.
Foley,William A.1997. Antrophological Linguistics: An Introduction.New York: Blackwell
Gibb,R.W.1994. The Poetics of Mind.Cambridge:Cambridge University Press
Gumperz,J.J.and Celia Roberts.1991.”Understanding in Intercultural Encounters “. Dalam Jan Blommaert (eds). Amsterdam: John Benjamins Publishing Co.
Hakimy,Idrus Dt Rajo Pangulu.1996.1000 Pepatah Petitih-Mamang-Bidal-Pantùn-Gurindam. Bandung:Penerbit Remaja Karya.
Hymes,Dell.1964.Language Culture And Society. A Reader in Linguistics and Anthropoligy. New York: Hamper International Edition
Oktavianus.2004.” Kiasan Minangkabau: Kajian Makna, Penggunaan dan Kebertahanannya”. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Depart. Pendidikan.Nasional
Matsumoto,Y. 1989. “Poleteness and Conversational Universals:Observation from Japan”
Nafis,Anas.1996. Peribahasa Minangkabau.Jakarta;PT Intermasa
Navis,A.A.1984. Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau.Jakarta; Grafity Press
Rescher,N.1993. A System of Pragmatic Idealism II.The Validity of Values. Princeton University Press.
Sapir,E.1927.”The Unconscious Patterning of Behavior in Society”.Dalam The Unconscious; A Symposium. New York: Knopf.
Simorangkir,Sumurung.1998.Kajian Peribahasa Batak Toba. Medan:Lembaga Penelitian Universitas Sumatera Utara.
Siregar, Bahren Umar.2002.”Pemerolehan Tindak Tutur Dan Siasat Kesantunan: Suatu Ancangan Teoritis” Studi Kultura, Tahun ke1,2
_______. 2004. “Semantik Pragmatik Metonomi dan Metafora”. Dalam Katharina E Sukamto (Ed.). Menabur Benih Menuai Kasih. Jakarta: Obor
Smolicz,J.J.1981.” Core Values and Cultural Identity”. Dalam Ethnic and Racial Studies. Vol ,4 Number, 3 Juli,1981.pp.75-90
Taylor,A.1931.The Proverb, Cambridge: Harvard University Press
Whorf,B.L.1956.Language, Thought, and Reality, Selected Writings of Benjamin Lee Whorf, ed J.B. Carroll,Cambridge,M.A:MIT Press
[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Staf Pengajar Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan

Tidak ada komentar: