01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 19

PEMEROLEHAN
Bunyi bahasa[1]

Oleh :
Jamorlan Siahaan
[2]


I. PENDAHULUAN
1.1 Teori Struktural Universal
Teori Struktural Universal ini dikemukakan dan dikembangkan oleh Jakobson (1968). Pada intinya teori ini mencoba menjelaskan pemerolehan fonologi berdasarkan struktur-struktur universal linguistik, yakni hukum-hukum struktural yang mengatur setiap perubahan bunyi.
Beberapa bukti yang memperkuat teori Jakobson ini adalah :
Bunyi likuida [L] dan [r] yang sering muncul pada tahap membabel, hilang pada tahap mengeluarkan bunyi bahasa yang sebenarnya. Bunyi ini baru muncul lagi ketika bayi berumur tiga setengah tahun (3 : 6) atau empat tahun (4 : 0).
Bayi-bayi yang pekak membabel dengan cara yang sama dengan yang normal. Namun, setelah tahap membabel selesai bayi-bayi ini pun akan berhenti mengeluarkan bunyi-bunyi.

1.2 Teori Generatif Struktural Universal
Teori Struktural Universal yang diperkenalkan oleh Jakobson di atas telah diperluas oleh Moskowitz (1970, 1971) dengan cara menerapkan unsur-unsur fonologi generatif yang diperkenalkan oleh Chomsky dan Halle (1968). Yang paling menonjol dari teori Moskowitz ini adalah “penemuan konsep” dan “pembentukan hipotesis” berupa rumus-rumus yang dibentuk oleh kanak-kanak berdasarkan Data Linguistik Utama (DLU), yaitu kata-kata dan kalimat-kalimat yang didengarnya sehari-hari.
Moskowitz yang tidak sejalan dengan teori Chomsky yaitu mengenai konsep-konsep yang harus ditentukan oleh anak-anak untuk mengasimilasikan DLU lebih berkaitan dengan proses struktur nurani yang dihipotesiskan. Namun, kesimpulan lain menunjukkan adanya keselarasan yang tinggi dengan teori Chomsky yakni karena Moskowitz menentang teori pemerolehan bahasa dengan peniruan, serta menekankan pentingnya faktor kreatifitas dalam pemerolehan bahasa pada umumnya dan proses pemerolehan fonologi khususnya. Dalam proses pemerolehan bahasa kanak-kanak menemukan konsep-konsep serta menerapkan konsep-konsep itu untuk menciptakan bahasa.

II. PEMBAHASAN
Komponen fonologi adalah sistem bunyi sesuatu bahasa. Komponen fonologi ini mempunyai rumus-rumus yang disebut rumus-rumus fonologi. Rumus-rumus fonologi ini menukar struktur permukaan sintaksis kepada representasi fonetik, yaitu bunyi-bunyi bahasa yang kita dengar, misalnya kata ‘pisang’, ‘pasang’, ‘petang’, ‘pulang’, ‘potong’, ‘atap’, ‘hidup’. Kalau kita kaji bunyi kata-kata yang kita dengar ini maka akan mendapat semua kata yang kita dengar ini mengandung satu bunyi yang sama, yaitu bunyi [p]. Pada lima kata pertama bunyi [p] muncul pada posisi awal dan pada dua kata terakhir ia muncul pada posisi akhir. Apabila kita perhatikan kedua kata pertama, ‘pisang’ dan ‘pasang’ kedua kata itu berbeda hanya pada bunyi kedua, yaitu [i] dan [a], sedangkan bunyi-bunyi lain sama saja. Kata ‘pasang’ dan ‘petang’ berbeda dengan dua bunyi, yaitu bunyi kedua dan ketiga [a], [s] dan [e], [t]. Setiap bunyi yang membentuk sesuatu kata disebut unit bunyi atau segmen fonetik, dan lebih terkenal lagi dengan istilah fon (‘phone’).
Kata ‘pisang’ di atas kita ketahui bahwa sekalipun kata itu dituliskan dengan enam huruf namun unit bunyi yang kita dengar hanya lima. Bunyi yang terakhir, yaitu [n ] telah dituliskan dengan huruf [ng]. Setiap segmen fonetik dilambangkan dengan satu simbol yang diambil dari apa yang disebut Alfabet Fonetik Internasional, yaitu satu alfabet yang khusus diciptakan dalam ilmu linguistik untuk melambangkan semua unit bunyi atau font yang terdapat dalam bahasa-bahasa dunia.
Alfabet Fonetik Internasional (AFI) ini sangat berguna untuk melambangkan setiap bunyi kata dalam semua bahasa dunia sehingga bunyi itu dapat dikenal dan ditiru oleh siapapun apabila dia telah mempelajari dan mengenal AFI. Dengan pertolongan AFI ini satu kamus ucapan bisa ditulis untuk setiap bahasa sehingga setiap orang, terutama yang sedang mempelajari sesuatu bahasa, dapat merujuk kamus itu apabila dia merasa kurang pasti mengenal ucapan sesuatu kata. Misalnya empat kata dalam bahasa Inggris : ‘tough’, ‘through’, ‘thought’ dan ‘dough’. Apabila kita perhatikan ejaan keempat kata ini kita akan segera melihat bahwa terdapat empat huruf yang sama dengan urutan yang sama pula yaitu [o], [u], [g] dan [h].

2.1 Cabang-Cabang Fonetik
Fonetik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa dalam peranannya sebagai media atau sarana bahasa. Untuk dapat menempatkan fonetik dalam konteks studi kebahasaan pada umumnya secara cepat, perlulah kita menyadari dan menerima keutamaan berita dalam sistem komunikasi. Fonetik adalah ilmu yang menyangkut bunyi-bunyi akal suara yang dibuat oleh manusia yang memungkinkan berita diwujudkan dalam “bentuk” dan dapat didengar. Dengan kata lain, fonetik membicarakan proses yang terjadi mulai dari saat pembentukan bunyi-bunyi oleh si pembicara sampai pada saat si pendengar menyadari berita yang diwujudkan melalui bunyi-bunyi itu.
Gambar 1 berikut akan membantu memperjelas kedudukan fonetik dalam proses komunikasi dan sekaligus memberikan gambaran mengenai bidang cakupan telaah fonetik; sketsa di bawah ini merupakan model komunikasi sederhana (searah) – penyampaian berita dari si pembicara kepada si pendengar.
Gambar 1 : Tahap-tahap berita lisan mulai dari otak si pembicara sampai ke otak si pendengar.
(Menurut Denes dan Pinson, 1963)
Kegiatan komunikasi dimulai pada otak si pembicara. Otak itu mempunyai tiga fungsi utama dan komunikasi, yakni fungsi kreativitas, fungsi transmisi, dan fungsi dengar.




2.2 Alat-Alat Ucap
Alat-alat tubuh yang digunakan dalam berbicara dapat, dan tepat, dibagi atas komponen atau sistem :
(1) komponen subglotal
(2) komponen laring, dan
(3) komponen supraglotal
Ketiga komponen itu dapat dinyatakan dalam bentuk diagram sebagai berikut.
1. Komponen Supraglotal
Komponen supraglotal ini terdiri atas tiga rongga yang berfungsi sebagai kotak resonansi dalam pembentukan bunyi. Ketiga rongga itu sering juga disebut saluran suara. Di dalam saluran suara itu terdapat sejumlah alat ucap yang penting di dalam pembentukan bunyi-bunyi bahasa, khususnya alat-alat ucap yang terdapat di dalam rongga mulit. Alat-alat yang dipakai dalam pembentukan bunyi itu dikenal sebagai artikulator. Pada pembentukan suatu bunyi, minimal kita mempergunakan sepasang artikulator. Artikulator yang bergerak menuju artikulator lainnya di dalam pembentukan suatu bunyi disebut artikulator aktif, sedangkan yang tidak bergerak disebut artikulator pasif. Setiap kali terjadi perubahan posisi artikulator, akan terjadi perubahan bentuk tabung arus udara yang menjadi kotak resonansi bunyi yang dibuat itu. Perubahan tabung udara itu akan mengakibatkan perubahan atau perbedaan kualitas bunyi.
Ketiga rongga yang membentuk saluran suara itu juga biasa disebut sistem artikulatoris adalah rongga kerongkongan atau faring, rongga hidung dan rongga mulut. Di samping ketiga rongga itu, masih ada rongga, yaitu rongga bibir, yang termasuk dalam komponen supraglotal itu. Akan tetapi, dalam pembentukan bunyi bahasa rongga itu tidak pernah dipergunakan.

· Rongga Kerongkongan (Faring)
Pada Gambar 2 telah diberikan sketsa rongga kerongkongan bersama rongga mulut dan rongga hidung. Pada gambar itu tampak bahwa rongga kerongkongan itu merupakan tabung yang terletak di atas laring dan bercabang di sebelah atas yang berwujud rongga mulut dan rongga hidung. Peranan rongga kerongkongan ini hanyalah sebagai tabung udara yang akan turut bergetar apabila pita suara menimbulkan getaran pada arus udara yang lewat dari paru-paru. Volume rongga kerongkongan itu dapat diperkecil dengan jalan menaikkan laring, dengan mengangkat ujung langit-langit lunak sehingga hubungan dengan rongga hidung tertutup, dan dengan menarik belakang lidah ke arah dinding faring.

· Rongga Hidung

Rongga hidung mempunyai dimensi dan bentuk yang tetap seperti badan biola. Peranannya dalam pembentukan bunyi hanya sebagai tabung resonansi. Apabila arus udara dari paru-paru mengalami getaran pada waktu melalui pita suara, getaran itu akan menggetarkan juga udara yang ada di dalam rongga kerongkongan, rongga mulut, dan udara yang ada di dalam rongga hidung kalau yang terakhir ini tidak ditutup salurannya oleh ujung langit-langit lunak. Apabila dalam pembentukan bunyi mulit ditutup dan udara keluar melalui hidung, maka bunyi itu disebut bunyi nasal. Apabila dalam pembentukan bunyi saluran ke rongga hidung ditutup rapat sehingga udara keluar melalui mulut seluruhnya, maka bunyi yang dihasilkan itu disebut bunyi oral. Dan kalau dalam pembentukan bunyi udara sebagian keluar melalui mulut dan sebagian lagi keluar melalui hidung karena ujung langit-langit tidak menutup rapat saluran ke rongga hidung, maka bunyi yang dihasilkan disebut bunyi yang dinasalisasi.

· Rongga Mulut
Rongga mulut merupakan rongga yang terpenting diantara ketiga rongga supraglotal karena dimensinya dan bentuknya sangat bermacam-macam. Hal ini dimungkinkan oleh karena mobilitas rahang, bibir, dan terutama lidah. Lidah merupakan alat ucap yang terpenting dalam sistem artikulatoris karena sebagian besar bunyi bahasa dibuat dengan menggunakan lidak sebagai artikulator aktifnya. Lidah juga merupakan alat ucap yang paling luwes dalam melakukan berbagai gerakan dan boleh dikatakan semua bagiannya dapat digerakkan.

2. Komponen Laring
Laring merupakan kotak yang terbentuk dari tulang-tulang rawan. Bagian dasar atau bawah laring itu terdiri atas tulang rawan krikoid. Tulang krikoid ini adalah lingkar (cincin) yang paling ujung (atas) pipa pernapasan (trakea). Laring itu tergantung oleh tulang hioid pada leher. Pada tulang hioid ini tergantung tulang rawan tiroid sebagai pelindung. Pada bagian belakang tulang krikoid yang membesar terdapat sepasang tulang rawan aritenoid. Pada bagian dalam tulang aritenoid ini melekat ujung-ujung sepasang pita suara yang terentang ke depan dan melekat pada dinding tulang tiroid yang disebut jakun. Di atas pita suara itu terentang pula sepasang pita suara palsu.
Gambar 3 berikut memperlihatkan sketsa komponen laring dengan bagian-bagiannya.

















3. Komponen Subglotal
Kompoen subglotal ini terdiri atas paru-paru (kiri dan kanan), saluran bronkial, dan saluran pernapasan (trakea). Di samping ketiga alat itu, masih ada lagi alat-alat tubuh lain yang termasuk di dalam komponen ini, yaitu otot-otot paru-paru, otot perut, dan rongga dada. Komponen ini dipergunakan terutama untuk proses pernapasan. Karena itu, komponen ini juga disebut sistem pernapasan. Dalam sistem pernapasan yang sebenarnya masih ada alat-alat tubuh lain yang diaktifkan, seperti hidup dan ujung langit-langit lunak (uvula). Untuk menghindari kekaburan istilah, sistem pernapasan subglotal dapat dipakai untuk komponen subglotal itu.


2.3 Klasifikasi Vokal
Bunyi vokal biasanya diklasifikasikan dan diberi nama berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat vertikal bisa bersifat horizontal. Secara vertikal dibedakan adanya vokal tinggi, misalnya bunyi [i] dan [u]; vokal tengah, misalnya, bunyi [e] dan [ ]; dan vokal belakang, misalnya, bunyi [u] dan [o]. kemudian menurut bentuk mulut dibedakan adanya vokal bundar dan vokal tak bundar. Disebut vokal bundar karena bentuk mulut membundar ketika mengucapkan vokal itu, misalnya, vokal [o] dan vokal [u]. Disebut vokal tak bundar karena bentuk mulut tidak membundar, melainkan melebar, pada waktu mengucapkan vokal tersebut, misalnya, vokal [i] dan vokal [e].
Berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut itu kita dapat membuat bagan atau peta vokal sebagai berikut :
Keterangan : TB = tak bundar
B = bundar
Berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut itulah kemudian kita memberi nama akan vokal-vokal itu, misalnya :
[i] adalah vokal depan tinggi tak bundar
[e] adalah vokal depan tengah tak bundar
[ ] adalah vokal pusat tengah tak bundar
[a] adalah vokal pusat rendah tak bundar







2.4 Peta Konsonan
Dari peta di atas kita dapat mengatakan bahwa [p] adalah konsonan hambat bilabial tak bersuara; sedangkan [b] adalah konsonan hambat bilabial bersuara. Perbedaan bunyi [p] dan [b] terletak pada bersuara dan tidaknya bunyi itu. Dalam hal ini, [p] adalah bunyi tak bersuara dan [b] adalah bunyi bersuara. Oleh karena itu, dalam bahasa Indonesia, kedua bunyi itu pada posisi akhir silabel seringkali bertukar-tukar tanpa berbeda maknanya. Disamping [sabtu] lazim juga orang melafalkan [saptu]; disamping [lembap] lazim juga [lembab]. Bahasa Arab tidak mempunyai bunyi /p/. Maka itu bunyi /p/ yang berasal dari bahasa asing diserap ke dalam bahasa Arab dengan bunyi /b/. Misalnya, kota Paris di Prancis dalam bahasa Arab menjadi Baris, dan polisi menjadi (al)-bulis. Sebaliknya, dalam kebanyakan orang Indonesia bunyi /f/ adalah bunyi asing, yang ada dalam bahasa Arab, Belanda atau Inggris; maka oleh karena itu, bunyi tersebut akan diganti dengan bunyi /p/, yakni bunyi yang letaknya paling dekat dengan bunyi /f/ itu. Itulah sebabnya kata fitnah menjadi pitnah, kata fikir menjadi pikir, dan kata revolusi menjadi repolusi.

2.5 Fitur dan Fitur Distingtif
Dalam bahasa Indonesia terdapat lima konsonan yang memiliki fitur hentian oral, yaitu [b, d, t, g dan k]. Bunyi [p] dan [b] membentuk hentian atau letupan di tempat yang sama, yaitu diantara bibir atas dan bawah, bunyi [d] dan [t] membentuknya diantara ujung (langit-langit lunak mulut). Jadi dalam bahasa Indonesia terdapat enam hentian oral yang dapat dibagi ke dalam tiga kumpulan menurut tempat artikulasinya, yaitu : hentian oral labial (bibir), [p] dan [b], hentian oral gusi [t] dan [d], dan hentian oral velar [k] dan [g].
Selain dari konsonan hentian oral ini ada lagi hentian oral lain dalam bahasa Indonesia yang disebut konsonan hentian sengau. Pada waktu membunyikan konsonan hentian sengau ini terdapat juga hentian di tempat artikulasi yang sama seperti hentian oral di atas, tetapi udara dibolehkan lolos melalui hidung, sedangkan bagi hentian oral jalan udara ke rongga hidung tertutup rapat. Dalam bahasa Indonesia terdapat empat konsonan hentian sengau, yaitu : hentian sengau labial (bibir) [m], hentian sengau gusi [n], hentian sengau velar (langit-langit lunak) [n], dan hentian sengau langit-langit keras [n], misalnya dalam kata ‘nyanyi’ [nani] atau [nani].
Sekarang mari kita perhatikan kedua kata berikut :
‘pening’ : [pening]
‘bening’ : [benin]
Kedua kata di atas sama-sama terdiri dari lima segmen fonetik, empat daripadanya sama untuk kedua kata itu termasuk urutannya. Dengan kata lain, kedua kata itu hanya berbeda pada segmen fonetik awal saja, yaitu [p] dan [b]. Ternyata pula bahwa kedua segmen awal ini adalah sama-sama hentian oral labial. Bagaimanapun kalau kedua kata itu dibunyikan kita akan mendengar dua kata yang berlainan. Ilmu fonologi telah mengkaji dimana letak perbedaan diantara segmen [p] dan segmen [b]. Apabila seorang penutur membunyikan [p] ternyata bahwa pita suaranya tidak bergetar. Hal ini dapat diuji dengan meletakkan jari pada jakun (“Adam’s apple”) penutur dan kita tidak akan merasa sesuatu getara. Tetapi apabila si penutur membunyikan [b] maka pita suaranya akan bergetar dan getaran ini dapat kita rasakan apabila kita menekan jakunnya dengan jari.
Apabila pita suara kita bergetar pada waktu segmen fonetik (fon) kita bunyikan maka segmen itu disebut memiliki fitur suara dan apabila pita suara tidak bergetar maka segmen itu disebut tidak memiliki fitur suara. Fitur suara inilah satu-satunya yang membedakan atau menjadikan kedua kata itu berbeda. Dalam ilmu fonologi fitur seperti ini disebut fitur distingtif (“distinctive feature”).
Sekarang dapatlah kita pahami bahwa segmen fonetik (fon), sekalipun kita anggap sebagai unit bunyi, bukanlah bagian bahasa yang terkecil sebagaimana yang dianggap linguistik taksonomik (linguistik structural atau linguistik deskriptif). Teori linguistik TG menganggap bahwa segmen fonetik ini masih bisa dipecahkan ke dalam beberapa unit yang lebih kecil yang disebut fitur distingtif. Jadi fitur distingtiflah unit bahasa yang terkecil. Berdasarkan fitur distingtif inilah kita menguraikan setiap segmen fonetik dengan menyebutkan apakah sesuatu fitur distingtif hadir atau dimiliki sesuatu segmen fonetik. Apabila sesuatu fitur ada maka diberi tanda positif: / +fitur/dan apabila fitur itu tidak ada diberi tanda negatif : / - fitur/. Misalnya segmen [p] dapatlah diuraikan sebagai berikut : / + konsonan, + stop, - sengau, - suara /, sedangkan segmen / b / sebagai : / + konsonan, + stop , - sengau, + suara /.

2.6 Rumus-Rumus Fonologi
Segmen [r] dalam kata ‘tikar’ dibunyikan oleh penutur-penutur bahasa Melayu (termasuk bahasa Indonesia) dengan lima cara, yaitu sebagai [u], [r], [J], [R] dan [a]. Bagaimanapun arti kata ‘tikar’tidak berubah sekalipun dibunyikan dengan kelima cara itu dan penutur bahasa Melayu pada umumnya memahaminya. Persoalannya sekarang ialah adakah kelima-lima bentuk representasi fonetik di atas dilambangkan atau diukir di dalam otak penutur-penutur bahasa Indonesia.
Ilmu fonologi teori linguistik TG yang disebut Fonologi Generatif telah mengkaji pertanyaan di atas dan mendapati bahwa kelima bentuk representasi fonetik ini dilambangkan di dalam otak penutur bahasa Indonesia dengan satu simbol saja, yaitu / r /. Jadi dituliskan atau dilambangkan diantara dua garis miring / / untuk membedakannya dari bentuk-bentuk representasi fonetik [ ]. Bentuk ini disebut bentuk dalaman dari fonologi sistematik. Teori linguistik taksonomik menyebut bentuk ini sebagai fonem (“phoneme”). Oleh karena fonem ini dianggap sebagai bagian bahasa terkecil dalam linguistik taksonomik maka Fonologi Generatif biasanya tidak mengakui adanya fonem sebagai unsur terkecil (Chomsky dan Halle 1968). Bagaimanapun istilah fonem ini masih terus dipakai dalam perbincangan linguistik dalam Fonologi Generatif dengan pengertian bahwa fonem itu bukan bagian bahasa terkecil tetapi masih dapat dipecahkan ke dalam fitur-fitur distingtif.
Contoh dalam kata: ‘pisang’, ‘pasang’, ‘petang’, ‘potong’, ‘atap’, dan ‘hidup’. Sebenarnya segmen [p] dalam semua perkataan ini dibunyikan dengan cara yang berlainan, maksudnya mempunyai representasi fonetik yang berlainan sebagai akibat penggabungannya dengan vokal-vokal yang berlainan dan posisinya di dalam kata. Jadi ‘pi-’, ‘pa-’, ‘pe-’, ‘pu-’, ‘po-’, ‘-ap’, dan ‘-up’, sebenarnya berlainan satu sama lain karena posisi alat-alat ucapan berubah pada waktu membunyikan kata-kata itu. Selain daripada itu ada juga penutur bahasa Indonesia (terutama suku Jawa) yang membunyikan kata-kata di atas dengan aspirasi (tiupan atau hembusan udara) yang agak kuat : [phisan], [phasan], [phetan], dan seterusnya. Dengan atau tanpa aspirasi arti kata-kata itu tidak berubah. Oleh karena arti tidak berubah, maka aspirasi dalam bahasa Indonesia (Melayu) disebut tidak fonemik dan oleh karena itu semua bentuk representasi fonetik ini dilambangkan di dalam otak sebagai [p], yaitu pada peringkat struktur permukaan.
Dari perbincangan di atas teranglah bahwa komponen fonologi ini mempunyai dua peringkat, yaitu peringkat dalaman, yaitu struktur permukaan, dan peringkat luaran (peringkat fisik), yaitu representasi fonetik. Kedua peringkat ini dihubungkan oleh rumus-rumus fonologi. Sebagai satu contoh rumus-rumus fonologi, kita ambil kata ‘tikar’ yang bentuk dalamannya ialah : /tikar/. Tetapi representasi fonetiknya dalam berbagai dialek bahasa Indonesia (Melayu) berlainan. Dalam dialek bahasa Melayu Melaka di Malaysia, misalnya, representasi fonetiknya ialah : [tikau]. Jadi dalam dialek Melayu Melaka terdapat rumus fonologi berikut :
/r/ [u] / V ______ #
Rumus ini dapat dibaca sebagai berikut : fonem / r / harus ditukar menjadi fon [u] dalam pengucapannya, apabila ia muncul di akhir kata ( ___#) dan didahului oleh segmen vocal (V = vocal). Panah bermakna ‘berubah menjadi’ sedangkan garis miring bermakna ‘dalam lingkungan’. Di dalam dialek-dialek bahasa Melayu (Indonesia) yang lain terdapat rumus berikut :
/ r / [R] / V ______ #


III. KESIMPULAN
Komponen fonologi dan semua komponen bahasa yang kita miliki secara alami atau secara kodrati atau nurani adalah semua manusia memiliki bahasa secara nurani atau kodrati (“innate”).
Bunyi vokal terdiri dari : [i], [I], [u], [U], [e], [ ], [ ], [o], [ ], [a]
Bunyi konsonan terdiri dari dari : [p], [b], [t], [d], [k], [g], [?],[f], [v], [ ], [ ], [s], [z], [ ], [3], [x], [h], [c], [j], [m], [n], [ ], [ ], [r], [l], [w], [y]
Menghadapi para pelajar yang menderita cacat pendengaran sangat memerlukan kesabaran. Apalagi kalau pelajar itu menderita ketulian sejak lahir, sehingga ia tidak dapat mengembangkan bahasa sendiri secara wajar dan spontan karena ia tak dapat mendengar baik yang dikatakannya maupun yang dikatakan oleh orang lain. Mengajar anak-anak demikian untuk berbicara dengan memusatkan usaha pada artikulasi dan apa yang dapat mereka pahami melalui penginderaan lainnya merupakan pekerjaan sulit yang memerlukan kesungguhan dan ketekunan. Membantu para tuna rungu untuk berbicara agar mereka dapat dimengerti oleh pendengar mereka, walaupun kualitas ujaran mereka buruk, berarti memberikan sesuatu yang tidak ternilai. Melihat bagaimana sulitnya pekerjaan itu baik bagi guru maupun bagi anak-anak menyadarkan kita betapa pentingnya pendengaran di dalam komunikasi.
DAFTAR PUSTAKA


Abdullah Hasan. 1980. Linguistik Am Untuk Guru Bahasa Malaysia. Kuala Lumpur: Penerbit Fajar Bakti Sdn. Bhd.

Atan bin Long. 1978. Psikologi Pendidikan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Chomsky, N. 1972b. Studies on Semantics In Generative Grammar. The Hague: Mouton.

Chomsky, N. 1975. Reflections of Language. New York. Pantheon Books.

Chomsky, N. dan M. Halle. 1968. The Sound Pattern of English. New York: Harper & Row.

Chaer Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Penerbit PT Rineka Cipta.

Moeliono Anton M. 1988. Pengantar Fonologi I : Fonetik. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Simanjuntak Mangantar. 1983. Pengantar Psikolinguistik Moden. Bangi, Selangor: Universiti Kebangsaan Malaysia.


[1] Disampaikan dalam SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik III, diselenggarakan oleh Univesitas Sumatera Utara, Medan 25 April 2009
[2] Staf Pengajar Fakultas Sastra, Universitas Sumatera Utara, Medan

Tidak ada komentar: