01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 15

SAPAAN BAHASA MUNA
Sebagai Perekat Etnik Suku Muna Di Sulawesi Tenggara
*)
La Ino**)


1. Pendahuluan
Bangsa Indonesia terdiri atas berbagai suku bangsa yang mempunyai keanekaragaman budaya serta latar belakang sosiokultur yang berbeda-beda. Salah satu dari keanekaragaman budaya yang dimaksud adalah bahasa, dalam hal ini bahasa-bahasa daerah. Bahasa-bahasa daerah tersebut berbeda-beda sistem pembentukannya satu dengan yang lain.
Bahasa daerah sangat bermanfaat bagi masyarakat pemakainya terutama sebagai alat komunikasi di antara sesamanya sehingga memungkinkan terjadinya saling pengertian, saling sepakat, dan saling membutuhkan dalam kehidupan. Atau dengan kata lain, bahasa daerah dipergunakan sebagai alat komunikasi intrasuku bangsa dalam suasana nonformal untuk menunjukkan penghargaan atau rasa, rasa akrab terhadap lawan bicara yang berasal dari kelompok yang sama. Melalui suatu bahasa daerah dapat terjadi persatuan di antara warga pemakainya.
Pada penjelasan UUD 1945 Bab XV Pasal 36, dinyatakan bahwa bahasa-bahasa daerah yang masih dipakai sebagai alat perhubungan, yang hidup dan dibina oleh masyarakat pemakainya, dihargai dan dipelihara juga oleh negara karena bahasa-bahasa itu merupakan sebagian dari kebudayaan.
Dalam hubungannya dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah berfungsi sebagai (1) pendukung bahasa nasional, (2) bahasa pengantar di sekolah dasar dan SLTP sebagai muatan local, (3) alat pengembangan dan pendukuing kebudayaan daerah.
Menyadari pentingnya kedudukan dan fungsi bahasa daerah dalam kaitannya dengan pertumbuhan, perkembangan, dan pembakuan bahasa nasional serta kepentingan pembinaan dan pengembangan bahasa daerah sebagai salah satu unsur kebudayaan, maka bahasa-bahasa daerah perlu diselamatkan, dipelihara, dan dikembangkan.
Sejalan dengan pernyataan di atas, maka perlu adanya penelitian dan pengkajian yang sistematis dalam rangka pelestarian budaya bangsa terutama bahasa-bahasa daerah yang tersebar di seluruh Nusantara yang nantinya dapat menambah Khazanah kebudayaan nasional
Bahasa Muna (BM) dikatakan sebagai salah satu produk budaya masyarakat karena merupakan salah satu dari tujuh aspek kebudayaan. Bahasa ini terdapat di wilayah Kabupaten Muna Propinsi Sulawesi Tenggara. Wilayah pemakaian bahasa ini meliputi seluruh Pulau Muna, sebagian Pulau Buton yang masuk wilayah pemerintahan Muna, sebagian kabupaten Buton, dan sebagian Kota Kendari.
Perkembangan fungsi dan kedudukan BM yang menunjukkan gambaran fenomena kebahasaan, beriherensi dengan realitas kehidupan sosial budaya masyarakat. BM sebagai bagian budaya masyarakat berkembang dan dapat berubah bersamaan dengan dinamika kehidupan sosial budaya masyarakatnya. Artinya, dalam menjalani fungsi dan kedudukannya BM dapat terus hidup dengan keasliannya, dan dapat berkembang dinamis untuk mengalami perubahan.
Kajian fenomena kebahasaan yang bersinggungan erat dengan realitas sosial budaya masyarakatnya tersebut merupakan fokus studi dalam bidang sosiolinguistik. Kajian yang disebut sebagai telaah varietas bahasa ini belum banyak dikaji dalam BM. Upaya untuk melakukan penelitian ke arah itu sangat diperlukan sehingga penelitian BM tidak hanya berorientasi pada pendeskripsian bahasa yang bersifat mikro. Dengan kata lain perlu terdapat keseimbangan antara penelitian-penelitian mikro dan makro.
Secara khusus kajian ini akan membahas tentang variasi sistem saapaan yang menyangkut pronomina persona, nomina nama diri, dan istilah kekerabatan yang berkaitan dengan kesopanan dan solidaritas.
Secara khusus kajian ini bertujuan untuk menganalisis variasi sistem sapaan yang menyangkut pronomina persona, nomina nama diri, dan istilah kekerabatan yang berkaitan dengan kesopanan dan solidaritas.

2. Kerangka Teoritis
Kerangka teori yang dipakai dalam penelitian ini adalah teori yang berpengaruh pada kaidah-kaidah sistem sapaan dan pemaknaanya, yaitu teori T/V yang diusulkan oleh Brown dan Gilman (1960) dan pengembangannya oleh Fedrike Braun (1988).



3. Metodologi dan Lingkup kajian
Kajian ini adalah kajian awal. Data yang dipergunakan adalah data lisan. Sumber data lisan didapatkan dari percakapan seseorang atau kelompok yang menggunakan bahasa Muna dari beberapa tempat. Disamping itu juga data ini menggunakan data dari penulis, karena penulis adalah penutur asli bahasa tersebut.
Pendekatan yang dipakai dalam kajian ini adalah secara kualitatif dengan memanfaatkan metode intuisi yang dimiliki oleh penulis sebagai penutur asli bahasa tersebut. Hal ini dilakukan karena keterbatasan informan. Di samping itu juga penulis menggunakan kamus Bahasa Muna – Inggris – Indonesia dalam mengecek contoh data.
Kajian ini hanya membahas beberapa aspek saja yaitu bentuk-bentuk variasi sebagai penanda vokatif, yaitu leksem-leksem pronomina persona, nama diri, dan istilah kekerabatan yang bersangkutan dengan kesoapanan dan solidaritas.

4. Sapaan dan Kesopanan serta Solidaritas
Konsep dalam penelitian ini berkaitan dengan (a) konsep-konsep tentang sistem sapaan, (b) konsep-konsep tentang makna kesopanan dan solidaritas. Konsep-konsep tersebut diuraikan sebagai berikut.
Sistem sapaan menurut Kridalaksana (1982:14) adalah seperangkat kata atau ungkapan yang dipakai untuk menyebut dan memanggil para pelaku dalam suatu peristiwa bahasa yang sangat ditentukan oleh aspek-aspek sosial, seperti dialek (regonal/sosial) variasi situasi, sifat hubungan di antara pelaku seperti akrab, biasa formal, resiprokal.
Braun (1988:7-14) mengungkapkan sistem sapaan sebagai perangkat kata dan frasa yang digunakan untuk menyapa yang mengacu pada kolektor dan mengandung unsur deiksis yang kuat. Sistem sapaan tersebut dapat terdiri atas tiga kelas pronomina nama diri, nomina istilah kekerabatan, nomina istilah kasih sayang, honorifik dan sufiks-sufiks inflektif dalam verba yang memiliki sejumlah varian dalam setiap bahasa dan secara detail menandai perbedaan dalam usia, jenis kelamin, status sosial, refleksi norma, dan niali budaya. Sistem sapaan dapat memusatkan perhatian pada pentingnya aspek usia tiap-tiao budaya suatu bahasa.
Konsep tentang kesopanan dan solidaritas dikemukakan oleh Brown dan Gilman (1960:253:256). Konsep makna solidaritas adalah pemilihan pemakaian bentuk-bentuk variasi pronomina, yang mengungkapkan derajat yang sama karena adanya kesamaan pendirian dan perilaku.
Konsep kesopanan menurut Wardaugh (1990:251-253) seperti dinyatakan dalam bentuk T/V, bentuk T pronomina nama diri dapat menyatakan tentang familiar dan bentuk V.
Menurut Braun (1988:45-51), makna kesopanan ditentukan oleh situasi pada saat bentuk-bentuk sapaan digunakan. Kesopanan ditentukan jika pemakaian bentuk-bentuk sapaan sesuai dengan situasi alamiah dan norma-norma menurut hubungan pembicara yang sesuai dengan aturan-aturan dalam suatu komunikasi. Sebaliknya pemakaian bentuk-bentuk sapaan yang tidak sesuai dengan aturan-aturan akan dianggap tidak sopan. Jika tidak ditentukan oleh kontak situasi, kesopanan ditentukan oleh perbedaan derajat kesopanan yang berkaitan dengan sperior atau imperior, jarak jauh atau keintiman, dan pertimbangan tinggi rendahnya suatu penghormayan yang ingin diungkapkan untuk disebut sopan atau tidak sopan.

5. Analisis Data
Pronomina Persona Bahasa Muna.
Bentuk pronomina persona bahasa Muna terbagi atas
pronomina persona pertama tunggal: inodi ‘saya’
pronomina persona pertama jamak: eks. Intaidi ‘kita’ dan ink. Insaidi ‘kami’
pronomina persona kedua tunggal: ihintu ‘kamu’
pronomina persona kedua tunggal: ihintuumu ‘kamu sekalian’
pronomina persona ketiga tunggal: anoa ‘dia, ia’
pronomina persona ketiga jamak: andoa ‘mereka’
Sistem pronomina persona bahasa Muna
Pronomina persona
T
V
Glos Indonesia
Pertama
inodi
insaidi
Saya
Kedua
ihintu
intaidi
Kamu
Ketiga
anoa
andoa
Dia

Pada umumnya ada tiga parameter yang dipakai sebagai ukuran, (1) umur, (2) status sosial, dan (3) keakraban.
Secara budaya orang yang lebih muda diharapkan menujukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua. Sebaliknya orang yang lebih tua diharapkan juga menunjukan tenggang rasa terhadap yang muda. Unsur timbal balik ini tercermin dalam pemakaian pronomina dalam bahasa Muna. Pronomina inodi ‘saya’ lebih umum dipakai daripada insaidi ‘saya’ oleh orang muda terhadap orang tua untuk menunjukkan rasa hormat. Sedangkan untuk penggunaan insaidi dalam percakapan biasa berarti kami.
Dalam bahasa Muna hanya dikenal status sosial bangsawan dan bukan bangsawan atau golongan biasa. Ciri golongan bangsawan nama diri selalu di awali dengan La Odhe (laki-laki) Wa Odhe (perempuan), sedangkan golongan bukan bangsawan diawali dengan La (laki-laki), Wa (perempuan). Jadi yang dimaksud dengan status sosial tinggi adalah kaum bangsawan tersebut. Golongan bangsawan ini selalu disapa dengan waompu atau kolaki. (Uraian lebih lanjut dapat dilihat pada bentuk nomina diri).
Untuk lebih jelasnya akan kami uraikan sebagai berikut.
A. Bentuk Pronomina Pertama.
Telah diuraikan di atas, bahwa pronomina pertama Bahasa Muna terbagi dua yaitu tunggal dan jamak. Jamak terbagi dua lagi yaitu inklusif dan ekslusif. Untuk menunjukkan kesopanan (V) tunggal pertama dipakai insaidi. Sedangkan kesopanan (V) persona kedua digunakan intaidi, (akan diuraikan pada bentuk pronomina kedua).
Penggunaan kedua bentuk pronomina persona inodi dan insaidi tersebut dalam sistem sapaan akan bervariasi.
Penggunaan inodi jika antara pembicara/penyapa dan yang disapa/ diajak bicara seumur, penyapa lebih tua daripada yang disapa tetapi yang penyapa bergolongan biasa, antara penyapa dan yang disapa sama status sosialnya, penyapa/pembicara bergolongan bangsawan yang disapa bergolongan biasa, dan antara penyapa dan yang disapa menunjukkan keakraban.
Penggunaan insaidi jika penyapa berumur lebih tua daripada yang disapa, penyapa berstatus sosial tinggi daripada yang disapa, dan antara penyapa dan yang disapa tidak menunjukkan keakraban, maka apabila menjawab menggunakan insaidi. Hal ini menunjukan rasa hormat (V).
Biasanya penggunaan kedua pronomina tersebut terjadi dalam dialog.
A: okumala ne hamai? ‘kamu mau ke mana’
B. Inodi akumala we Bali ‘saya akan pergi ke Bali’
Dari data di atas, dapat dikatakan bahwa si A seumur dengan si B, si A lebih tua dari si B tetapi si B bergolongan biasa, atau si A dan Si B sama status sosialnya yaitu sama-sama bangsawan atau sama-sama bukan bangsawan, atau si A dan si B sudah saling akrab.
A. Okumala ne hamai? ‘kamu mau ke mana?’
B. Insaidi takumala we Bali waompu. ‘saya akan pergi ke Bali’
Dari data di atas, dapat dikatakan bahwa si A berumur lebih tua daripada si B, Si A dari golongan bangsawan dan si B bukan dari golongan bangsawan, antara si A dan Si B tidak menunjukkan keakraban.
B. Bentuk Pronomina Persona Kedua
Telah disinggung di atas (Bentuk pronomina pertama) bahwa untuk menunjukkan kesopanan (V) bentuk pronomina kedua digunakan intaidi.
Penggunaan kedua bentuk pronomina persona ihintu dan intaidi tersebut dalam sistem sapaan akan bervariasi.
Penggunaan ihintu jika antara pembicara/penyapa dan yang disapa/diajak bicara seumur, penyapa dan yang disapa sama status sosial, penyapa/pembicara bergolongan tinggi dan yang disapa/diajak bicara bergolongan rendah, serta menunjukkan kekraban.
Penggunaan intaidi jika penyapa berumur lebih muda daripada yang disapa, antara penyapa sama umur, tetapi penyapa bergolongan bukan bangsawan sedangkan yang disapa golongan bangsawan tidak menunjukkan kekraban.
Pada umumnya penggunaan bentuk pronomina dalam bahasa Muna dapa dilihat dalam bentuk dialog.
A. ihintu kumalano we daoa? ‘kamu yang pergi ke pasar?’
B. umbe. ‘ya.
Dari data di atas dapat dikatakan bahwa si A dan si B sama umur, atau si A dan si B mempunyai status sosial yang sama (sama-sama golongan bangsawan atau sama-sama bukan golongan bangsawan), atau si A dari golongan bangsawan sedangkan si B dari golongan bukan bangsawan.
Untuk menjawab pertanyaan golongan bangsawan dan yang menjawab dari golongan bukan bangsawan biasanya ditambah dengan kata waompu atau kolaki.
Untuk jawaban si B di atas jika yang bertanya bangsawan dan si B bukan bangsawan maka jawabannya:
Umbe waompu atau umbe kolaki ‘ ya tuan’
A. Intaidi takumala nehamai? ‘kamu mau ke mana’
B. Inodi akumala we oe. ‘saya akan pergi ke air’
Dari data di atas dapat dikatakan bahwa si A berumur lebih muda dari si B, atau sama umur tetapi si B bergolongan bangsawan sedangkan si A bergolongan biasa dan antara si A dan Si B tidak menunjukaan keakraban.
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa apabila kita bertanya atau menjawab pertanyaan yang ditujukan kepada golongan bangsawan biasanya ditambah dengan kata kolaki atau waompu. Jadi contoh di atas menjadi
A. intaidi takumala nehamai waompu? ‘kamu mau ke mana tuan’
C. Bentuk Pronomina Ketiga
Bentuk pronomina ketiga bahasa Muna ada dua yaitu anoa ‘dia, ia’ dan andoa ‘mereka’. Tetapi untuk menunjukaan kesopanan (V) persona ketiga digunakan andoa
Penggunaan anoa jika yang dibicarakan dan pembicara seumur dan sama status, yang dibicarakan bukan golongan bangsawan dan para pembicara dari golongan bangsawan serta menunjukkan keakraban.
Sedangkan apabila yang dibicarakan golongan bangsawan dan pembicara dari golongan biasa dipakai kata andoa sebagai bentuk hormat (V).
A. lahae kumalano? ‘siapa yang pergi?
B. Anoa ‘dia’
Dari data di atas dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan antara si A dan si B adalah seumur dan sama status sosial dengan si A dan si B, atau si A dan Si B dari golongan bangsawan sedangkan yang dibicarakan bukan bangsawan, antara A dan B serta yang dibicarakan menunjukkan keakraban.
A. lahae kumalano? ‘siapa yang pergi?’
B. andoa. ‘dia’
dari data diatas dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan adalah golongan bangsawan, sedangkan si A dan si B bukan golongan bangsawan.
2. Bentuk Nomina Nama Diri

Glos
T
V
bapak
Ama
Idha, odhe
Ibu
ina
Paapa
Bapak/ibu
poisaha
Poisaha +intaidi
Dalam situasi nonformal perempuan dan laki-laki yang sudah berkeluarga dan sudah mempunyai anak maka disapa dengan memanggil nama anaknya setelah nomina nama diri. Untuk golongan biasa (T) dipanggil dengan ama untuk bapak dan ina untuk ibu, sedangkan untuk golongan bangsawan untuk menunjukan rasa hormat (V) digunakan idha, odhe untuk bapak dan paapa untuk ibu.
Penggunaan ina, ama, idha, dan paapa sama dalam sistem sapaan. Penggunaan keempat bentuk ini berlaku umum untuk penyapa. Artinya penyapa dari golongan manapun boleh menggunakan keempat kata ini, hanya bedanya jika yang disapa bukan bangsawan kita gunakan ina atau ama dan jika yang disapa golongan bangsawan kita gunakan idha atau paapa.
Ina La Imba okumala ne hamai? ‘mamanya La Imba mau ke mana?’
Ama La isu nokala we kantori. ‘bapaknya La Isu pergi ke kantor’
Paapa La Odhe Fudi ne gau. ‘mamanya La Ode Fudi sedang memasak’
Idha Wa Odhe Nani opolisi. ‘bapaknya Wa Ode Nani polisi.
Dari data di atas dapat dikatakan bahwa La Imba, La Isu bukan berasall dari golongan bangsawan, sedangkan La Ode Fudi dan Wa Ode Nani adalah bangsawan.
Untuk situasi formal maka apabila penyapa lebih muda dari yang disapa, yang disapa dari golongan biasa, dan di tempat bekerja atau kantor penyapa dan disapa sama kedudukan tetapi penyapa lebih muda maka digunakan kata poisaha ‘kakak’. Penggunaan kata ini berlaku umum, artinya baik yang penyapa maupun yang disapa laki-laki dan perempuan sama dalam sistem sapaan.
Sedangkan apabila penyapa lebih muda dari yang disapa, yang disapa dari golongan bangsawan, dan di kantor berkedudukan tinggi maka disapa dengan poisaha intaidi ‘kakak’. Tambahan kata intaidi untuk menunjukkan rasa hormat (V).

A. poisaha okumala nehamai? ‘kakak mau ke mana?’
B. inodi akumala we kantori. ‘saya akan pergi ke kantor’
Dari data di atas dapat dikatakan bahwa si A lebih mudah dari si B dan SiB berasal dari golongan biasa, serta kalau mereka sama-sama bekerja satu kantor maka si A dan si B sama kedudukannya.
A. poisaha intaidi takumala nehamai? ‘kakak kamu mau ke mana’
B. inodi akumala we kantori. ‘ saya akan pergi ke kantor’
Dari data di atas dapat dikatakan bahwa si A lebih muda dan si B dari golongan bangsawan atau si B atasan dari si A.

Variasi
T
V
Jenis kelamin
La
La
La Ode
Laki-laki
Wa
wa
Wa Ode
Perempuan
Penggunaan nomina nama diri dalam bahasa Muna juga untuk menandai jenis kelamin dan status sosial seseorang. Untuk jenis kelamin laki-laki selalu diawali dengan La misalnya; La Fudi, La Alu, La Imba, untuk jenis kelamin perempuan selalu diawali dengan wa misalnya; Wa Ati, Wa Aidi. Sedangkan untuk penanda status sosial untuk golongan bangsawan selalu ditambahkan Odhe setelah penanda jenis kelamin. Misalnya: La Odhe Atu, Wa Odhe Nani.
3. Bentuk Nomina Istilah Kekerabatan
Kekerabatan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1974:137) dapat dipandang dari tiga sudut, yaitu (1) sudut cara pemakaiannya, (2) unsur bahasanya, (3) jumlah kerabat yang diklasifikasikan ke dalam suatu istilah. Dari ketiga masalah itu masalah pertama mempunyai relevansi dengan peneltian ini. Masalah ini sesuai dengan yang diungkapkan oleh Ketjaraningrat yang menyatakan bahwa setiap bahasa mempunyai dua macam istilah sapaan (term or adress) dan istilah sebutan (term of reference).
1. Bentuk awa
Untuk kekerabatan kakek dan nenek dalam bahasa sama bentuknya yaitu awa. Untuk bentuk sapaannya bentuk awa sama baik golongan bangsawan maupun bukan bangsawan.
Awa La hua nomatemo. ‘kekeknya/neneknya La Hua sudah meninggal.
Awa La Ode Sidi nomatemo. ‘kakeknya/neneknya La Ode Sidi sudah meninggal.
Untuk bentuk awa ini juga bermakna cucu dalam bahasa Muna.
Wa Hasia awano dodidimamo. ‘Wa Hasia cucunya sudah lima orang’
2. Bentuk ama dan ina
untuk kekerabatan ama ‘bapak’ dan ina ‘ibu’ digunakan untuk menyapa orang tua yang bergolongan biasa.
Ama La Udi o polisi. ‘bapaknya La Udi Polisi’
Ina La Imba nopodaga. ‘mamanya La Imba berdagang’

3. bentuk idha, odhe, paapa
untuk kekerabatan idha sebenarnya sama dengan odhe sama maknanya bapak untuk menyapa orang tua laki-laki golongan bangsawan. Perbedaannya adalah idha digunakan untuk menyapa laki-laki bangsawan yang tidak memegang atau tidak pernah memegang jabatan dalam pemerintahan, odhe digunakan untuk menyapa orang tua laki-laki yang memegang jabatan atau pernah memegang jabatan pemerintahan minimal jabatan kepala desa. Untuk paapa digunakan untuk menyapa orang tua perempuan golongan bangsawan. Hal ini dilakukan untuk memberi rasa hormat.
4. bentuk poisaha dan poaiha
untuk kekerabatan poisaha digunakan untuk menyapa yang berumur lebih tua dari penyapa, sedangkan poaiha digunakan untuk menyapa yang berumur lebih muda dari penyapa.
Poisaha bhe poaiha tabea dametingke pogauno kamukal.
‘kakak dan adik kita harus mendengarkan pembicraan orang tua’
5. bentuk fokoamau dan fokoidhau
bentuk kekerabatan fokomaua untuk menyapa paman yang berasal dari golongan biasa, sedangkan fokoidhau untuk menyapa paman yang berasal dari golongan bangsawan untuk memberi rasa hormat (V).
Fokoamau La Imba norato nomaighoo we Bali.
Paman la Imba baru datang dari Bali’
Fokoidhau Wa Odhe Nani norato nomaighoo we Surabaia.
Paman Wa Nani baru datang dari Surabaya.’
6. bentuk fokoinau dan fokopaapau
Bentuk kekerabatan fokoinau untuk menyapa bibi yang berasalal dari golongan biasa, sedangkan fokopaapau untuk menyapa bibi dari golongan bangsawan.
Fokoinau La Iri o tantara. ‘bibi La Iri tentara’
Fokopaapau La Ode Aku o polisi. ‘bibi la Ode Aku polisi.
7. bentuk moghaneo dan isamiu
bentuk kekerabatan moghaneno untuk menyapa suami dari golongan biasa sedangkan isamiu digunakan untuk menyapa suami dari golongan bangsawan.
Moghane wa Kude nokala. ‘suami wa kude pergi’
Isamiu Wa Ode Ngkariri nokala. ‘suami Wa Ode Ngkariri pergi’
8. bentuk robhineno dan aimiu
Bentuk kekerabatan robhineno untuk menyapa istri yang berasal dari golongan biasa sedangkan aimiu digunakan untuk menyapa istri dari golongan biasa.
Robhine La Alu nesikola tora. ‘istri La Alu bersekolah lagi’
Aimiu La Ode Sidu nosikola tora. ‘istri La Ode sidu bersekolah lagi.
9. bentuk finimghane dan finirobhine
Bentuk ini digunakan untuk menyapa saudara kandung baik dari golongan bangsawan maupun bukan.
Finimoghane bhe finirobhine Wa Juma dosikola.
Saudara laki-laki dan saudara perempuan Wa Juma bersekolah’
Disamping hal-hal seperti faktor usia, faktor status sosial, jenis kelamin, kedudkan sosial, sopan santun dan kekeluargaan, dalam bahasa Muna faktor pendidikan juga menentukan variasi bahasa dalam sapaan.
10. bentuk keda dan ghane
bentuk ini keda digunakan untuk menyapa anak perempuan sedangkan ghane digunakan untuk menyapa anak laki-laki yang keduanya bukan dari bangsawan.
Keda kala wesikola. ‘anak (perempuan) pergi ke sekolah.
Ghane kal we sikola ‘anak (laki-laki) pergi ke sekolah.

11. bentuk abe dan ege
Bentuk ini abe digunakan untuk menyapa anak perempuan dan ege digunakan untuk menyapa anak laki-laki yang keduanya dari golongan bangsawan
Abe kala we sikola. ‘anak (perempuan bangsawan) pergi ke sekolah’
Ghane kala we sikola. ‘anak (laki-laki Bangsawan) pergi ke sekolah.
Dalam bahasa Muna walaupun seseorang bukan golongan bangsawan tetapi dalam perlakuan dalam sapaan akan diperlakukan sebagai orang bangsawan jika yang yang bersangkutan itu berpendidikan tinggi.
Misalnya saya sebagai penulis yang tidak atau bukan bangsawan jika saya pulang nanti akan disapa seperti orang menyapa golongan bangsawan, walaupun penyapa tersebut dari golongan bangsawan.
Contoh : si B berpendidikan magister, bukan bangsawan, umur lebih muda, disapa oleh si A tidak berpendidikan, golongan bangsawan, umur lebih tua dari si B maka sapaannya:
A. intaidi takumala nehamai? ‘kamu mau kemana’
B. insaidi akumala we lambu La Alu. ‘saya akan pergi ke rumahnya la alu’
Data di atas terlihat bahwa walaupun si B berpendidikan tetapi si B tau diri bahwa yang menyapa adalah golongan bangsawan maka si B menjawab juga dalam bentuk hormat.

6. Bentuk Sapaan yang Lain
Yang dimaksudkan penulis dengan bentuk sapaan yang lain adalah bentuk-bentuk sapaan untuk menyapa orang yang belum kita kenal dan sapaan kepada sang khalik atau sesuatu yang dianggap tabu.
6.1 Sapaan kepada orang yang belum kita kenal
Sapaan yang digunaan kepada orang yang dikenal dalam bahasa Muna langsung menggunakan kata intaidi ‘kita’. Hal ini dilakuka untuk menghindari jangan sampai orang yang kita sapa ini adalah orang berpangkat atau bangsawan. Jadi bentuk sapaan sebagai berikut:
A. Takumala nehamai itua. ‘kita hendak ke mana?’
B. Akumala na watu ‘saya mau kesana’
Akan tetapi bentuk sapaan ‘intaidi’ dapat saja berubah jika ternyata orang yang belum kita kenal tersebut adalah bukan bangsawan atau otang biasa yang tidak atau bukan pejabat.

6.2 Sapaan kepada sang khalik atau sesuatu dianggap mempunyai kekuatan.
Sapaan kepada sang khalik atau sesuatu benda atau apa saja yang dianggap mempunyai kekuatana dalam bahasa biasanya di sapa dengan kata ‘waompu’. Dalam masyarakat Muna mempunyai tradisi dalam melaksanakan kehidupan sehari-hari. Tradisi-tradisi tersebut masih terlihat sampai sekatang seperti tradisi menanam jagung. Dalam tradisi ini biasanya sebelum diadakan pekerjaan menananm jagung didahului dengan ritual-ritual. Dalam ritual-ritual inilah muncul sapaan-sapaan atau penyebuitan lain kepada hewan yang menurut tradisi bahasa sangat tabu disebutkan langsung.
Contoh ritual sebagai berikur:
Oe waompu fetingke tolaku.
Wahai sang pemcipta dengarkalah panggilanku (doaku)

Atumolagho galuku ini sio-siomo konopetae panaki.
Saya akan mendoakan kebunku mudah-mudahan janga dikena penyakit
Fekakodoho kasami bala fekamaho kasami radhaki.
Jaukanlah kami dari bahaya dekatkanlah kami dengan rejeki.
Waompu fekakodoho kasami galu mani ini nekadadi kumehemba-hembano.
Wahai sang khalik jauhkanlah kebun kami ini dari binatang yang serampangan
Pedamo dua kadea randa, kodhangkuno nensunu konetangku-tangku negaluku inia, dan seterusnya.
Seperti juga yang merah badannya (=sapaan untuk binatang babi), yang berjanggut di mulutnya (=sapaan untuk tikus) jangan mendekat di kebunku ini dan seterusnya.
Berdasarkan contoh di atas dapat dilihat bahwa menyebut tikus bagi orang yang berkebun sangat tabu tapi disebut dengan kodhangkuno ne nunsuno ‘yang berjanggut di mulutnya’

7 Kesimpulan
Bahasa Muna mengenal tiga sistem sapaan yaitu (1) persona pronomina, (2) pronomina nomina nama diri, (3) nomina istilah kekerabatan.
Untuk nomina nama diri dalam bahasa Muna bisa memberikan ciri status sosial dan jenis kelamin serta umur (usia).
Sistem sapaan bahasa Muna dipengaruhi oleh faktor sosial, faktor usia, faktor pendidikan, jenis kelamin, kedudukan, posisi penghargaan, sopan santun, dan kekeluargaan. Sapaan bahasa Muna bisa pula terjadi karena mempertimbangkan (1) kedudukan pembicara dan lawan bicara, (2) jenis kelamin pembicara lawan bicara, (3) usia pembicara dan lawan bicara, (4) kekeluaragaan, (5) situasi pembicara.
Dalam bahasa Muna dikenal juga system sapaan untuk menyapa orang yang belum dikenal dan menyapa sang khalik serta hewan atau benda yang sangat tabu bila diucapkan secara langsung.


DAFTAR PUSTAKA

Berg, Rend van den. 1986. Kamus Muna – Indonesia – Inggris. Leiden:KITLV Press.
Berg, Rene van den. 1989. A Grammar of the Muna Language. Leiden:KITLV Press.
Braun, Frederike. 1988. Term of Address. Problems of Patterns and usage in Varions Language and Cultures. New York:Moutan.
Brown, R.W. and Gilman, A. 1960. “The Pronouns of Power and Solidarity” dalam J.A. Fishman (ed). Reading in Sociology of Language, 252 – 257. Paris:Moutan.
Koentjaraningrat. 1974. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:PT Dian Rakyat.
Kridalaksana, Harimurti. 1974. “Second Participant in Indonesia Address” dalam Language Science. Indiana University.
La Ino. 1998. Bentuk-bentuk Proklitik Bahasa Muna yang Melekat pada Verba. Kendari:FKIP Universitas Haluoleo.
Marafad, La Ode Sidu. 1990. Fonologi Generatif Bahasa Muna. Ujung Pandang:Universitas Hasanuddin.
Marafad, La Ode Sidu. 1994. Sistem Morfemis Bahasa Muna. Jakarta:Depdikbud.
Mbete, Aron Meko. 1997. “Ragam bahasa Adat Perlu Digali, Digali, Dikembangkan: Sebuah catatan Ringkas dari Lapangan”. Seminar Internasional Bahasa dan Budaya di Dunia. FKIP:UNRAM.
Mcginn, Richard. 1991. “Pronouns, Politeness and Hicrarchy in Malay” dalam Current in Pacific Linguistics.
Samarin, J. William. 1988. Ilmu Bahasa Lapangan. (Terjemahan). Bandung:Angkasa.
Sande, J.S. dkk. 1988. Morfosintaksis Bahasa Muna. Jakarta:Depdikbud.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta:Duta Wacana University Press.
Sulaiman, Budiman. 1990. Sistem Sapaan dalam Bahasa Aceh. Jakarta:Depdikbud
Wardaugh, Roland. 1990. An Introduction to Sociolinguistics. Cambridge:Basic Blackwell.
Yatim, Nurdin. 1981. Bahasa Wuna. Jakarta:Depdikbud.



*) Disajikan pada SEMINAR NASIONAL Budaya Etnik di Universitas Sumatera Utara Medan tanggal 25 April 2009
**) Staf Pengajar pada Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Haluoleo Kendari.

1 komentar:

soap4fun mengatakan...

saya sedang menulis ttg orang muna, blog ini membantu saya. terimakasih