01 Mei 2009

Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III edisi 8

MERAJUT PERSATUAN :
Apa dan Siapakah Melayu
Oleh : Dr. Wan Syaifuddin, M.A.
Staf Pengajar Program Studi Sastra Melayu, Departemen Sastra Daerah &
Dekan Fakultas Sastra USU



Pengantar
Di beberapa pertemuan baik yang formal maupun tidak formal, saya kerap menerima pertanyaan tentang apakah yang dimaksud dengan Melayu ? atau yang manakah yang disebut orang Melayu ?. Tidak sedikit teori dan pendekatan yang telah menjelaskannya, diantaranya baik Melayu sebagai ras, bangsa, etnik maupun masyarakat dan lainnya. Pertanyaan ini terkesan sederhana, bahkan ada yang menanggapi pertanyaan demikian; bahwa sipenanya masih berfikir kebelakang karena masih berkutat pada pengertian. Menurut saya dalam konteks merekat dan merajut persatuan masih perlu memahami hal ini, apalagi dalam konteks kajian sastra dan mempertimbangkan tema Seminar Nasional Budaya Etnik III yang dilaksanakan hari ini.
Dalam memahami apa dan siapakah Melayu dalam konteks kajian sastra, berdasarkan pemahaman konsep kreatif seorang penyair. Pemahaman ini tidak sebatas mengungkap ciri-ciri, bahkan dalam makalah ini tidak banyak disentuh. Melainkan memahami dan memaknai implementasinya dalam perilaku. Makalah ini akan mengupas kemelayuan Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi di dalam Hikayat Abdullah. Abudullah Bin Abdul Kadir Munsyi adalah tonggak penyair kesusasteraan Melayu modern. Menurut Amin (2008:xv) Hikayat Abdullah adalah karya Abdullah Bin Abdul Kadir Munsyi (AAKM) yang paling lengkap dan kompleks, bahkan yang paling tebal. Di dalam karya ini AAKM mununjukkan tidak hanya bagaimana pengertian Melayu, tetapi sekaligus menunjukkan wujud dirinya sebagai orang Melayu sehingga mampu bersanding dengan etnik dan bangsa lain.

Pandangan tentang Kemelayuan Abdullah
Secara umum, penulis Melayu yang pernah menanggapi Abdullah dan karyanya menerima bahwa Abdullah itu berbangsa Melayu. Malah kritikan dari mereka yang menjulukinya tali barut Inggris, justru terpicu karena Abdullah dilihat mengkoreksi bangsanya sendiri. Misalnya Kassim Ahmad (1964:8) yang umumnya bersikap seimbang, mengumpamakan Abdullah sebagai “meludah ke langit menimpa batang hidung sendiri”. Tetapi walaupun ada kalanya orang selatar belakang dengan Abdullah – biasanya dengan nada humor – disebutkan bahwa Abdullah “DKK”, yaitu Darah Keturunan Keling, namun kemelayuannya tidak diragukan.
, J. R. Logan mengatakan : ”Abdullah bukan Melayu asli, melainkan Melayu-Keling atau Jawi-Pekan…..[1]. Winstedt (1939:120) mengatakan bahwa Munsyi Abdullah orang asing: ”seorang asing, ia membimbing mereka yaitu orang Melayu dari gurun yang tandus…..[2] ” . Pandangan , J. R. Logan dan Winstedt itu, menurut Khoo Kay Kim (2006:xxi) untuk menarik perhatian pada saat upaya Inggris untuk memisah-misahkan komunitas Melayu dan India Muslim sekitar tahun 1942. Kenyataannya makin lama tidak makin luas jurang antara kedua kaum, sehingga perbedaan yang diada-adakan pihak kolonial atau usaha untuk menafikan kemelayuan Abdullah sia-sia.
Selain itu contoh yang agak keterlaluan ialah artikel H. F. O’B Traill (1979:67-83). Biarpun artikel itu ternyata eksentrik, namun karena diterbitkan oleh sebual jurnal persatuan ilmiah yang bersejarah dan yang mungkin masih berpengaruh di kalangan tertentu, ia menentukan bahwa kemelayuan seseorang adalah darah keturunan semata-mata. Traill memperlihatkan, obsesi yang mengerikan – berdasarkan bacaan teks Abdullah sendiri, tentu – dengan “darah”, sehingga ia mengajukan opini bahwa darah Abdullah lebih sedikit dari 1/8 Arab dan hampir-hampir 7/8 tamil. Namun dibantah oleh Amin bahwa rupa, bentuk, dan warna kulit bukan faktor yang dapat diperhitungkan. Bahkan sekarang pun batas antara Melayu dan India Muslim sangat samar-samar, berarti yang menentukan adalah bahasa dan budaya.

Bahasa Kemelayuan Abddullah

Bantahan Traill belum selesai juga. Menurutnya berdasarkan klise Winstedt di atas bahwa bahasa yang digunakan Abdullah dalam karyanya tidak “semurni” bahasa Sejarah Melayu. Ia melihat beberapa “kekhilafan” dalam tulisannya. Ini artinya disebabkan bahasa Melayu bukan bahasa ibu Abdullah. Amin (2008) menegaskan bahwa, biarpun gaya bahasa Sejarah Melayu dijadikan teladan, namun percontohan oleh Abdullah bersifat sangat nisbi. Traill mengucilkan orientasi lisan yang menjadi ciri khas hikayat pernaskahan istana. Lebih jauh Amin juga menyatakan bahwa Abdullah telah berhasil mengungkapkan segala macam hal baru yang sering memerlukan pemikiran abstrak. Abdullah anak kota yang mencapai simbiosis dengan pemikiran orang Eropa. Ia juga memanfaatkan isi dan gaya kitab-kitab seperti Taju’s-Salatin.
Bagaimana Abdullah menampilkan dirinya? Sebagai guru bahasa Melayu ia mentauliahkan diri dengan mengatakan bahwa Melayu itu bahasanya sendiri. Begitu juga orang lain, digambarkan menerima Abdullah orang Melayu. Misalnya:

Maka sungguhpun demikian, insya Allah, kalau dalam jalan bahasa Melayu ini yang dikarang Abdullah, dapat juga kuketahui dan kubedakan antara benar dengan salahnya. Sebab yaitu bahasa diriku, tambahan pula kupelajari, bukannya aku dapat dengan mendengar2 sepanjang jalan atau meniru2 daripada orang adanya (hlm. 171).
Artinya, pemahaman penggunaan bahasa dalam penampilan kemelayuan bukan semata-mata dari bahasa Melayu yang baku/tulis, melainkan harus mempertimbangkan ragam bahasa lisan yang digunakan dalam konsep kreatif imajinatif dan kedudukan sosialnya karena bahasa yang demikian adaptasinya lebih melekat dalam perilaku kehidupan sehari-hari.


Adat Kemelayuan Abddullah

Manakala Raffles ingin mengetahui sesuatu tentang orang Melayu, dfi dalam Hikayuat Abdullah dikisahkan, ia bertanya kepada Abdullah, diantaranya sebagai berikut:
“Enci’, mari kita berjalan2, sahaya hendak pergi melihat tempat orang2 Melayu belajar” (hlm. 89).
“Sungguhkah begitu ‘adat Melayu, enci’?” Maka jawab ku (Abdullah): “Sungguh, tuan.” (hlm. 90)

Walaupun Abdullah beradat dan paham adat Melayu, dalam Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan, dikisahkan beberapa kali Abdullah menyebutkan bahwa orang besar Kelantan menyangka dirinya seorang Tuan Sayid[3]. Ternyata Abdullah tidak keberatan dibahasakan dengan gelar tersebut. Sekurang-kurangnya ia tidak mengatakan bahwa ia berusaha untuk membetulkan salah anggapan itu! Dalam Hikayat Abdullah juga, ketika Abdullah berkenalan dengan Tuan Smith, mualim kapal, maka tidak lupa Abdullah “menuliskan” Tuan Smith sebagai bertanya, “Engkau saudagarkah atau orang Arab?” (hlm. 328). Hanya dalam dua contoh pertama di atas terdapat Abdullah langsung mengatakan bahwa bahasa Melayu adalah bahasa dan adat Melayu dirinya.
Dalam hal ini, satu sisi, ia menggambarkan penampilan Abdullah sebagai orang Melayu yang suka beradaptasi. Namun disisi lain Abdullah menyadarkan bahkan dapat disebut menghardik yang bukan bangsanya (Tuan Smith) karena menyatakan ia bukan orang Melayu. Artinya peristiwa ini menggambarkan bahwa penampilan bisa diubah, sesuai strategi yang diperlukan. Di bagian pendek di ujung hikayatnya, yang berfungsi sebagai lampiran, Abdullah juga merenungi nasib Melayu. Tiga kali ia menampilkan dirinya dengan jelas sebagai seorang Melayu. Tetapi ini tidak terdapat dalam versi naskah, berarti penjelmaan etos dirinya yang kentara sebagai orang Melayu dalam bagian ini baru terjadi ketika ia merevisi teks hikayatnya untuk dicetak. Lihat bagaimana yang jauh didekatkan dalam yang berikut:

Edisi Cap Batu 1849
Hlm. 435-438
Versi Naskah 1843
Perkara yang kudapati di antara kita orang Melayu ini

Perkara yang demikian itu tersangat kurangnya kepada anak2 kita Melayu

Hairan dalam hatiku sebab melihatkan hal ‘adat orang2 kita Melayu itu
Perkara yang kudapati di antara orang Melayu itu

Perkara yang demikian itu sekali2 tiada kulihat orang Melayu

Hairan dalam hatiku sebab melihatkan hal ‘adat orang Melayu itu

Pengubahan etos pengarang dalam teks tidak terbatas hanya pada bagian lampiran ini. Beberapa contoh yang dipetik di atas tadi juga memperlihatkan etos Melayu hanya dalam edisi cetak. Bandingkan versi dalam edisi dengan versi naskah:

Edisi Cap Batu 1849
Versi Naskah 1843
Sebab yaitu bahasa diriku, tambahan pula kupelajari…(hlm. 171)

…jangan dia mau jadi hakim atas bahasa sahaya (hlm. 151)

Maka ia pun tertawa, katanya: “Orang Melayu pun pandai kenal Inggeris daripada bangsa lain2” (hlm. 138)

Dan lagi diumpat oleh mereka itu akan daku, sebab baik dengan orang putih. Lagipun mengajar akan dia bahasa kita suatu dosa (hlm. 163).

Menurut sekaliannya itu kutegurkan karena menurut jalan bahasa Inggeris itu terlalu canggung kepada telinga orang Melayu (hlm. 168-169).
Sebab yaitu kupelajari…


….jangan dia mau jadi hakim atas sahaya[4].


Maka ia pun tertawa, katanya: “Tuan pandai boleh kenal Inggeris daripada bangsa lain2.”

Dan lagi beberapa pula diumpat oleh mereka itu akan daku, sebab mengajar bahasa akan orang putih itu.


Maka aku tegurkan: “Ini bukannya demikian; itu bukannya patut begitu karena ini jalan bahasa Inggeris menjadi terlalu canggung dalam bahasa Melayu”.

Selain pengakuan seperti di atas, baik secara langsung maupun khalayak dalaman, terdapat tempat-tempat dalam teks yang memperlihatkan aspek diri Abdullah yang tertentu. Begitu juga kebiasaan memiliki keris akan membedakan seorang Melayu dari seorang Jawa[5]. Apalagi membedakan seorang Melayu dari seorang India “tulen”.
Selain itu, ketika Abdullah akan berpisah dengan temannya Tuan Smith, ia diberi hadiah jam:
“Ini pemberianku, supaya apabila engkau melihat ini, bolehlah engkau teringat akan daku, karena esok aku hendak berlayar pulang sekali ke Eropah”. Maka apabila aku menengar ia hendak berlayar itu. Maka segeralah aku buka petiku, maka kuambil kerisku, yaitu pakaianku sempana ganja iras bangsanya, lalu kuberikan padanya, serta kataku: “Inilah tanda daripadaku” (hlm. 329).

Kriteria kemelayuan ini digunakan oleh Abdullah sendiri. Abdul Kadir “bin Sultan Husein” tetap dianggapnya sebagai Keling yang bukan Melayu.

Terkadang ia memakai cara Keling, terkadang cara Melayu seperti Raja2, memakai keris dan berkain songket dan berbaju sikap dan bersapu tangan telepuk. Dan anak2 Yamtuan keduanya itu pun dipakaikannya cara Keling berseluar besar dan berbaju anggerka. Maka itu pun suatu hairan pula dilihat orang bahwa Melayu masuk Keling dan Keling masuk Melayu (hlm. 380).

Menyanyi pantun adalah suatu kebiasaan Melayu par excellence. Tidak disangkal hakikat bahwa terdapat suku lain di alam Melayu yang menyanyi pantun dengan pola yang sama. Tetapi menyanyi pantun ini merupakan ciri yang jelas akan membedakan seorang Melayu dari seorang India “tulen”[6]. Abdullah menggambarkan dirinya sebagai suka menyanyi pantun. Berarti pantun bukan hanya hiasan untuk tulisannya:

Bermula maka adalah lagu yang sahaya nyanyikan itu demikian: “Dendang2.” Maka jawab oleh anak2 dayung itu: “Ayuh nona.” Kemudian: “Dendang di dendang; la la di lalih.” Maka jawab mereka itu: “Ayuh nona, sinandung-nandung di nandung, badan terbuang.” Demikianlah dinyanyikan segala pantun yang ada tersebut dalam mistar di bawah ini (Kisah pelayaran Abdullah ke Kelantan, hlm. 137).

Kegemaran Abdullah (bukan dalam teks lagi melainkan Abdullah dalam teks orang lain dalam teks!) ini juga disingkapkan oleh anaknya, Munsyi Muhammad Ibrahim bin Abdullah, dalam kisah pelayarannya sendiri dari tahun 1871-72 (jilid 2: xxvi):

Maka ada pula orang tua2 yang kubawa itu sememang anak tangan dan juru permainan dan penyanyi zaman ayahku dahulu. Kemana2 ia bermain2 tiada pernah mereka itu tinggal, karena ‘adat ayahku pada zamannya dahulu……dan ada pula seorang tua, apabila ia terkenang akan bapaku itu, mengeluhlah ia sambil menyanyi selagu dua daripada lagu yang dahulu2 kala. Setelah itu katanya kepada aku: “inikah lagu bapamu terlalu suka dahulu.”

Otak Kemelayuam Abddullah
Hakikat bahwa Abdullah memerlukan bantuan seorang yang pakar dalam bahasa Tamil ketika menerjemahkan Panjatanderan ke dalam bahasa Melayu memberi kesan bahwa Abdullah kurang ahli dalam bahasa itu. Kekuatannya adalah dalam bahasa Melayu. Lihat yang berikut:

…..maka bahwa dewasa yang tersebut itulah aku menterjemahkan suatu hikayat daripada bahasa Hindu kepada bahasa Melayu, yang bernama Panjatanderan; dalam bahasa Melayu bernama Galila dan damina, yang amat indah2 karangannya, yaitu beserta dengan tolongan seorang sahabatku yang bijaksana dalam bahasa itu, yang bernama Tambi Muttu Virabattar dalam negeri Melaka di kampung Masjid Keling (hlm. 386)

Perlu ditegaskan sekali lagi di sini bahwa bukan mencari inti etnisitas Abdullah yang “sebenarnya”, melainkan menelisik bagaimana Abdullah menampilkan diri mengenai “kemelayuan”. Di tempat lain, Abdullah membicarakan dua orang guru Melayu nya sebagai “orang Melayu asal” dan “orang asal-berasal Melayu”. Implikasinya, Abdullah memasukkan dirinya dalam kategori Melayu yang tidak “asal-berasal”:

Maka adalah pula beberapa perkataan dalam kitab2 atau hikayat yang kudapati yang belum didengar oleh mereka itu atau mengetahui ertinya, maka diunjukkan oleh mereka itu akan bertanya, yaitu kepada Datu’ Sulaiman, orang Melayu asal yang diam di Kampung Hulu. Maka kepadanyalah aku dapat akar humbi bahasa Melayu itu. Adalah pada masa kudapati akan dia itu, kira2 ‘umur Datu’ Sulaiman itu akan lebih kurang daripada delapan atau sembilan puluh tahun. Maka itulah orang asal-berasal Melayu, lagipunyaitu orang yang berpengetahuan dan bangsawan. Dan lagi ada seorang , Datu’ Astur namanya, sama tuanya, dengan tiada mereka itu mau mengubahkan pakaian asal Melayu sampai matinya, yaitu berdestar dan berbaju tekua dan berkain kembang adanya (hlm. 48)


Makanan Kemelayuan Abdullah
Satu ciri etnisitas Abdullah-dalam-teks adalah makanan. Inilah merupakan petunjuk yaang dapat menyingkapkan hakikat mutlak! Abdullah banyak membicarakan makanan. Dalam Kisah Pelayaran Abdullah ke Negeri Kelantan, ia jelas menjarakkan dirinya dari selera Melayu. Orang Melayu asyik makan ikan, sayur, dan segala makanan yang “busuk-busuk seperti tempoyak dan pekasam dan [etai dan jering”. Di tempat orang Melayu, ia tidak melihat “makanan yang mulia, seperti daging dan minyak sapi dan telur, mentega dan susu”[7]. Tanggapan ini ditulis semasa Abdullah naif dan mentah, serta termasuk kiat retorika karena tulisan ini jelas ditujukan kepada pembaca Eropa, terutama majikannya. Alfred North. Deskripsi makanan dalam Hikayat Abdullah menarik, karena tidak kelihatan sebarang udang di balik batu. Ketika Abdullah kawin, makanan yang dihidangkan adalah:

….empat ekor ayam kembiri dibakar dan empat ekor itik digoreng dan kambing dimasak cara Keling. Anak2 ayam dimasak sup dan perkara sayur2 seperti kobis telor dan terung dimasak bulat2. dan lagi beberapa jenis sambal2 yang baik2 dan buah-buahan. Adapun nasinya itu khabuli dan lagi pula kuih2 dan halwa2 serta jenis buah (hlm. 165).

Lucu jika dipikirkan bahwa makanan ini, yang jelas dimasak cara peranakan Keling-Arab, tidak dapat mencap Abdullah sebagai India; di samping pemelayuan orang India, harus diperhitungkan indianisasi selera Melayu! Nasi minyak. Orang Melayu kini mungkin kelaparan tanpa kedai Mamak. Sedangkan orang Jawa umumnya sangat tidak tertarik pada makanan India.
Satu adegan yang menarik menyangkut pengalaman Abdullah dengan majikannya Letnan Newbold, yang sedang menulis buku. Ia meneliti masakan Melayu. Bagian di bawah terdapat hanya dalam versi naskah. Dihilangkan dari versi cetak. Tidak pun digunakan Newbold. Jangan-jangan telah terungkap antara tahun 1843 dan 1849 bahwa sambal yang dibawa Abdullah bukan Melayu melainkan India!

Maka sampaikan nama2 segala penganan2 Melayu, apa2 campuran nya dan bagaimana perbuatannya, dan sambal2 Melayu ada berapa jenis dan bagaimana rasanya. Maka semuanya itu diberinya belanja disuruhnya perbuat dari rumahku, maka pada tiap2 hari dua tiga jenis sambal itu dimakannya, kemudian esok lain jenis pula. Demikianlah halnya antara kami keduanya…


Hanya satu jenis makanan yang menyingkapkan ciri khas keindiaan-kearaban yang tidak dimiliki orang Melayu umumnya: kita melihat bagaimana Abdullah merujuk berulang kali pada minyak sapi dalam Kisah Pelayaran Abdullah ke Kelantan. Dalam Kidsah Pelayaran Abdullah ke Mekkah, kita membaca bahwa: “Minyak sapi yang di Pulau Sokotra itu kepala sekali lagi dengan harum bahunya” (hlm. 11). Ternyata bahwa selera Abdullah untuk minya sapi tidak surut dalam kurun waktu sejak pelayarannya ke Kelantan. (Lihat misalnya hlm. 49, 87-89 teks kisah itu). Betapa asingnya minyak sapi buat selera Melayu terlihat dari definisi Kamus Dewa Malaysia. Penyusun kamus itu salah menyangka bahwa minyak sapi diperbuat dari susu sapi!
Tetapi aneh juga jika Abdullah harus dihakimi bukan Melayu hanya karena selera untuk minyak sapi!.

Islam Kemelayuan Abdullah
Jadi bagaimana penampilan diri Abdullah seterusnya? Menurutnya, syarat yang mutlak menjadi orang Melayu adalah beragama Islam. Kita melihat implikasi ini dalam deskripsi mengenai orang laut yang berikut:

Dan lagi seperti agama mereka itu, melainkan namanya sahaja Melayu, tetapi tiadalah ia berbuat seperti hukum Islam adanya (hlm. 215).

Antara orang Islam yang bukan Melayu “asal-berasal” terdapat orang Arab dan Keling Peranakan. Orang Arab tentu diterima sebagai orang Melayu, malah oleh orang Melayu taraf sosialnya dianggap lebih tinggi daripada Melayu kebanyakan sendiri.pada zaman Abdullah, peranakan Keling pun memiliki taraf yang relatif tinggi di negeri-negeri Selat, karena kemajuannya dalam bidang ekonomi dan pendidikan, yang jelas lebih tinggi daripada halnya orang Melayu “tulen” di negeri-negeri tersebut.
Perlu dihindari godaan untuk memproyeksikan situasi sekarang pada zaman Abdullah. Jika pada tahun 1970-an, seorang Aziz Shaik Mydin (alm.), pustakawan Universiti Kebangsaan Malaysia yang pertama, ingin menutupi keindiaannya dengan azam memperlihatkan dirinya sebagai bumiputera, situasi pada zaman Abdullah berbeda 180 derajat. Segala ciri-ciri yang diajukan mengenai dirinya yang kita kenal sebagai bersifat keindiaan tidak menetralisir atau bertentangan dengan ciri-ciri kemelayuan yang diperlihatkan pada dirinya. Makanya dalam konteks zamannya tidak ada kejanggalan jika ia menampilkan dirinya sebagai Melayu, biarpun belum tentu “Melayu asal”.

Nilai dan Pemosisian Diri
Perlu ditekankan bahwa dalam menciptakan etos pengarang sebagai citra dirinya, tidak ada yang tidak diperhitungkan Abdullah. Perbedaan antara pandangan di dalam peristiwa yang ditampilkan Hikayat Abdullah di atas memperlihatkan bahwa penampilan kemelayuan dirinya merupakan daerah wacana yang bisa dinegosiasi demi persatuan. Perubahan yang diadakan dalam teks cerita itu jelas menunjukkan keputusan yang dilakukan secara sangat sadar dan sengaja untuk menambahkan kemelayuannya sehingga manusia Melayu membangun nilai adaptasi dan keyakinan tetap terhadap kemelayuan.

1 Amin Sweney ; Abdullah (who s not a gunuine Malay as you believe but a Kling-Malay or Jawi-pakan…).
2 “Foreigner though he was, he led them back from an arid desert..”
3 Lihat Jilid 1. Nomor halaman merujuk pada teks asli:
Misalnya, dengan Sayid Abu:
Maka disangkanya sahaya Tuan sayid. Maka katanya: “Apa khabar Tuan sayid dalam Singapura? Dan adakah bertemu perompak di jalan? Maka berani sangat Tuan Sayid datang kemari dengan perahu kecil ini; maka kalau orang di sini dibunuh pun ia tiada berani berlayar dalam perahu begini kecil…: (hlm. 67).
Dengan Raja Bendahara:maka titah raja: “Jangan Tuan Sayid takut, sampaikan kepada Tuan Bonham seperti titah kita ini; karena kita hendak memeliharakan orangnya” (hlm. 79).
Dan dengan Raja Kampung laut:
Makanlah sirih, Tuan Sayid.” Maka sahaya pun menyembah serta makan sirih. Maka bertanya ia, apa khabar di singapura, dan berapa hari berlayar, dan adakah bertemu perompak di laut, dan apa khabar surat itu (hlm. 91)
[4] Ini terdapat hanya dalam naskah Thomson. Dalam kedua naskah yang disalin Husein, sudah ada bahasa sahaya.
[5] Atau orang yang berketurunan Arab seperti Sayid Yasin
[6] Ciri ini tidak akan membedakan orang Melau dari Baba Tionghoa
[7] Lihat Jilid 1: 80-81

Tidak ada komentar: